02 August 2006

Belalang dan Keong Mas di Sumba Timur (2)

MESKIPUN orang terus baku debat tentang bagaimana memahami hama-hama lapar di Nusa Tenggara Timur (hama belalang kembara, keong mas, dll.), tampaknya ada satu hal penting yang tak boleh lupa: Apakah hama itu sudah tak mengancam pertanian di Sumba lagi? Mudah-mudahan.

Namun, yang jelas, keadaannya tetap tak jelas, karena hama itu masih mungkin menyerang lagi. Saya mendapatkan kabar yang mengandaikan masih adanya ketakpastian ini dari Simon P. Pandahuki, petugas pemantau dan pengendali hama (PHT) dari dinas pertanian Sumba Timur. Apa yang dilakukannya? Bagaimana ia bisa berhasil mencegah hama belalang menghabisi sawahnya?

Karena tugasnya, Simon meninjau dan memantau bibit-bibit belalang itu muncul di mana saja. Keliling-keliling kabupaten. Naik sepeda motor. Berat juga pekerjaan pegawai negeri ini. Dia juga pernah mendampingi pakar entomologi Prof Kasumbogo Untung dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, untuk meneliti perilaku belalang kembara itu. Entah apa hasilnya untuk masyarakat Sumba. Nyaris kurang terdengar dari mulut para petani. Yang jelas, April 2006 Simon melihat puluhan ribu belalang sudah mulai ngendon lagi di hutan terdekat dari Waingapu. Wanti-wantinya perlu didengar, kalau tak ingin terlambat.

Caption: Simon Pandahuki sedang memegang bibit mimba (kiri/atas), Agus Dapa Loka (kanan/atas), Ndena Njurumana (bawah/samping)

Simon sendiri sudah tahu kunci penanganannya, tapi tampaknya hanya untuk lingkup lahan pertanian sempit. Bukan untuk proyek yang besar. Jangan-jangan belalang kembara ini tak bisa ditangani secara proyek-proyekan. Barangkali ini hikmahnya untuk masyarakat dan pemerintah. Yang jelas, tampaknya kemujarabannya layak dicoba. Soal proyek atau jangan proyek itu tampaknya soal lain, karena bersangkutan dengan berbagai aspek implementasi program dan bergantung kerangka berpikirnya bagaimana. Tapi, yang jelas, apa pun keadaan dan alasannya, coba sekali lagi bayangkan: hama belalang sudah menyerang selama delapan tahun di jangkauan wilayah dua kabupaten di pulau Sumba (juga dilaporkan terjadi di Timor). Terlalu lama dan terlalu luas. Dan sampai sekarang sebagian besar masyarakat petani sebenarnya tetap belum pasti tentang penanganan praktisnya bagaimana. Siapa yang salah? Pemerintah atau masyarakat?

Sebenarnya saya ingin bertemu dengan Simon bukan karena belalang, tapi karena ia membibitkan pohon mimba di halaman rumahnya. Saya tertarik mau bawa oleh-oleh bibit pohon mimba (azadirachta indica), karena berbagai kegunaannya. Di antaranya adalah untuk pengobatan penyakit (anti diare, penyakit napas, sakit gigi, malaria, kencing manis, disentri, masuk angin, penyakit kulit [eksim, gudig] sindap, ketombe, hepatitis, gagal lever, kanker lever, jerawat.. Wah, 1001 penyakit. Hebat nggak?), dan bisa untuk macam-macam guna lain: obat nyamuk, pestisida dan pupuk organik. [Wah, wah! Itulah sebabnya saya mau tanam di pot. ☺] Nusa Tenggara Timur sendiri dikatakan sebagai kawasan di mana pohon mimba itu banyak tumbuh. Simon mengatakan mimba sebenarnya lebih banyak di Madura. Teman-teman di Jember, Jawa Timur tak asing dengan tanaman ini. Tapi hati-hati, kalau kebanyakan minum ramuan tanaman ini, bisa mandul, kata mereka.

Rumah Simon di balik kawasan pacuan kuda Waingapu dikelilingi pohon-pohon mimba. "Di dalam rumah saya tak ada nyamuk," begitu ia menyatakan keyakinan kemujaraban pohon yang rasa daunnya pahit itu. Di depan rumahnya demplot-demplotannya sudah banyak membantunya ketika mendukung proyek ratusan juta rupiah untuk menanam mimba oleh Bappeda Sumba Timur. Entah ditanam di mana pohon-pohon itu. Soalnya, petani-petani yang anak-anaknya kurang gizi kok tak tahu-menahu tentang mimba yang dahsyat kegunaannya itu.

Simon sendiri juga punya sawah sesempit 10 are, tak jauh dari saluran air bendungan Kambaniru. Dan sawahnya, menurut pengakuannya, tak pernah diserang belalang sama sekali. Hasilnya bisa sampai 800 kg gabah. Tapi kenapa kok hanya Simon saja yang bisa mencapai prestasi semacam ini? Memang tugasnya tidak jadi penyuluh sih. Tapi apa yang dilakukan para penyuluh yang lain? Terlalu banyak petani dan jumlah penyuluh kurang? Ini pendapat yang dikemukakan oleh mantan kepala dinas pertanian kabupaten Sumba Timur, yang saya temui di toko pertaniannya Aditani di kota Waingapu, tapi ternyata juga anggota DPR dan Departemen Pertanian di Jakarta.

Sambungan lain: Meskipun sudah tak ada hama belalang menyerang 2006, banyak petani masih saja menceriterakan sedikitnya hasil produksi mereka. Jumlahnya tak mencukupi untuk persediaan makanan keluarga, sekalipun.

Alasan lain yang mereka ajukan adalah hama keong mas. Di desa-desa di sekitar bendungan Kambaniru, kecamatan Waingapu, Sumba Timur, masih dikeluhkan adanya hama siput ini. Bisa kita lihat dengan mudah cangkang-cangkang bekas rumah mereka dan telur-telurnya di sawah-sawah di sekitar kelurahan Mauliru. Teman saya Agus Dapa Loka yang bertani di sekitar kelurahan Kambajawa kewalahan menghadapi keong mas.

Di pulau Jawa, lagi-lagi, seperti belalang, orang memakannya untuk tambahan protein. Di Sumba semula orang memakannya, tapi sekarang sudah jadi jijik karena siput yang telurnya seperti es krim itu sudah jadi terlalu banyak dan jadi hama. Agus Dapa Loka mengatakan telur-telurnya bahkan sudah bersarang di dinding bendungan Kambaniru. Wah.

Sementara petani pintar bisa mengendalikannya dengan memelihara bebek dan itik. Tapi banyak yang tak memelihara unggas ini meskipun mereka tahu telurnya bergizi. Atau, memasang pintu air dari bambu di mulut saluran sawah. Keong-keong akan mangkal di situ. Tinggal ambil. Malah Ndena Njurumana juga mengamati bahwa keong-keong ini bisa berguna, karena mereka hanya makan batang padi ketika masih muda. Maka bisa dimanfaatkan untuk membersihkan gulma, katanya.

Kemudian saya ceriterakan pada Agus Dapa Loka tentang kegunaan pohon mimba. Dia terheran-heran. Pohon mimba ada di belakang rumahnya, tapi dia tak tahu untuk apa. Untung tak ditebang. Juni 2006 dia mencoba ramuan mimba ini untuk membasmi wereng yang juga menyerang sawahnya. Wereng langsung tewas, tulisnya lewat pesan singkat pada saya. “Campuran dan porsi yang saya coba ternyata pas sekali,” lanjutnya dalam sms.

Siapa mau coba?**

TIPS MENARIK!
Yang ingin sedikit mencicipi pandangan udara dan sekaligus meraba latar belakang ilmu bumi dari Kota Waingapu, kawasan persawahan di pinggir kota ini yang sayangnya justru banyak anak kurang gizi, dan bendungan (sungai) Kambaniru kiranya tak rugi jika meng-klik beberapa links jasa WikiMapia yang ada dalam kalimat ini, asal sabar dikit.

Lihat tulisan sebelumnya: Belalang dan Keong Mas di Sumba Timur (1)

No comments:

Post a Comment