Pagi di sebuah TK di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di sela-sela anak-anak yang tengah bermain dan berlari-lari, sekelompok ibu-ibu ngobrol sambil mengawasi anak-anaknya. Satu sama lain tampak saling mengenal dengan baik. Rutinitas bertemu itu membentuk interaksi dan kebiasaan yang unik. Namun tak pelak lagi, semua itu butuh biaya.
Apakah keputusan-keputusan masing-masing ibu dalam kelompok tersebut dalam mengeluarkan uang lebih didorong oleh keinginan dalam dirinya melalui perhitungan yang cukup? Atau justru faktor eksternal yang lebih mempengaruhi?
Seorang ibu mengaku hampir setiap bulan pasti menerima undangan ulang tahun untuk anaknya yang belajar di TK. Untuk itu, ia mesti mengeluarkan uang kado. Uang transportasi mesti mereka keluarkan jika ulang tahun jatuh pada hari Minggu yang otomatis perayaannya sering di luar sekolah. Apalagi rumah mereka tak selalu berdekatan. Kadang ada yang agak di luar kota.
Pengeluaran menjadi bertambah. Ada perasaan tak enak kalau tidak datang karena setiap hari mereka bertemu. Selain itu, anak-anak sering merengek minta datang ke pesta semacam itu. Lantas pesta ulang tahun menjadi semacam kebiasaan.
Orangtua tidak tega mengelak saat anak-anak mereka minta dipestakan saat ulang tahunnya. Pesta semacam itu juga sering jadi alat persaingan untuk memperlihatkan kemampuan finansial mereka.
Menjelang akhir bulan puasa seorang ibu lainnya mengeluh. Ia mesti mengeluarkan Rp50.000 untuk iuran. Iuran itu dimaksudkan sebagai “Tunjangan Hari Raya” untuk kepala TK dari kumpulan ibu-ibu tersebut. Ibu itu tak bisa mengelak karena ide tersebut disepakati oleh sebagian besar kelompok ibu-ibu itu.
Memang ada ibu-ibu yang memiliki otoritas dalam dirinya untuk memutuskan tidak mengikuti trend yang ada begitu saja. Namun jumlahnya tak banyak.
Kebetulan di sekolah tersebut, para guru sudah biasa memperoleh bingkisan dari orangtua murid. Ini sering terjadi pada saat kelulusan murid. Di beberapa SD di Tebet, ada guru-guru yang terbiasa menerima kenang-kenangan saat kenaikan kelas.
Selain itu kalangan tersebut juga memiliki kegiatan arisan. Pada waktu-waktu tertentu mereka belanja bersama untuk mengusir kebosanan menunggu jam pulang sekolah. Gosip dan konflik sesama ibu-ibu sering membentuk geng-geng tersendiri di antara mereka.
Namun begitu, mereka mengaku juga memperoleh manfaat dalam pergaulan itu. Mereka bisa saling tukar informasi mengenai tugas sekolah anaknya dan kebutuhan-kebutuhan lainya. Seperti tempat les yang baik, dokter yang baik, tempat berbelanja barang kebutuhan anak, dll. Ada juga seorang ibu yang mencoba mengembangkan bisnis dengan memanfaatkan kelompok itu sebagai pangsa pasarnya, mulai dari jual beli parfum, pakaian, kue-kue kering sampai asuransi.
2 comments:
Waduhhh ini betul sekali. Malah kadang kita harus spare uang buat jajan kita sendiri. Kalau cuma nongkrong di warung di bawah tenda minumum ya Rp. 20.000,- tapi kalau ditambah uang gaul sekali-sekali ke mall,lebih banyak lagi jajannya.
Tapi namanya setiap membentuk komutinas, ya pasti ada sisi positif dan negatifnya lah....pinter-pinter kitanya aja jaga sikap, menahan diri dan paling penting, jangan terlibat gosip terlalu jauh...he..he...gawat soalnya.
Cuma buat saya pribadi, yang paling menyebalkan dari kelompok ini adalah, kadang ada satu kelompok, yang kalau dari obrolannya tingkat tinggi sekali, mulai dari yang baru beli mobil, jalan-jalan ke LN, atau pun habis beli berlian yang tanpa hutauruk...begitu diminta sumbangan buat sekolah atau lainnya, susahnya minta ampun....
salam
--wenny--
Betul sekali, ya mmg begitulah kegiatan ibu2 yg nunggu anaknya sekolah,klo kita mo ikutan komunitas itu ya emang hrs merogoh kocek lagi sih, tp yg penting kita hrs pandai bergaul agar tdk terbawa arus yg penting kita ambil sisi positifnya aja duech... Sekedar cerita disekolah anak gue ibu2nya tuh pada ngelompok membentuk gank sendiri2. Mereka yg jetset n suka omong yg high class suka ngumpul sendiri n ga mo gaul ma laenya, mereka kerjanya cm pamer en kesekolah aja bajunya kaya mo show...kok bisa ya....
Post a Comment