Oleh Prasetyohadi
Benarkah Manusia Tak Berdaya Menghadapi Hama Belalang, Keong Mas dan Kekeringan di Sumba?
MASYARAKAT Sumba di Nusa Tenggara Timur mencatat 'jutaan' ekor serangga belalang selama delapan tahun 1998-2005 telah sangat melemahkan ketahanan pangan masyarakat di pulau itu. Hama ini juga menyerang lokasi-lokasi lain, meski jangkanya lebih pendek. Padi, jagung dan kelapa adalah sasaran mereka. Jika padi dan jagung diganyang habis oleh hama belalang, maka dipastikan mereka tak akan bisa makan seperti biasa. Kemungkinan besar: kelaparan. Banyak orang di Sumba menceriterakan ketika sawah dan ladang mereka disikat belalang, mereka tak tahu mau berbuat apa. Putus asa. Kutuk Tuhan, barangkali. Sejak zaman baheula. Meskipun rasanya manusia sulit belajar dari sejarah, toh ada geliat di sana. Apa upaya-upaya yang dilakukan masyarakat di Sumba Timur untuk menangani hama keparat itu?
Ketika saya kunjungi di rumahnya, Mei 2006, Agus Dapa Loka, seorang petani sekaligus juga guru SMU Andaluri di Waingapu menceriterakan bagaimana mereka kecapaian berusaha mengusir puluhan ribu belalang (Locusta migratoria manilensis) sebelum suami-istri-anak itu akhirnya menangkupkan saja kedua lengan mereka di atas kepala. Tanda mereka sudah menyerah. “Mau apa lagi?” keluhnya sambil terus makan pinang.
Hampir semua petani yang saya temui di Sumba mengeluh dengan cara yang sama. Malah ada juga yang mengisahkan bagaimana mobil pun akhirnya tak bisa jalan, ketika ribuan belalang itu merangkak-rangkak di atas jalan raya beraspal sebelum terlindas oleh ban mobil. Selip. Belalang-belalang terinjak ban mobil. Langsung mati tergencet gepeng. Jadi lendir yang membasahi aspal. Bisa dibayangkan jika jumlah serangga itu ratusan ribu? Atau kalau mobil sedang di tanjakan? Pernah juga ada yang ceritera, pesawat tak jadi terbang karena ribuan belalang sedang lalu lalang di udara.
”Kalau belalang hinggap di pucuk kelapa, kita siap membuat sapu lidi,” tambah petani lain di desa Mauliru, pinggiran kota Waingapu.
Di Kambata Wundut, kecamatan Lewa, keadaannya tak beda. Hosea Merang, mantan sekretaris desa, jebolan kuliah teknik sipil, menceriterakan, belalang tidak makan bulir-bulir padi. Padi di sawah tumbang semuanya. ”Mereka memotong batang padi dari bawah. Padahal sudah menguning.”
Di Jawa, ingat sebentar, bukankah belalang sebanyak itu juga berkembang biak di Gunung Kidul, Yogyakarta? Dan sudah pasti jadi santapan manusia yang lezat, salah satu menu lauk. Tapi kelakuan orang Jawa itu barangkali pamali menurut adat istiadat di Sumba. Orang Jawa (miskin) "rakus"?
Ada yang tak kalah aneh. Setelah hama belalang itu pergi, kemudian tumbuh sejenis gulma rumput yang berbau kurang sedap. Bahkan kambing pun, yang biasanya makan berbagai dedaunan itu, tak mau mendekatinya. Rumput-rumput lain yang biasa dimakan ternak tak bisa tumbuh di sekitar rumput liar ini. Padahal rumput-rumput liar yang bisa setinggi orang dewasa berdiri itu tersebar di mana-mana. Invasi. Mereka menyebutnya rumput "tahi belalang". Nama lainnya barangkali ini: rumput tai kabala (Chromolina odorata). Pada kaki-kaki belalang itu barangkali terbawa benih-benih rumput liar itu yang berasal dari kawasan sabana atau hutan. Di hutan itulah biasanya kita temui yang sering disebut jadi pemangsa belalang, yaitu burung kakatua. Tapi sayangnya, burung-burung itu sudah banyak dijerat orang. Kembali ke rumput tahi belalang, tampaknya masuk akal bahwa sejauh ini tak terdengar masyarakat setempat pernah menemui jenis rumput itu. Ada kemungkinan besar karena hidup di habitat yang berbeda, tidak lagi di hutan atau sabana, tapi di kawasan pertanian, maka rumput-rumput itu tumbuh dengan penampakan yang sebelumnya tak terlihat.
Semua petani, apalagi yang berpendidikan rendah, di Sumba Timur, singkat kata, merasa putus asa dengan berbagai dampak dan kerugian yang ditimbulkan oleh hama belalang. Delapan tahun bukan waktu yang singkat. Tapi, lagi-lagi anehnya, tahun 2006 tidak ada belalang menyerang lagi. Entah mereka ke mana, setelah delapan tahun, secara sporadis tapi dalam satuan jangkauan yang luas, terus-menerus membabat tanaman-tanaman pangan.
Salah satu ”teori” diungkapkan oleh teman saya dari desa Mauliru, Ndena Njurumana, pegiat organisasi rakyat Forum Komunikasi Organisasi Rakyat (FK-ORA) di Sumba Timur. Dia menduga musim kering panjang selama tiga tahun membuat jutaan belalang tak bisa lagi berkembang biak. Sebagian besar sudah mati sebelum penghujung musim hujan 2006 yang berlimpah airnya. Tapi teori teman saya ini belum terbukti.
Bagaimana masyarakat Sumba menangani hama-hama ini?
Baca kelanjutannya: Belalang dan Keong Mas di Sumba Timur (2)**
31 July 2006
Belalang dan Keong Mas di Sumba Timur (1)
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 6:31 PM 0 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, korupsi, lingkungan, masyarakat adat, Nusa Tenggara Timur, pemerintah, petani, Research, tanggapan masyarakat
27 July 2006
Ama dan Ina serta Anak-anak
Oleh Yan Koli Bau
Nusa Tenggara Timur! Pagi itu udara sangat dingin. Perut Ina yang sedang mengandung lima bulan terasa sembelit dan semakin lama semakin terasa sakit. Berbagai pertanyaan dan kecurigaan bermunculan tentang mengapa. Apakah diguna-guna orang jahat? Apakah dimarahi oleh arwah orangtua Ina atau Ama karena musim panen tahun silam mereka tidak memenuhi janji memperbaiki kuburan mereka? Ataukah leluhur marah karena mereka belum membangun rumah adat? Ataukah karena mereka melanggar rambu-rambu adat istiadat yang berlaku di kampung mereka? Upaya mencari penyebab rasa sembelit di perut ini menghabiskan banyak waktu tanpa memberikan penjelasan yang memuaskan, apalagi mengakhiri rasa sembelit itu sendiri.
Apa sebab sesungguhnya mengapa perut Ina sembelit?
Ina bertanya pada Ama ketika saya mengunjungi mereka di halaman depan rumah yang ditumbuhi rerumputan berbunga putih yang merana karena kekeringan. Lama diskusi mereka berlangsung. Sembelit. Itu yang mereka bicarakan. Dan saya mendengarnya sambil menikmati sirih dan pinang yang dihidangkan kembali kepada saya setelah mereka menerimanya dari saya sebagai buah tangan menurut adat orang Timor.
Ketika saya membuka kesunyian, menanyakan apa yang dimakan Ina malam sebelumnya, suami-isteri itu saling pandang dan lama merenung. Lalu dengan suara lirih Ama mengatakan Ina tak suka makan di malam hari karena sedang mengandung. Ina hanya makan sepotong singkong rebus. Lantas dengan wajah merah padam Ina mengatakan mungkin perutnya melilit karena tidak makan di malam hari. Dan menurutnya mereka tidak makan semalam sebab tak ada yang bisa dimakan, kecuali beberapa potong singkong yang dicadangkan untuk makan pagi kedua anaknya yang akan ke sekolah. Seorang anak lelaki kelas IV SD dan seorang lagi perempuan duduk di kelas II pada SD yang sama. Dengan menu makan pagi semiskin itu wajar saja tampilan tubuh anak kelas IV SD ini jauh di bawah tampilan anak sebayanya. Adiknya tak berbeda. Sudah dapat dibayangkan pakaian seperti apa yang dikenakan kedua anak ini. Keduanya pergi ke sekolah tanpa alas kaki.
Ina dan Ama bertutur bahwa sejak dahulu kala, ketika mereka dipelihara oleh kakek dan nenek mereka selalu mengalami situasi kelaparan seperti yang mereka alami pagi itu. Entah sedang hamil, menyusui anak atau tidak, para ibu sering menunda makan di malam hari apabila mereka 'ketiadaan' atau kekurangan bahan makanan. Sementara anak-anak tetap diupayakan untuk makan di malam hari. Sedangkan sang Ama tetap diprioritaskan makan malam agar dapat menjaga ternak dan bangun sesegera mungkin di pagi hari untuk mengurusi ternak, kebun, dan mencari bahan makanan untuk keluarga.
Ama biasanya bangun sekitar ayam berkokok kedua kali atau sekitar pukul lima pagi. Ia membawa sapi atau kuda mencari rerumputan kering yang masih lembut karena tersiram embun malam. Setelah itu ia mencari bahan makanan untuk dirinya dan keluarganya. Apabila sudah mendapat bahan makanan yang dicari, Ama pulang pada siang harinya. Bahan makanan yang dicarinya berupa aneka jenis ubi, arbila hutan dan batang pohon enau (gewang) untuk membuat putak (sagu), atau jenis makanan lain yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.
Makanan ini akan dipanggang atau dibakar dan dimakannya sebagian. Sisanya dibawanya untuk mereka yang menanti di rumah. Ketika saya tanya apa yang akan dibawa untuk anaknya yang masih dalam kandungan, ia tertunduk, matanya berkaca-kaca dan mengatakan, “Saya serahkan saja pada yang di atas, karena beginilah saya.” Mungkin inilah sebuah penyerahan diri pertanda kerendahan hati atau mungkin sekedar pembenaran diri. Hanya merekalah yang dapat mengetahuinya.
Sementara itu Ina mengatakan, apabila anak-anak sudah berangkat ke sekolah, Ina akan menyusul ke hutan mencari bahan makanan untuk mereka dan juga makanan untuk ternak babi yang mereka miliki. Sebab, menurut Ina dalam kondisi kelaparan makanan babi dan makanan manusia tidak jauh berbeda. Jika manusia makan isi umbi singkong setelah dikupas, babi makan kulitnya. Manusia makan putak atau sagu yang sudah diolah, babi makan putak mentah yang dirajam, dan sebagainya. Ina dan Ama menuturkan mereka sudah mengalami kondisi seperti ini sejak dahulu, setidaknya ketika hidup bersama kakek dan nenek mereka.*PERTANYAAN yang perlu dijawab: “Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung? Dari mana harus memulai upaya mengakhirinya? Siapa yang harus melakukan upaya itu? Dan akankah ada hasilnya seperti yang diharapkan?”
Apakah jawabannya lebih merupakan mimpi di siang hari? Mungkin juga. Sebab, sebegitu jauh pemerintah dan badan-badan swasta di berbagai tingkatan sudah menumpahkan perhatian dan bantuan, tapi hasilnya masih tak tampak. Barangkali perlu intervensi dengan warna dan gaya yang berbeda daripada mengikuti cara yang sudah “mentradisi” entah seperti yang dilakukan pemerintah atau lembaga swadaya. Atau barangkali lebih tepat menanyakan pada arwah leluhur seperti yang dilakukan sendiri oleh Ina dan Ama?
Pertanyaan yang terbersit dalam benak ketika menggeluti persoalan kelaparan dan busung lapar adalah ”apa yang dibuat orang miskin dalam hari-hari hidupnya sehingga mereka bisa menderita kelaparan, sakit dan kadang menghantarkan mereka kepada kematian, sementara di tempat lain orang berkecukupan, bersukaria dan berpesta, lalu sakit dan dapat juga membawanya kepada kematian”?
Kelahiran dan kematian tentu saja merupakan dua kepastian dalam hidup. Manusia tak kuasa membatalnya, kecuali dalam situasi tertentu mungkin dapat menundanya. Toh tak akan lama. Namun, siklus dari lahir ke kematian tak sama untuk setiap lapis sosial dalam masyarakat.
Untuk kelompok yang tergolong miskin, terlebih yang secara objektif memang miskin, peristiwa dari lahir sampai kematian merupakan peristiwa penuh kepedihan. Betapa tidak. Anak-anak dari sejumlah keluarga msikin yang menderita gizi buruk dikandung oleh para ibu yang gizi buruk pula selama sembilan bulan masa kehamilan. Dalam masa penantian ini para ibu hamil harus bekerja keras tanpa mengenal jam kerja, mengonsumsi makanan yang sangat rendah kandungan protein, vitamin dan mineralnya. Mereka menghuni rumah yang sangat tak memenuhi syarat kesehatan. Pakaian mereka seadanya, sobek pada bagian tertentu, terutama bagian ketiak, krah leher dan bagian-bagian jahitan yang rawan. Dari pagi hingga malam mereka berupaya memenuhi kebutuhan akan makan meskipun pada akhirnya tetap kurang makan.
Sebaliknya mereka yang tergolong kaya, terlebih para profesional, pegawai pejabat pemerintah dan swasta, khususnya di perkotaan cenderung berkecukupan jika tidak dapat dikatakan berkelebihan. Dikandung dalam keadaan sehat dengan layanan dokter ahli dan dilahirkan melelui proses persalinan yang memenuhi syarat kesehatan, hunian mereka nyaman, indah, memenuhi syarat kesehatan, makanan mereka penuh protein, vitamin dan mineral, dan cenderung mengandung lemak terlalu banyak.
Akhirnya jika tidak saatnya semua mereka akan juga sakit dan mati, pada usia yang berbeda, dengan cara yang berbeda dan perlakuan setelah kematian yang bebeda pula. Kalau demikian apa bedanya antara mereka yang miskin dan kaya, sebab mereka semua dilahirkan dan kemudian juga akan mati? Tidakkah semuanya lahir, sakit dan kemudian akan mati tanpa memandang status sosial dan kepemilikan harta benda?**
Timor, Akhir Juli 2006
Categories: [Petani & Pedesaan_] [Busung Lapar_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:37 PM 4 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur
24 July 2006
Kacang Mede Paling Pahit Se-Dunia
Oleh Iswanti Suparma
KETIKA mobil kami mulai memasuki wilayah Kodi – sebuah kecamatan di Sumba Barat, yang segera menampak di depan mata adalah rimbunnya hijau daun jambu mede. Beberapa di antaranya sudah mulai berbunga di pucuk-pucuknya. Tiga atau empat bulan lagi, sekitar Oktober-November pohon-pohon itu akan dipenuhi buah jambu mede yang merah menua siap dipanen. Dan desa-desa yang dinaungi kebun pohon jambu mede itu akan berubah menjadi hiruk pikuk, seakan baru saja menjemput kehidupan. Mobil kami menuju salah satu desa, namanya Bukambero, desa di mana saya sejenak mampir melongok kehidupan masyarakat setempat.
Sekalipun dalam hitungan dan perkiraan dipandang sangat menjanjikan, mengapa industri pertanian rakyat/pemerintah untuk jambu mede di Sumba Barat justru berdampak sebaliknya? Berapa banyak dampak kelaparan yang diakibatkannya?
Sejak tahun 1990 proyek jambu atau kacang mede yang diprakarsai dinas perkebunan Pemkab II Sumba Barat mulai dilakukan di wilayah Kec. Kodi. Alhasil, 75 persen lahan (ladang dan kebun) milik warga digunakan untuk menanam jambu mede. Sebagai akibat proyek penanaman jambu mede, masyarakat tidak bisa lagi menanam tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi, patatas untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Karena baru pada tahun ke-5 jambu mede bisa berbuah, maka selama lima tahun itu, masyarakat mendapatkan sedikit bantuan dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tapi itu tak mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Sejak proyek penanaman jambu mede, kekurangan pangan dan kelaparan merambat naik terus. Tragisnya, menurut Kades Bukambero, antara 1998–2000, 20 orang penduduk desa Bukambero meninggal karena kelaparan.
Dalam hitungan paling bodoh, kekurangan pangan dan kelaparan bisa pelan-pelan menghilang, ketika jambu mede mulai panen dan mereka bisa membeli pangan. Dari luas hampir 1500 ha yang ditanami jambu mede di Bukambero, bisa dihasilkan kurang lebih 1100 ton kacang mede setiap kali panen. Jika dengan harga pasar rata-rata Rp5.000, setidaknya setiap kali panen bisa mendatangkan Rp5 milyar. Bukan angka yang kecil untuk ukuran pemasukan daerah Kabupaten Sumba Barat. Tapi, apa yang terjadi?
Biasanya, hasil panen kacang mede langsung dijual di toko di Waitabula. Penduduk biasa menyebut pemilik toko yang pedagang Cina dengan sebutan “ONGKO” (Tuan Toko). Jika jambu mede telah mulai menua, ongko-ongko itu biasa masuk kampung, untuk membeli panenan kacang mede. Kadang-kadang tiap petani memiliki ongko sendiri-sendiri yang datang memberi panjar, dengan harga pasaran tapi timbangan kurang. Jadi, dari 100 kg, bisa jadi cuma 75 kg yang terhitung. Tapi, terkadang, ada semacam ijon di antara sesama warga sendiri dengan harga di bawah harga pasaran.
Ongko-ongko yang besar di Waitabula, antara lain: toko Eka Putra, Kristal, Atlantik, Timur Agung, Sinar Kasih, Tanjung Karoso, Dunia Indah, Spekulasi, Monika, SS. Ongko-ongko ini saling bersaing. “Ongko-ongko ini seringkali melakukan permainan harga. Harga bisa berubah tiap jam. "Ongko-ongko ini kompak permainkan harga! Umumkan harga naik, sampai di toko harga tetap, sementara itu sebenarnya petani ingin tahan hingga harga baik,” cerita seorang penduduk di Kodi. Pemda selama ini tidak cukup turun tangan. Penjualan kacang tidak terorganisasi atau manajemen modal tidak ada. Pernah ada pembeli dari India, ingin membeli dari pribumi, tapi akhirnya jatuh juga ke tangan Cina. Pemda tidak berkutik karena ongko-ongko itu membayar pajak tinggi. Pernah dibuat koperasi, awalnya berjalan bagus, lalu belum genap tiga tahun, uang dan keuntungannya dikorupsi pimpinannya. Walaaah…
Harga yang harus dibayar masyarakat dari berpindahnya manajemen alam dalam pengaturan pola tanam pangan menjadi pola tanam komoditi dengan manajemen pasarnya, tidak mampu ditanggung oleh masyarakat. Akibatnya, masyarakat kehilangan ketahanan hidupnya, dan menanggung kerawanan pangan, kelaparan, sakit-penyakit, kemiskinan. Sepertinya, kebanggan Kodi sebagai daerah penghasil padi ladang paling enak di Sumba akan tinggal jadi kenangan. Pisang dan alpukat yang juga sangat manis ditanam untuk dinikmati turis di Bali.
Siapa bilang kacang mede adalah kacang paling enak? Karena, buat saya sekarang, kacang mede adalah kacang paling pahit sedunia! Oh Tuhan… saya telah kehilangan “rasa” dari salah satu kacang terbaik yang tumbuh di bumi ini! Selamat tinggal menjadi penggemar kacang mede!***
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 4:18 PM 0 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, korupsi, Liberalisasi, Nusa Tenggara Timur, pemerintah, petani
13 July 2006
Namanya "Koreko"! Namanya "Koreko"! Namanya "Koreko"!
Oleh Iswanti Suparma
DI POJOK sebuah zaal RS Caritas, Waitabula, Sumba Timur tergolek tubuh telanjang layu kurus kering dalam balutan selimut kain. Matanya terpejam! Aku menoleh kanan kiri mencari orangtua dari anak lemah tak berdaya ini. Tidak ada siapa-siapa. Aku mencari papan nama, untuk mendapatkan identitas anak ini. Walaupun kudapatkan identitasnya, tetapi aku tidak ingin menuliskannya di sini.
Mungkin tidak ada gunanya! Karena di data dinas kesehatan atau pemerintah daerah, anak ini hanya akan menjadi satu dalam akumulasi penderita marasmus. Namanya siapa atau tinggal di mana, bagi orang luar Sumba, itu mungkin juga tidak penting untuk diingat, karena hanya sebuah kisah di luar sana.
Pemerintah Daerah Sumba Barat melalui Dinas Kesehatan menolak istilah “busung lapar”, dan menggantinya dengan “gizi buruk”. Apa pun istilahnya, dan apa pun alasannya, kondisi yang oleh masyarakat Kodi itu disebut sebagai koreko itu ada. Anak-anak yang menderita koreko ini, pastinya lebih dari sekadar penderita “gizi buruk”, karena anak-anak ini dalam istilah medisnya sudah masuk kategori marasmus kwashiorkor. Jika pergi ke Kodi, dan menanyakan pada orang di sana apa ciri penderita koreko, mereka akan menjawab: pughe (perut buncit), lau-kaka (pucat), ghai kii (kaki kecil), tango de weki (badan lemah/layu), mburu buataweki (berat badan menurun), karuku matana tama (mata masuk ke dalam), kundana amba’a (lutut bengkak).
Jika percaya pada data 2005 Dinas Kesehatan Pemda Sumba Barat, anak-anak penderita gizi buruk di Sumba Barat sebanyak 1.599 anak, dan 137 lainnya adalah penderita marasmus. Data itu dikumpulkan dari sejumlah 566 posyandu di Sumba Barat. Hingga Januari 2006, posyandu di Sumba Barat tercatat memiliki 2.478 kader, dan yang aktif sekitar 1.867 orang. Ketika persoalan kelaparan dan “gizi buruk” 2005 menjadi KLB (Kasus Luar Biasa), sekitar Rp 2,1 milyar dikucurkan Pemerintah Pusat dan Pemda Tk I Nusa Tenggara Timur untuk memperbaiki kondisi tersebut, dengan program PMT (pemberian makanan tambahan) 90 hari. Anggaran untuk tahun 2006 sebesar Rp 1,6 milyar. Tetapi, Pemda Kabupaten Sumba Barat sendiri, melalui Dinas Kesehatan baru bisa mengajukan proposal proyek untuk program penanganan gizi buruk 2006 pada bulan Mei (ketika penulis melakukan wawancara di Dinas Kesehatan). Alasannya, karena laporan proyek Program PMT 2005 harus beres dulu, baru bisa mengajukan proposal untuk program (tahun) berikutnya. Bagaimana ini? Anak-anak penderita marasmus keburu mati, menunggu dana proyek.
Kabupaten Sumba Barat memiliki 17 kecamatan, dengan 17 puskesmas. Data 2004-2005 menunjukkan wilayah puskesmas Wairasa paling tinggi jumlah penderita gizi buruk. Disusul wilayah puskesmas Kori, Bondokodi, Waimangura, Tena Teke, Wallandimu. Penderita marasmus paling tinggi terdapat di kec. Kodi, kemudian juga bisa dijumpai di kec. Lamboya, Katikutana, Umbu Ratu Nggay Barat. Dalam catatan RS Caritas, Waitabula, selama 2006, berturut-turut penderita malnutrisi akut maupun marasmus adalah sebagai berikut: Januari – 34 penderita (14 meninggal), Februari – 15 penderita (3 meninggal), Maret – 6 penderita (5 meninggal) dan April – 6 penderita (3 meninggal). Tinggi sekali angka kematiannya. Anak-anak penderita gizi buruk maupun koreko ini biasanya memiliki ‘penyakit akibat’ yang memperburuk kondisinya, seperti ispa, malaria vivax, disentri/mencret, sepsis, pneumonia berat, bronchitis, dan berbagai jenis penyakit lainnya.
Adakah masa depan bagi anak-anak penderita gizi buruk atau malnutrisi akut maupun marasmus? Penyakit-penyakit itu pelan-pelan melemahkan dan melumpuhkan daya tahan tubuh dan kemampuan kognitif mereka. Sangat kelabu membayangkannya. Sama kelabunya jika kita menatap bayangan bukit-bukit di Sumba pada petang hari …***
Categories: [Busung Lapar_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:36 PM 1 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur
12 July 2006
DAMPAK POLITIK BANTUAN: DARI BULGUR KE BUSUNG LAPAR
Oleh Yan Koli Bau
Sampai sekarang pengolahan data dan kontak lapangan dalam penelitian tentang fenomena busung lapar di Nusa Tenggara Timur yang dilakukan oleh The Institute for Ecosoc Rights, Jakarta, terus berjalan sesuai jadual. Temuan lapangan secara perlahan-lahan dikumpulkan. Berikut ini adalah sebagian pengamatan yang teman-teman sekalian para pembaca weblog ini dapat intip. Catatan satuan penelitian untuk kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di pulau Timor ini ditulis oleh Yan Koli Bau, pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT. Ia sekaligus bekerja bersama kami untuk menguak masalah busung lapar yang belum tuntas kita fahami apa sebab-sebabnya. Malah sekarang muncul kecondongan: dampak ketergantungan masyarakat pada bantuan semakin tinggi. Rekomendasi: politik bantuan harus diluruskan. Tapi politik ini sangat dikuasi oleh semangat “proyekisme” dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Penyelesaiannya bisa rumit! Bagaimana caranya "meneruskan bantuan with do no harm"?
PENGAMATAN saya di lapangan memperlihatkan, warga masyarakat sudah sangat banyak menerima bantuan baik dari segi jenis, jumlah bantuan, lembaga pemberi bantuan maupun frekuensi menerima bantuan. Sebuah rumahtangga (yang dikategorikan) miskin yang saya temui di suatu dusun yang berada di tepi jalan raya Kupang-Atambua di TTS mengaku, mereka sudah pernah menerima bantuan medis (obat), makanan tambahan untuk anak, beras, bibit ayam, kambing, babi, sapi, anakan jeruk, pisang, kacang hijau dan sekarang akan menerima bantuan sapi. Mereka menuturkan secara jujur bahwa yang paling menyenangkan adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebab tanpa harus bekerja mereka langsung mendapat uang tunai. Mereka tidak perlu menabung.
Kisah hidup dua keluarga yang rumahnya berseberangan jalan raya dapat mempertajam pertanyaan-pertanyaan di atas sebab salah satu rumahtangga yang anaknya tidak menderita busung lapar masih memiliki lima ekor babi, empat ekor kambing, beberapa rumpun pisang dan beberapa pohon jeruk yang sudah memberi hasil selama dua tahun. Sementara di seberangnya terdapat keluarga miskin lain yang pernah mendapat bantuan tapi anaknya menderita busung lapar. Bahkan dua orang anak dalam rumahtangga ini meninggal dunia. Tak tersisa apa pun di keluarga ini. Anakan jeruk mati, pisang mati, babi tidak ada, kambing juga tidak ada. Alasannya cukup rasional: tanah tidak cocok, ternak diserang penyakit dan mati, dsb.
**
Pulau Timor dikenal bercurah hujan kurang. Musim kemarau lebih lama dibandingkan musin hujan. Topografi sebagian wilayahnya berupa tanah berlereng dengan kemiringan mencapai 60 derajat. Bagian barat pulau ini yang menjadi wilayah Indonesia sejak dahulu dihuni oleh setidaknya enam suku asli yaitu: Bunak, Dawan atau Meto, Helong, Kemak, dan Melus. Yang terakhir ini sudah punah. Sekarang kita tinggal melihat artefak peninggalannya. Konon, dahulu warga masyarakat hidup berkecukupan bahkan selalu melakukan ritual tradisional dengan menyembelih ternak kerbau, sapi, babi dan kambing untuk memuja kekuatan supernatural yang disebut dengan nama yang berbeda-beda untuk tiap kelompok etnis. Di kalangan orang Bunak kekuatan supernatural itu disebut hot gol, orang Tetun menyebutnya maromak. Orang Dawan atau Meto menyebutnya uis neno, dan sebagainya.
Barangkali seperti juga terjadi di berbagai lokasi di negeri kita, “kerusakan sosial” banyak melanda masyarakat kita. Salah satu kerusakan sosial yang dituturkan secara jujur oleh warga masyarakat adalah hilangnya solidaritas sosial dan tanggungjawab sosial dalam kehidupan bersama. Kasus kerusakan bangunan sekolah, kantor kepala desa, kantor camat, dll. barangkali merupakan pertanda kerusakan sosial. Dulu, ketika Belanda belum memperkenalkan kerja paksa dengan hukuman denda dan siksaan fisik, warga masyarakat secara gotong royong bekerja untuk kepentingan umum seperti membangun saluran irigasi, jalan kampung, rumah adat, tempat melakukan ritual tradisional. Setelah Belanda memperkenalkan kerja paksa warga masyarakat sudah mulai berubah. Mereka bekerja untuk kepentingan umum hanya karena takut akan denda dan hukuman fisik. Akibatnya semakin jauh dari kontrol penguasa Belanda, semakin banyak fasilitas umum yang tidak terawat. Kondisi ini berjalan sampai1970-an.
Selanjutnya setelah pemerintah orde baru memperkenalkan proyek-proyek pembangunan, entah proyek inpres, padat karya atau proyek jalan raya, irigasi dan bangunan atau fasilitas publik solidaritas dan tanggungjawab sosial warga masyarakat cenderung semakin memudar. Mereka enggan memperbaiki saluran air yang rusak. Bangunan sekolah, kantor kepala desa, camat atau jalan raya yang rusak karena mereka cenderung menanti datangnya proyek. Bahkan tanah longsor yang membahayakan nyawa sesamanya pun dibiarkan saja. Seolah-olah sudah tak ada lagi rasa solidaritas dan tanggung jawab sosial. Di sebuah desa jalan menuju satu situs bersejrah rusak parah. Ketika saya bertanya mengapa jalanan tidak diperbaiki, tokoh masyarakat yang menemani saya menjawab bahwa pemerintah belum mendatangkan proyek. “Kalau mau situs itu terpelihara, biarlah para keturunan penguasa setempat memperbaikinya,” katanya.
**
Di pulau Timor ini kelaparan sebenarnya juga bukanlah hal baru. Sejak dahulu orangtua mereka menurunkan ceritera bahwa leluhur mereka juga pernah mengalami kelaparan, bahkan berakibat kematian warga dalam jumlah banyak. Tahun 1930-an, 1947 dan 1978 terjadi kelaparan disertai aneka penyakit mulai dari luka sekujur tubuh hingga kematian. Warga masyarakat selalu menghubungkannya dengan pandangan mistis, kekuatan supernatural marah, atau leluhur marah. Jalan keluarnya, menurut mereka, adalah melakukan ritual pengorbanan hewan dan bahan makanan, menaati larangan-larangan merusak lingkungan, melakukan tindakan asusila, dsb. Tentu saja tidak semua hal ini jelek tapi ternyata semuanya belum mampu menjawab kejadian kelaparan itu sendiri. Sebab, kelaparan terjadi kapan saja dan di mana saja, meskipun berbagai larangan --merusak lingkungan, melakukan perbuatan asusila dan yang sejenis-- tentu saja sangat berguna.
Pemerintah, tampaknya juga cukup peka. Ketika terjadi kelaparan 1978, misalnya, pemerintah memberikan berbagai bantuan antara lain bantuan medis, bibit tanaman bahkan bahan makanan berupa bulgur. Di beberapa wilayah kecamatan di kabupaten TTS, misalnya, pemberian bulgur berjalan sampai 1972. Persoalannya: mengapa kemiskinan tidak pernah lenyap? Adakah kebijakan pemerintah tidak tepat ataukah warga masyarakat sendiri yang tidak mampu memanfaatkan bantuan pemerintah untuk mengentaskan diri dari kemiskinan? Dengan mengalirnya begitu banyak bantuan dalam beberapa tahun terakhir rupanya pertanyaan-pertanyaan di atas perlu dicari jawabnya agar ke depan baik pemerintah maupun warga masyarakat tidak melakukan program yang sifatnya mengulang-ulang kesalahan atau menciptakan masalah baru dan pola ketergantungan ‘berkelanjutan’.
**
Satu yang tersisa dari seluruh proses penelitian yang kami lakukan: sebuah catatan sejarah dalam ingatan warga masyarakat, “Ooohhh betapa murah hatinya pemerintah.” Apakah lalu ritual untuk uis neno, maromak oan, hot gol dan sebagainya akan lenyap tergantikan oleh orang-orang berseragam memegang stopmap dan kalkulator? Semoga warga masyarakat juga masih berujar: “Oohhhh betapa murah hatinya Tuhan.”**
Categories: [Busung Lapar_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 2:45 AM 4 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, korupsi, Nusa Tenggara Timur, pemerintah
05 July 2006
Gempa Jogyakarta Mengguncang PRT Singapura
Oleh Savitri Wisnuwardhani
KESEDIHAN, ketakutan, kegelisahan, kemarahan dan kepasrahan bercampur aduk dalam diri sebagian besar korban gempa Jogyakarta dan Jawa Tengah pertengahan Mei 2006. Perasaan ini jugalah yang membebani diri Fitri, seorang PRT migran di Singapura yang keluarganya menjadi korban bencana gempa. Dalam dirinya ia selalu bertanya, “Bagaimana keadaan orangtuaku? Apakah mereka selamat? Di manakah mereka akan tidur? Bagaimana mereka menghadapi trauma ini?” Pertanyaan-pertanyaan ini selalu menghantui hari-harinya selama ia bekerja sebagai PRT di Singapura, nun jauh dari kampung halamannya yang porak poranda diguncang petaka. Ia jadi sulit berkonsentrasi sewaktu bekerja.
Apakah Fitri akhirnya bisa bertemu dengan orangtuanya di Jogyakarta? Masih hidupkah mereka? Bagaimana nasibnya?IA MENCOBA bertanya kepada majikannya apakah ia diperbolehkan untuk pulang ke Jogya walaupun hanya beberapa hari saja. Namun, majikan tidak mengijinkan permintaannya dengan alasan ia baru beberapa bulan bekerja. Majikan bilang bahwa setelah dua tahun ia baru bisa mengunjungi keluarganya. Dengan rasa kecewa dan pasrah, ia hanya bisa memantau kondisi keluarganya melalui telpon, pesan singkat dan lewat temannya seorang wartawan yang kebetulan ke Jogya untuk meliput korban gempa Jogya dan Jawa Tengah.
Ia meminta teman wartawannya itu untuk meluangkan waktu menengok keluarganya di daerah Sleman, Jogyakarta bagian utara. Ia kenal dengan wartawan ini ketika ia ada di shelter, sebuah tempat penampungan sementara bagi para PRT Singapura yang mendapat masalah dengan para majikan. Di sinilah ia bertemu dan menjadi salah satu teman terdekatnya. Dari wartawan inilah, ia juga mendapat pengetahuan untuk mengembangkan talenta pada dirinya yakni kemampuan untuk memotret. Dan hasil dari jepretannya sudah di publikasikan dalam sebuah pameran di Singapura yang disponsori oleh berbagai pihak yang diusahakan oleh teman wartawannya tersebut.
Hati Fitri mulai sedikit tenang ketika temannya memberitahukan bahwa keadaan keluarganya baik-baik saja, walaupun keluarganya masih trauma terhadap gempa sehingga mereka tidak berani tidur di dalam kamar tidur melainkan di ruang tamu dan di halaman depan rumah. Keluarganya memang masih belum bisa bangkit dari trauma karena peristiwa itu sangat menegangkan dan menakutkan bagi mereka. Selain trauma, sebagian kecil dari rumah keluarga Fitri juga terkena gempa. Bagian yang terkena gempa adalah bagian dapur dan beberapa pondasi sudah retak-retak. Namun untunglah kondisi bangunan tersebut masih kokoh dan layak dipakai.
FITRI memulai bekerja di Singapura tahun 2003. Sampai sekarang ia belum dapat pulang ke rumah karena harus menyelesaikan kontrak kerjanya. Ia berasal dari keluarga petani yang cukup berhasil karena ayahnya selain bertanam padi, ia juga bertanam tembakau. Namun sayang, usaha tani keluarga Fitri selama hampir lima sejak 2002 tidak membuahkan hasil.
Terdorong rasa kasihan dan ingin membantu beban kedua orangtuanya, Fitri dan kakaknya mencoba merantau ke negeri orang dengan bekerja sebagai PRT. Persyaratan demi persyaratan dilaluinya. Akhirnya sampailah pada tes kesehatan. Pada tes inilah kakak Fitri dinyatakan tidak lulus dan hanya Fitrilah yang dapat bekerja ke Singapura. Maka disertai doa dan restu kedua orangtuanya dan harapan akan sukses bekerja serta mendapatkan uang banyak, Fitri berangkat ke Singapura tahun 2004.
Ada banyak sekali Fitri-Fitri lain yang ingin pulang, rindu akan kampung halamannya. Apalagi jika keluarga di kampung halaman terkena bencana dan musibah. Namun apa daya, banyak hal yang menyebabkan mereka tidak dapat segera pulang. Salah satunya yang dialami oleh Fitri ini.***
Categories: [Buruh Migran_] [Perempuan_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:12 PM 0 komentar
Label: buruh migran, Indonesia
Sulitnya Memotret Anak Busung Lapar
Oleh Sri Palupi*)
SIMAKLAH potret anak busung lapar di bawah ini. Sebut saja Silvana. Umurnya belum mencapai tiga tahun. Kesan sekilas, wajah anak itu menghindari sorot kamera. Beberapa kali aku memotret anak busung lapar, hasilnya tidak jauh beda. Tak satu pun dari anak-anak itu yang wajahnya menghadap kamera. Mengapa bisa demikian? Apakah anak-anak itu takut pada sorot kamera? Ataukah mereka malu? Atau barangkali anda menduga mereka terganggu dengan kilatan blitz yang menyilaukan itu? Sama sekali tidak!! Masalahnya bukan pada diri anak-anak itu, tetapi pada pemegang kamera. Bukan anak-anak itu yang takut pada kamera, tapi pemegang kameralah yang tak punya keberanian menatap wajah anak-anak itu.
Bayangkan seandainya andalah pemegang kamera itu. Dengan kamera di tangan anda, rasanya siapapun siap anda bidik. Tidak demikian yang terjadi kalau saja anda menatap wajah anak-anak busung lapar. Barangkali apa yang anda alami tidak berbeda jauh dengan pengalamanku memotret anak-anak itu. Ketika mata kamera kuarahkan ke wajah anak-anak itu, sebilah pisau tajam serasa melesat dari sorot mata mereka: “Mengapa aku? Mengapa kaubiarkan aku seperti ini?” Sebagai orang dewasa, aku tak siap menghadapi gugatan setajam itu. Karenanya aku tak pernah bisa bertatap mata dengan anak-anak itu lewat kameraku. Aku memotret anak-anak itu tanpa menatap wajahnya. Dengan cara seperti itu, setidaknya aku masih bisa memotret tubuh mereka tanpa harus menghadapi sorot mata mereka.
Jangankan menatap sorot mata. Melihat sosok tubuh belia yang renta itu saja rasanya butuh keberanian ganda. Anak-anak busung lapar itu hadir dengan wajah gelisah dan rewel. Mereka lapar, tapi tubuhnya tak kuasa menyerap makanan biasa. Setiap suap yang disodorkan secara paksa pada mulutnya, ia muntahkan kembali. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan menangis. Tak seorangpun tahu apa yang dirasakannya. Namun dari wajahnya kita bisa membaca siratan rasa sakit luar biasa. Lapar dan sakit membuat anak-anak itu menangis dan terus menangis. Lapar telah merampas, bukan saja bobot tubuh anak-anak itu, tetapi juga umur mereka. Simaklah sekali lagi tubuh Silvana. Siapa menyangka ia belum tiga tahun. Meski belum tiga tahun umurnya, tubuh itu telah menyusut dan mengemban kerentaan seorang nenek tua yang kenyang makan asam garam dunia. Tragis.
Sebenarnya baru enam hari aku mengenal Silvana. Ia kutemui dalam perjalanan ke Sumba Barat pada September 2005 untuk menjajagi masalah busung lapar di daerah itu. Saat kutemui ia terbaring lemah di satu bangsal rumah sakit di daerah Weetebula, Sumba Barat, NTT. Aku tinggal di salah satu kamar di rumah sakit itu, persis di belakang bangsal anak, tempat Silvana dirawat akibat marasmus. Dalam enam hari aku tinggal di rumah sakit itu, setidaknya dua kali sehari aku memandang wajah anak itu dan menyaksikan tubuhnya lunglai kelelahan. Dua kali sehari pula setidaknya aku melihatnya menangis luar biasa. Kusebut luar biasa, karena yang terjadi sebenarnya bukanlah tangisan, tetapi jeritan kencang.
Tataplah sekali lagi wajah anak itu. Bukankah otot muka dan lehernya menegang dan membesar layaknya orang berteriak atau menjerit? Meski menangis dan terus menangis, tak sebutir air mata pun meluncur dari pelupuk matanya. Meski menjerit lagi dan lagi, ruangan tempat ia dibaringkan tetaplah sunyi. Padahal dari ruang lain orang bisa dengar suara tangis anak-anak susul-menyusul beradu keras. Sementara tak seorang pun mendengar tangis lirih Silvana, betapapun ia sudah sudah menjerit. Ada yang salah dengan pita suaranya. Tampaknya busung lapar tak hanya menggerogoti tubuh dan otak Silvana, tetapi juga memakan air mata dan rintih tangisnya. Anehnya para pengunjung di rumah sakit itu terusik, bukan oleh suara keras anak-anak di bangsal sebelah tapi oleh teriakan sunyi gadis cilik yang tengah didera kesakitan akibat busung lapar.
Para pengunjung turut bersimpati atas derita Silvana, namun tak satu pun dari mereka yang kuasa mendekat. Apalagi menyentuhnya. “Tak tahan melihatnya,” komentar mereka. Kalau melihat dari dekat saja sudah tidak tahan, bisa anda bayangkan keberanian macam apa yang dibutuhkan untuk membidik anak busung lapar dengan wajah menghadap kamera? Terlebih bagi orang-orang macam aku ini, yang tak biasa dengan kamera. Meskipun setiap hari aku menengok Silvana, namun keberanian untuk memotretnya baru muncul di menit terakhir menjelang kepulanganku ke Jakarta. Potret itu pun terasa sekenanya.
Sembilan bulan berlalu setelah aku memotret Silvana. Kini satu angan-angan mengalir dari ruang batinku. Andai busung lapar tidak menelan habis air mata, rintihan dan jeritan anak-anak itu, tentulah jerit tangis seorang anak marasmus macam Silvana sudah cukup menggerakkan siapa pun untuk melakukan apa pun demi menghindarkan setiap anak dari ancaman busung lapar. Sayang, yang terjadi tidaklah demikian. Derita jutaan anak busung lapar di berbagai pelosok negeri ini masih dianggap sepi. Sebab tangis mereka tanpa air mata dan jeritan mereka tanpa suara.
Seandainya saja aku punya keberanian lebih, akan kuhadirkan setidaknya dua sorot mata Silvana lewat bidikan kameraku. Siapa tahu sorot mata itu masih bisa menggerakkan siapa saja untuk melakukan apa saja demi anak-anak itu. Siapa tahu pula ada kamera-kamera lain yang juga tergerak untuk menghadirkan sejuta sorot mata anak busung lapar di sejuta tempat yang lain. Barangkali dengan hadirnya jutaan sorot mata anak-anak busung lapar yang dari tahun ke tahun terus bertambah itu, membuat bangsa ini dapat menyikapi masalah busung lapar sebagai tragedi yang sepantasnya ditangani secara serius.
Penanganan serius hanya bisa dibuktikan dengan dijalankannya pendekatan yang lebih menyentuh akar persoalan. Selama ini penanganan masalah busung lapar cenderung dijalankan dengan pendekatan proyek, bersifat emergency dan tidak mengatasi masalah. Terbukti, angka penderita busung lapar di NTT, misalnya, sampai sekarang terus bertambah meski milyaran rupiah sudah dikucurkan. Sayangnya, aku hanyalah seorang pengecut. Menghadirkan dua sorot mata saja aku tak mampu. ***
* Sri Palupi
Ketua Institute for Ecosoc Rights, peserta program pasca sarjana STF Driyarkara, Jakarta
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:43 AM 0 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur
02 July 2006
Dengan Senyum, Ia Mengarungi Rimba Jakarta
Oleh Sri Maryanti
BU INAH. Perempuan asal Yogja. Usia 45 tahun. Umur 14 tahun ia menikah dengan lelaki asal Pati, Jawa Tengah di Jakarta. Sejak itu, mereka tinggal di ibukota yang riuh rendah itu. Suaminya bekerja sebagai sopir bajaj. Ia sering mangkal di pasar PSPT Tebet Timur Jakarta dari jam enam pagi sampai jam dua siang. Pendapatannya sebagai sopir bajaj kian hari kian tak menjanjikan karena kalah dengan jasa ojek yang sudah merebak ke mana-mana. Orang kini lebih memilih ojek ketimbang bajaj karena lebih cepat dan sedikit lebih murah.
Kalau sedang ramai, ia memperoleh penghasilan antara Rp40.000 sampai Rp50.000 per hari. Uang itu ia pakai untuk bayar setoran Rp20.000. Sisanya baru dibawa pulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau sedang sepi, penghasilannya hanya cukup untuk bayar setoran. Sebenarnya ia ingin menarik bajaj sampai larut malam untuk tambahan nafkah, tapi tubuhnya sudah menua dan kesehatannya makin buruk. Sekarang ia sering sakit batuk.
Bagaimana kisah Bu Inah menyelesaikan masalah rumah tangganya?
Untuk membantu ekonomi keluarga Bu Inah bekerja membersihkan kantor kami dari jam sembilan pagi sampai jam 11 siang. Untuk memperoleh Rp250.000 per bulan, tiap pagi ia bekerja menyapu, mengepel, melap perabot, mencuci piring dan gelas serta menggosok kamar mandi. Tiap pagi ia berangkat kerja dengan berjalan kaki dari rumahnya ke kantor kami.
***
SAPAAN “Assalamualaikum” setiap pukul sembilan pagi makin akrab di telinga kami. Sebentar kemudian, seraut wajah perempuan setengah baya muncul dari balik pintu depan kantor kami. Meskipun belum ada satu bulan ia bekerja di kantor kami, kami mulai hafal dengan nada sapaannya. Sekedar sopan santun, kutanyakan di mana ia tinggal saat ini. Suaranya datar, jadi pemula kehadirannya dan kebiasaannya yang membuat kami tahu, ia akan segera memulai pekerjaannya. Tak kupedulikan benar apa jawabannya atas pertanyaanku. Namun, aku rasakan dari tanggapannya, di balik wajahnya yang pendiam tersimpan keramahan dan kerendahan hati yang kuat. Sambil mengayuhkan gagang sapu, ia menuturkan banyak hal dengan lugas. Tak ada kesan sama sekali, ia minta dikasihani.
***
“KONTRAKAN kami tidak bagus. Sering banjir, bahkan pernah kami sekeluarga tidak tidur semalaman karena banjir tahun ini. Kalau banjir kami harus nawu agar cepat kering,” kata Bu Inah. Ia tinggal di lingkungan kumuh, padat penduduk, di pinggir rel kereta api di kawasan Tebet Timur. Perempuan warga kampung itu kebanyakan bekerja sebagai pembantu, dan laki-laki jadi tukang ojek, sopir taksi, buruh bangunan, dll.
Begitulah nasib warga miskin di Jakarta. Tinggal di sebuah tempat yang jauh dari layak. Meskipun sering tidak tenang karena dihantui banjir, Bu Inah tak bisa berbuat apa-apa. Ia dan keluarganya hanya mampu mengontrak rumah petak seharga Rp120.000 per bulan. Kontrakan itu berupa satu kamar ukuran 3x4 meter persegi yang ia gunakan untuk tidur sekaligus tempat memasak dan makan. Tiap pagi Bu Inah dan keluarga harus antri mandi gantian dengan 30 keluarga lainnya. Pemilik kontrakan hanya menyediakan dua kamar mandi dan sebuah sumur berupa pompa dragon untuk kebutuhan air 30 keluarga sekaligus. “Kalau mau yang tidak banjir, ya harus sewa yang lebih mahal seharga Rp250.000.”
Saat ini Bu Inah dan suami serta empat anaknya tinggal di tempat tersebut bersama-sama. Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal dengan suaminya di rumah petak sejenis di dekatnya. Anak kedua bekerja di sebuah salon, anak ketiga bekerja sebagai pramuniaga di sebuah mal, anak keempat masih duduk dibangku SMP, dan anak terakhir masih duduk dibangku SD. Ia juga sudah lupa kapan terakhir ia pulang ke daerah asalnya. Selain karena ia dan anak-anaknya tinggal di Jakarta, masalah ongkos transpor menjadi pertimbangan untuk tidak pulang ke daerah asal. Untuk kebutuhan sehari-hari ia biasanya memerlukan Rp30.000 untuk makan, kebutuhan rumah tangga, transportasi, sumbangan orang hajatan, dll. Pada musim orang ramai hajatan, ia bisa mengeluarkan sumbangan sampai empat kali sebulan.
Meskipun keluarganya memiliki KTP Jakarta, keluarga Ibu Inah tidak menerima bantuan dari pemerintah baik berupa beras untuk rakyat miskin maupun bantuan kompensasi BBM. Begitu juga 30 keluarga lain yang tinggal di lingkungannya, tak ada satu pun yang menerima bantuan. Mereka kebanyakan berasal dari Tegal dan Inderamayu dan sudah memiliki KTP Jakarta.
DENGAN segala keterbatasan itu, Ibu Inah terus melangkah dalam kehidupan ibu kota ini. Tangannya tak berhenti mengayuh sapu dan kain lap. Bu Inah selalu tersenyum setiap akan pamit seusai bekerja. Senyum dan wajahnya yang berkeringat adalah pertanda rasa ikhlas atas jerih payahnya dalam menciptakan suasana bersih di kantor kami. Dan mungkin dengan senyum tulusnya itu pula selama tiga puluh tahun ia arungi rimba Jakarta yang makin beringas ini.***
Categories: [Kota_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:19 PM 0 komentar
Label: Kemiskinan
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA