MUNCULNYA ORI atau obligasi negara yang dijual secara ritel tentu patut disambut gembira karena instrumen ini memperkaya pilihan investasi dari pemodal ritel. Selama ini, pemodal ritel (terutama yang memiliki modal terbatas) sulit mengakses obligasi secara langsung mengingat nominal transaksi obligasi yang cukup besar (biasanya minimum Rp 1M). Namun, sebelum memutuskan untuk berinvestasi di ORI 001 (selanjutnya disebut ORI), ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama-tama, mari kita melihat imbal hasil yang diberikan ORI. Rencananya ORI akan memberikan kupon (menjadi imbal hasil jika dibeli pada harga 100%) sebesar 12,05% per tahun yang berarti setelah pajak menjadi 9,64% per tahun. Melihat karakteristik ORI dan pemodal ritel yang menjadi target utama ORI, sangat layak jika ORI dibandingkan dengan suku bunga deposito bulanan saat ini yang berada di kisaran 11,7% per tahun atau 9,36% per tahun setelah pajak. Ada selisih imbal hasil antara ORI dengan deposito bank sebesar 0,28% per tahun. Pertanyaannya, apakah selisih tersebut cukup untuk mengkompensasi “kekurangan” ORI dibanding deposito yaitu dalam hal tenor, likuiditas dan transparansi harga.
Pemodal ritel harus sungguh-sungguh memperhatikan horison investasi mereka jika hendak membeli ORI yang memiliki tenor (jangka waktu sampai jatuh tempo) tiga tahun. Selama ini, horison investasi sebagian besar pemodal ritel di Indonesia (yang berinvestasi di reksa dana dalam beberapa tahun terakhir) adalah jangka pendek, bahkan sangat pendek yang berkisar antara satu sampai tiga bulan. Sebenarnya horison investasi tidak harus match dengan tenor suatu instrumen. Mismatch antara horison investasi dan tenor bisa memberi capital gain namun bisa juga membawa capital loss.
Pelaku pasar professional bahkan seringkali dengan sengaja menciptakan mismatch dalam melakukan trading. Namun keuntungan tersebut hanya akan terealisir jika harga bergerak sesuai dengan posisi yang diambil pelaku pasar tersebut. Capital loss itu sendiri bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain pergerakan suku bunga. Bagaimana dengan peluang suku bunga untuk turun ke 10% yang oleh beberapa pengamat dikatakan cukup besar? Bukankah ada peluang memperoleh capital gain?
Peluang itu tentu saja ada. Akan tetapi, di tengah kecenderungan kenaikan suku bunga yang dilakukan beberapa bank sentral seperti di Jepang dan Australia belakangan ini dan harga minyak yang cenderung naik akibat eskalasi krisis Timur Tengah, peluang suku bunga untuk tidak turun atau bahkan naik juga ada. Lebih daripada itu, mengingat karakteristik pemodal ritel dan melihat bahwa pasar obligasi ritel ini sendiri belum teruji baik dari segi likuiditas maupun pembentukan harganya (price discovery) tentu hal yang wajar jika dikatakan bahwa eksposur terhadap capital loss lebih besar jika ORI dijual dalam jangka pendek.
Bagaimana dengan pemodal yang memiliki horison investasi kurang dari tiga tahun? Selain pergerakan harga akibat suku bunga seperti yang dijelaskan di atas, likuiditas menjadi faktor kunci yang harus dipertimbangkan oleh pemodal ritel seperti ini. Resiko likuiditas dikatakan kecil apabila kita bisa membeli atau menjual suatu instrumen secara cepat tanpa mempengaruhi harga secara signifikan. Ada banyak pelajaran yang bisa mengingatkan kita betapa pentingnya likuiditas ketika suatu industri keuangan berhubungan dengan nasabah atau pemodal ritel. Salah satu bank terbesar di Indonesia pernah ambruk karena di-rush oleh nasabah hanya dalam beberapa hari.
Industri reksa dana tahun lalu remuk redam setelah dihantam kepanikan pemodal ritel yang melakukan penarikan dana secara massal. Terjadi penurunan harga obligasi yang luar biasa yang tidak terkait dengan faktor utama penentu harga obligasi seperti pergerakan suku bunga maupun kemampuan bayar emiten. Semua terjadi karena kepanikan pemodal yang mengakibatkan terkurasnya likuiditas. Tetapi kedua peristiwa itu bisa kita golongkan sebagai kejadian luar biasa.
Bagaimana dengan likuiditas dalam keadaan normal? Ada dua indikator yang bisa menunjukkan tingginya likuiditas yaitu besarnya volume transaksi dan tipisnya perbedaan (spread) antara bid (penawaran harga beli) dengan asked price (penawaran harga jual). Untuk menciptakan volume transaksi yang besar, syarat utama yang harus terpenuhi adalah besarnya jumlah serta meratanya penyebaran pembeli dan penjual. Namun itu saja tidak cukup. Untuk itu diperlukan market maker. Bagi obligasi ritel, peran market maker ini menjadi sangat penting. Market maker tidak hanya berfungsi sebagai broker yang hanya mempertemukan pembeli dan penjual melainkan ikut aktif mengambil posisi atau melakukan transaksi dengan selalu memberikan kuotasi harga beli dan jual untuk suatu obligasi tertentu. Selama ini, di pasar obligasi Indonesia belum pernah ada market maker dalam arti yang sebenarnya. Pemodal ritel yang tidak mempunyai akses seluas pemodal institusional tentu akan sangat terbantu dengan adanya market maker karena market maker tidak hanya membantu likuiditas tetapi juga membantu proses price discovery dari suatu obligasi. Semakin baik proses price discovery maka semakin tipis spread yang terjadi.
Namun price discovery ini bukan sesuatu yang otomatis tercipta dengan adanya market maker. Ketersediaan market maker baru satu langkah. Market maker juga pelaku pasar yang tentunya ingin untung. Suatu hal yang wajar. Market maker bukan malaikat penolong yang menghilangkan resiko pasar. Oleh karena itu, ada langkah lain yang diperlukan untuk membantu pemodal ritel. Perlu dibuka akses seluas-luasnya terhadap informasi harga bagi pemodal ritel. Ini menjadi faktor penting dalam memberdayakan pemodal ritel. Bursa Efek Surabaya (BES) mengatakan akan melakukan hal ini. Kita belum tahu seberapa efektifnya informasi harga dari BES ini dalam membantu pemodal ritel. Ini masih akan diuji dalam praktiknya nanti. Namun mengingat karakteristik pasar obligasi di mana transaksi terjadi melalui jaringan telepon antar-dealer atau broker (over-the-counter), akses terhadap harga obligasi dengan sendirinya menjadi agak terbatas. Artinya, keterbatasan akses informasi ini merupakan konsekuensi dari karakteristik pasar obligasi itu sendiri. Ini bisa dikurangi tetapi tidak bisa dihilangkan sama sekali. Hal ini perlu dipahami oleh para pemodal ritel. Ada resiko bahwa pemodal ritel tidak memperoleh harga terbaik yang mungkin bisa dia peroleh.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, kita melihat bahwa tampaknya lebih aman bagi pemodal ritel yang membeli ORI untuk menyimpan ORI sampai jatuh tempo. Pemodal yang berniat menjual dalam waktu kurang dari tiga tahun perlu mempertimbangkan apakah perbedaan imbal hasil sebesar 0,28% per tahun cukup memadai untuk mengompensasi resiko-resiko seperti yang diuraikan di atas. Perbedaan 0,28% per tahun tersebut menurut saya pribadi agak “tanggung”. Tetapi ini memang pendapat yang bersifat subyektif. Bagi beberapa orang mungkin dibutuhkan imbal hasil yang lebih tinggi untuk mengalihkan simpanan mereka dalam bentuk deposito satu bulan yang dananya bisa ditarik kapan saja (dalam waktu satu bulan), dengan “harga” yang pasti dan juga dijamin pemerintah ke bentuk investasi lainnya. Bagi beberapa orang lainnya, 0,28% mungkin sudah cukup.
Kembali pada ORI, kecuali anda adalah pemodal ritel yang mempunyai horison investasi tiga tahun dan/atau anda yakin suku bunga akan turun (sesuai dengan horison investasi anda) sebaiknya anda berpikir kembali sebelum membeli ORI. Sebaliknya, jika anda memang sudah siap dengan segala kemungkinan tersebut di atas, ini merupakan kesempatan untuk mencicipi bentuk investasi lain. Semua terpulang pada masing-masing pemodal. Tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti pemodal ritel untuk berinvestasi di ORI tetapi mengajak pemodal ritel untuk mengenal resiko lebih mendalam sehingga menjadi lebih siap dalam berinvestasi.**
Reslian Pardede, Pengamat Pasar Modal & Peneliti di The Institute for Ecosoc Rights
1 comment:
Mbak Reslian, ini ada pesan dari seorang pembaca. Silakan .. Ruang "Leave your comment" ini sebenarnya juga bisa dipakai. Kalau mau.
————
dear ecosoc rights,
saya tertarik dengan tuisan sdr. Reslian Pardede tentang ORI. bisakah saya mendapat alamat e-mail atau nomor kontaknya? terima kasih.
salam,
ariobimo nusantara
Post a Comment