17 October 2012

Siswa Miskin di Lingkungan Sekolah Kaya

Chelluz Pahun

Gandhi perna mengatakan kesulitan yang paling nyata dalam hal pendidikan adalah masyarakat pada umumnya tidak tahu tentang masalah pendidikan yang sesunguhnya. Orang orang pada umumnya memahami pendidikan lebih pada memiliki keterampilan, memiliki ijasah, memiliki pekerjaan, bukan untuk membangun karakter anak didik, jika hanya untuk mendapatkan ijasah untuk apa kita mendidik anak itu. Selama pemahaman kita masih seperti itu maka kita belum memahami sesunguhnya apa itu pendidikan.


Siswa SD Mosun, Kab. Maybrat, Papua Barat

Pernyataan Gandhi ini sungguh relevan dengan pergulatan pendidikan di Indonesia belakangan ini. Mulai dari sistim pendididkan cendrung mencabut peserta didik dari akar budayanya, penerapan Kurikulum yang tidak relevan dengan kondisi masyarakat. Outputnya korupsi merajalela, tindakan kekerasan terus terjadi. Kebijakan Ujian nasional (UN) yang berorientasi pada hasil dan mengabaikan proses. Jika mau jujur hasil UN jelas bermasalah, maraknya bisnis kunci jawaban, turut sertanya dinas pendidikan dan sekolah dalam mengerjakan UN
Perhatian pemerintah pada penyelenggaraan pendidikan juga diskriminatif, Munculnya aturan Sekolah bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) berdasarkan Pasal 50 Ayat 3 UU Sisdiknas Tahun 2003 adalah bukti jelas prilaku diskriminasi itu. Jatah pendidikan siswa miskin demikian kecil dibandingkan jatah untuk pendidikan siswa kaya di RSBI/SBI.
Hingga september 2011, tercatat 1.305 sekolah berstatus RSBI, terdiri atas 239 SD, 356 SMP, 359 SMA, dan 351 SMK. Pada tahun yang sama pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 289 miliar untuk RSBI/SBI. Sedangkan untuk sekolah standar nasional atau umum yang jumlahnya lebih banyak hanya Rp 250 miliar (Kompas, 17/2). Pemerintah tetap mengalokasikan dana atau subsidi bagi RSBI/SBI meski sekolah itu sudah bagus, bergedung mewah, dan sarananya lengkap pula. Sekalipun sempat mendapat kecaman  Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan, yang menilai kebijakan RSBI melanggar hak  anak mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Sangat ironis dan tragis, Ketika jutaan anak belum memperoleh sarana belajar yang minimal, belum lagi kisah-kisah tragis gedung ambruk dan bangku reyot mirip kandang ayam di sejumlah daerah,  sekolah tanpa buku dan guru, akses pendidikan sulit dijangkau sementara pada saat yang sama hanya 1.000 lebih sekolah negeri dengan fasilitas serba bertaraf internasional.
Niat baik pemerintah memberikan ruang belajar berkualitas di RSBI/SBI bagi siswa miskin sebuah sikap yang mustahil. Sama mustahilnya dengan memenuhi  aturan kuota 20 persen itu bagi siswa miskin. Siswa miskin berprestasi sulit belajar di SBI/RSBI.  Dominasi siswa kaya akan menentukan pola relasi social. Cara berpikir, ekspresi gaya hidup, cara berbahasa. Relasi social siswa kaya juga mempengaruhi dinamika pembelajaran di kelas hingga aktivitas sekolah, kegiatan fraternitas dan seragam sekolah. Realitas siswa kaya di SBI/RSBI membuat siswa miskin bakal terengah-engah mengikuti habitus siswa kaya.
Apakah sekolah-sekolah RSBI/SBI (yang kaya itu) sejak awal juga berkomitmen dan diabdikan bagi siswa miskin? Apakah guru dan pengelola sekolah itu juga disiapkan untuk berkomitmen memperhatikan siswa miskin di antara siswa kaya? Tersediakah sarana dan cara memperjuangkan siswa miskin bagi para guru dan pengelola sekolah itu? Atau waktunya habis untuk mempertahankan pamor dan kasta sekolah?

No comments:

Post a Comment