KELUARGA Anton, sebut saja namanya begitu, bertempat tinggal di tepi jalan raya Kupang-Atambua, di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Sang suami bekerja sebagai petani sambil menjadi pedagang musiman dan juga menggarap sawah kerabatnya di Kupang. Cukup jauh jaraknya, 140 km dari rumahnya. Sang suami berpendidikan SLTA, dan isterinya SLTP. Mereka mempunyai empat orang anak. Mereka memiliki dua ekor sapi berumur dua tahun, dua ekor babi berumur dua tahun dan dua ekor anak babi, empat ekor anjing, dan belasan ekor ayam.
Apa yang dikerjakan Anton untuk menghidupi anak-anaknya dalam situasi serba terbatas? Bagaimana istrinya mencoba ikut memecahkan masalah keluarga? Tapi, ketika kemudian hamil, bagaimana ia menyesuaikan diri dengan tuntutan adat? Apakah latar belakang pendidikannya berperan dalam menyiasati persoalan adat?
Sebagai petani Anton menggarap empat ladang warisan orangtuanya secara bergantian. Kadang ia menggarap satu ladang dalam setahun, kadang dua ladang. Kemudian tahun kedua ia menggarap ladang lainnya dan yang telah digarap dibiarkan ditumbuhi belukar. Ketika hasil panen ladang tidak memuaskan, Anton menggarap sawah kerabatnya di dekat kota Kupang. Hasilnya dibagi. Anton mendapat dua pertiga dan kerabatnya sebagai pemilik sepertiga bagian. Lain waktu, saat senggang antara musim panen dan musim tebas saat dilakukan persiapan menanam berikutnya, Anton berdagang sayur-mayur dan buah-buahan ke kota Kupang.
Sang isteri mempunyai sebuah kios di tepi jalan, 30-an meter dari pondoknya yang berada persis di belakang rumah pamannya. Tanah tempat mereka tinggal milik pamannya. Mereka hanya memimjam. Menurut pengakuan ibu Anton, mereka membuka kios dengan modal sekitar Rp5 juta, dan segala perabotnya kira-kira bernilai antara Rp10 juta sampai Rp12 juta. Ibu Anton juga menuturkan bahwa penghasilan bersih dari kios tak menentu sebab banyak orang pergi ke ibukota kabupaten untuk berbelanja sebab jaraknya hanya 10 km. Banyak angkutan umum dan ojek. Di satu sisi keluarga Anton terseret jadi bagian dari ekonomi perkotaan, dengan menawarkan jasa, sementara ekonomi tetap subsisten, tetapi di sisi lain mereka juga masih berada dalam kondisi yang sangat kental nilai budaya setempat. Misalnya mereka meminjam tanah untuk membangun rumah, meminjam sawah untuk digarap, memelihara aneka ternak besar seperti sapi dan babi dan ternak kecil seperti anjing, ayam, kucing di emperan dan sampan rumah tinggal, menghuni rumah bulat, dst.
Salah satu ciri tradisional yang sangat kental adalah “pertapaan” ibu Anton ketika melahirkan. Menurut tradisi orang Timor, seorang perempuan harus tidur di dalam rumah bulat atas balai-balai beralaskan “gedhèk” (bambu dibelah membujur dan dibentangkan), lalu dialas dengan beberapa lembar tikar pandan. Balai-balai ini berketinggian sekitar 80-120 cm. Di bawah balai-balai itu dinyalakan api yang sangat besar sebab kayu yang harus dipakai adalah kayu kosambi yang arangnya keras. Terkadang dicampur dengan cemara yang arangnya juga keras. Kayu-kayu itu kayu pilihan yang sudah relatif tua, besar dan berteras. Api harus dinyalakan selama 40 hari siang dan malam. Selama itu pula ibu Anton tidak boleh mandi, tidak makan daging atau makanan lain selain jagung bose (jagung yang ditumbuk di lesung untuk dihilangkan kulit arinya). Tidak boleh dicampuri kacang atau sayuran apa saja. Di beberapa wilayah di Timor jagung bose dicampur dengan kacang kedele atau kacang hitam. Ibu Anotn mengistilahkan dirinya “dipanggang” selama 40 hari.
Ketika kami bertanya mengapa demikian, jawabnya supaya tidak masuk angin, jangan infeksi, dan tidak terjadi perdarahan. Karenanya dilarang keras makan daging. Mereka juga percaya bahwa selama 40 hari tidak boleh keluar rumah agar tidak diganggu oleh roh jahat dan dicelakai oleh orang jahat. Untuk mengantisipasi semua makanan di samping harus dipanggang sementara ia berpantang, juga akan dilakukan berbagai ritual, termasuk membakar belerang, kayu cendana, sabut kelapa, bawang putih, merah, buluh ayam, serta bahan lain untuk mengusir semua gangguan dari roh jahat pada setiap sore.
Pada hari ke empat puluh, ibu Anton mengantar anaknya ke gereja, menyerahkannya kepada pendeta atau penatua atau pejabat agama setempat, menggunting rambut sang bayi. Sejak itu bayi dan ibunya boleh keluar rumah. Sejak itu bayi sudah boleh diberi makanan tambahan secara bebas. Demikian juga sang ibu diperbolehkan makan kembali semua yang dilarang sejak kehamilan sampai 40 hari “pertapaannya”.
Menurut ibu Anton terkadang mereka sudah memberi makan bayinya sejak umur satu minggu. Tetapi makanannya harus sama dengan yang dimakan ibunya, yaitu air jagung bose saja. Ibu Anton juga sudah harus melakukan pekerjaan rutin yang dilakukannya sebelum ia melahirkan. Jumlah, jenis dan bebannya jauh lebih banyak dari yang dilakukan suaminya.
Pengamatan kami di sebuah desa di kecamatan lain, pasangan suami-istri yang sama-sama lulusan Pendidikan Guru Agama ternyata juga melakukan kebiasaan dan adat-istiadat yang sama. Kami menyudahi penelitian lapangan bukan dengan kesimpulan, tetapi justru dengan segudang pertanyaan dan rasa tak mengerti.
Apakah larangan makan yang begitu banyak bagi ibu hamil sampai 40 hari setelah melahirkan tidak berakibat negatif pada kesehatan ibu dan janin atau anak? Apakah tradisi “panggang” dapat membantu memelihara kesehatan ibu dan anak? Apakah justru tidak sebaliknya merusak kesehatan ibu dan anak, apalagi masih ditambah dengan membakar belerang dan bahan-bahan lainnya pada sore hari? Apakah memberi makan bayi terlalu dini seperti pada usia seminggu tidak membahayakan organ pencernaannya? Tidak adakah kaitan berarti antara tingkat pendidikan formal dengan perilaku suami-isteri dan kerabat dalam menghadapi kehamilan dan ibu melahirkan? Adakah gizi kurang, gizi buruk atau marasmus yang dialami beberapa keluarga di kecamatan yang sama tapi juga di kecamatan lain bukan dikarenakan oleh praktek hidup seperti itu?
Saya ingin kembali pada teman-teman pembaca sekalian. Barangkali anda mempunyai jawaban apa pun bentuknya, entah teori atau dari pengalaman, yang dapat memberikan masukan yang positif untuk membangun dan memelihara kesehatan masyarakat di Timor?**
1 comment:
waahh?
40 hari gak mandii..?
loh?Nifas trus gak mandii..?
*gak abis pikir..*
Post a Comment