11 July 2013

Pesan dari Sarapat

Sarapat adalah nama desa di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Meskipun statusnya sebuah desa di pedalaman, apa yang terjadi di Sarapat memberi gambaran tentang bagaimana Republik ini dikelola.
Beberapa tahun terakhir, masyarakat adat di Desa Sarapat dan sekitarnya berjuang mempertahankan hak hidup berhadapan dengan korporasi tambang dan perkebunan sawit yang memorak-porandakan lingkungan dan kehidupan masyarakat adat. Dalam diskusi bersama warga, saya menangkap pesan penting yang hendak mereka sampaikan kepada segenap warga RI dan penguasanya. Mereka menilai pengelola Republik tengah menjadikan Indonesia bangsa primitif.
Kehilangan kebun
Di Desa Sarapat tinggal seorang kakek berusia lebih dari 80 tahun. Selama ini ia prihatin dengan kondisi masyarakatnya yang tak berdaya ketika pihak korporasi atas seizin pemerintah membabat habis hutan serta merampas hutan adat, tanah ulayat, dan kebun rakyat. Bahkan, hutan anggrek dan hutan tanaman obat yang langka dan tak ternilai harganya habis dibabat. Atas seluruh kehilangan ruang hidup dan masa depannya, warga dipaksa menerima uang tali kasih Rp 1,5 juta per hektar lahan kebun karet.
Dengan menggunakan istilah tali kasih, mereka hendak menyatakan, korporasi sudah berbaik hati memberikan uang ganti rugi yang sebenarnya tak perlu. Mereka menganggap masyarakat adat tak punya hak atas hutan adat, tanah ulayat, dan lahan kebun sebab pada mereka tak ada surat sebagai bukti kepemilikan hak. Kesewenang-wenangan ini mendorong sang kakek mengambil mandau dan sendirian hendak menyerang pihak perusahaan sawit. Beruntunglah, kemarahan sang kakek bisa diredakan warga yang berjanji untuk meneruskan perjuangannya.
Kakek mengaku kecewa. Menurut dia, masih lebih enak dijajah Belanda dibandingkan sekarang. Ketika dijajah Belanda, warga yang mau bertanam karet dapat bantuan. Kini warga yang bertanam karet justru dimusuhi. Ketika dijajah Belanda, warga setidaknya masih bisa lari dan tinggal di hutan. Sekarang, warga diusir dari hutan dan kebun mereka, tinggal berimpitan dalam kampung dan dipaksa hidup sebagai pengemis yang bergantung pada raskin, BLT, dan bantuan lain dari penguasa.
Nasib serupa dialami masyarakat desa lain di Kalimantan Tengah dan provinsi-provinsi yang kaya sumber daya alam. Bukan hanya hutan adat, tanah ulayat, dan kebun warga yang dirampas korporasi, melainkan juga lahan kebun para transmigran yang sudah bersertifikat.
Masyarakat di Desa Morotiwu, tetangga Desa Sarapat, mengeluhkan, kebun karetnya dijarah perusahaan sawit. Mereka dijanjikan mendapatkan plasma sawit. Korporasi meyakinkan warga, dengan plasma sawit, mereka akan menikmati masa pensiun dan tak perlu lagi kerja kebun. Yang terjadi, setelah beberapa tahun menunggu dan berulang kali menagih janji, korporasi hanya membagikan kartu anggota koperasi plasma dan buku bank.
Pada bagian kredit buku bank itu tertera angka Rp 50.000 dan Rp 110.000. Tak jelas apakah uang itu hasil per panen, per minggu, atau per bulan. Padahal, dengan kebun karet, mereka bisa menyadap 20-50 kg karet per hari dengan harga jual Rp 2.500-Rp 5.000 per kg. Anak-anak di kampung bisa membiayai sekolahnya hanya dengan menyadap karet. Belum lagi dari madu, kayu, rotan, ikan, dan obat-obatan dari tanah ulayat dan hutan adat.
Ada dua janda lanjut usia yang tidak dapat plasma meski kebun karet mereka telah diambil perusahaan sawit. Kini mereka menjadi tanggungan warga. Padahal, sebelumnya mandiri dengan menyadap karet di kebun sendiri. Kualitas hidup masyarakat Sarapat dan sekitarnya kian merosot. Kehilangan hutan dan lahan, sungai, rawa, serta beragam sumber penghidupan. Daerahnya tercemar limbah, miskin air bersih, rawan banjir dan kekeringan, serta rentan serangan hama padi, penyakit, dan konflik. Kini mereka hadapi ancaman baru. Korporasi tambang mulai mengukur halaman dan rumah mereka.
Primitif
Kasus Sarapat dan sejumlah kasus konflik SDA membuktikan penguasa mengelola Republik dengan cara primitif. Orang bijak menyatakan, bangsa berperadaban primitif mendasarkan pengelolaan ekonomi, politik, hukum, agama, pendidikan, dan lainnya pada prinsip survival of the fittest (yang paling kuat dan sehat dapat bertahan hidup). Dengan prinsip ini, mereka membolehkan warga mengalami kemajuan dengan mengorbankan orang lain. Ada warga terkaya di dunia di saat kedalaman dan keparahan kemiskinan meningkat. Bangga pertumbuhan ekonomi tinggi meski disertai peningkatan kesenjangan sosial serta kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Sistem ekonomi-politik Republik dibangun untuk kepentingan jangka pendek. Kekuasaan dan pertumbuhan ekonomi diraih dengan membabat hutan, merusak lingkungan, merampas lahan, menggusur, serta mengorbankan keamanan dan keselamatan warga. Pengelola Republik merasa tak bertanggung jawab atas kerusakan alam dan sosial. Kepentingan jangka pendek membuat ekologi dan keadilan sosial dianggap tak bermanfaat.
Leluhur masyarakat Sarapat tak pernah sekolah, tetapi mereka tahu mengajarkan anak cucu bagaimana menjaga hutan, sungai, rawa, dan lainnya. Leluhur mengajarkan bagaimana mengambil kayu dan hasil hutan tanpa merusak, berladang tanpa menimbulkan kebakaran hutan, dan mencadangkan hutan untuk masa depan. Anak cucu diajarkan berbagi, saling peduli, bekerja sama, saling percaya, mengambil secukupnya, dan tak menimbun. Saling percaya membuat mereka tak perlu surat bukti kepemilikan lahan. Mereka juga diajarkan menghargai dan melakukan segala sesuatu yang menghasilkan manfaat untuk semua. Ditanamkan kesadaran tentang merasa cukup. Sebab kesadaran tentang ketidakcukupan akar ketamakan, hilangnya akal sehat, persaingan, konflik, dan kekerasan.
Datanglah orang-orang luar, berpendidikan tinggi, dan memaksa mereka membabat hutan, menyerahkan lahan, meninggalkan kebun, menjadi buruh di tanah sendiri atau pengemis yang mengharapkan raskin dan BLT. Rupanya inilah yang disebut kemajuan dalam Republik primitif.



Sri Palupi, Peneliti Institute for Ecosoc Rights

sumber : Opini Kompas, Rabu 10 Juli 2013

No comments:

Post a Comment