Jakarta banyak dihuni oleh sektor-sektor informal yaitu orang-orang yang tidak pernah ngrepoti bank karena tidak boleh meminjam uang. 'Orang-orang itu (dulu) juga tidak ngrepoti Soeharto.' Mereka menjadi kelompok pengusaha yang lebih murni daripada pengusaha yang memperoleh jasa dan balas jasa dari orde baru. Tetapi kelompok ini dianggap musuh dan dianggap mengotori (Jakarta). Sampai sekarang cara demikian tidak berubah.
Demikian budayawan Mohammad Sobari mengawali sebuah diskusi bedah buku yang diselenggarakan Institut Ecosoc, 26 Oktober 2007.
Menurut direktur eksekutif Kemitraan ini, “jika Jakarta lebih jahat dari New York adalah wajar, karena pemerintah Jakarta lebih jahat dari pada pemerintah New York dan kota-kota besar lainnya.”
Dalam sejarah di berbagai belahan dunia, kota-kota selalu dibangun dan dihuni dengan nyaman oleh kalangan menengah (kelas pedagang) yang kemudian berkeinginan memilikinya.
“Maka, secara pelan-pelan kita mesti mengingatkan tentang hal-hal seperti ini. Harus ada kampanye terus-menerus melalui media agar kota yang didirikan oleh kelas pedagang ini ramah dan murah hati pada kelas yang tidak punya. Pedagang kaki lima berjualan di pinggir-pinggir jalan bukan karena mereka tidak mengerti ketertiban tetapi mereka tidak diformalkan.”
“Kecuali di Sragen,” catat Sobari. ”Kaki lima memang dilarang berjualan di pinggir jalan tapi mereka diberi tempat tersendiri dan dicarikan pembeli. Tempat berdagang mereka tidak kalah dengan tempat berdagang yang lama. Sragen melarang iklan-iklan yang gemerlap di jalan-jalan kota. Ini adalah sisi manusiawi dari seorang bupati yang juga hadir dan menjadi salah satu corak di kota Sragen.”
Kompleks BSD di Tangerang, Jawa Barat dulu dibangun dengan segala slogan: “Bumi Serpong Damai kota mandiri yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri lengkap dengan sarana dan fasilitas.” Waktu itu pun tidak ada yang protes. Ada sedikit protes tapi tidak terasa. Media juga tidak menunjukkan protes. Berita formal mengatakan lahan itu bekas kebon karet kosong. Padahal itu “bohong dan omong kosong.”
Kebetulan rumah Sobari berada di perumahan BTN di kampung itu. Menurutnya mereka menteror penduduk DKI pinggiran hingga pontang-panting dan harus meninggalkan tempatnya.
Waktu itu tidak ada yang bersuara kritis meminta bagian partisipasi untuk membayangkan akan menjadi apa kota ini. “Kota itu akhirnya menjadi mosak-masik tidak keruan dengan warna-warna norak."
“Abang, kuning, ungu seperti mainan untuk menyenangkan anak-anak di playgroups,” kata Sobari geram.
Ia melanjutkan bahwa kota itu sekarang hanyalah tempat orang melakukan transaksi jangka pendek karena setelahnya mereka tidur di rumahnya yang ada di tempat yang lebih nyaman.
“Kita pantas mendidik pemerintah kota dengan berbagai cara, baik persuasif maupun suara resistensi warga penggusuran agar pemerintah ingat untuk mengurus warga. Yang mengerti kota itu tidak hanya gubernur. Ada ahli-ahli tata kota, jurnalis, aktivis, intelektual dan universitasnya, dll. Pemerintah harus mengajak warganya berdialog untuk menata kotanya.”
“Lembaga-lembaga pendidikan jangan meminta proyek hanya untuk mencari legitimasi ilmiah dari segala ‘kebangsatan’-nya (red: .. pemerintah),” tegas Sobari. Menurutnya banyak proyek penelitian yang dikorupsi oleh pemerintah DKI tapi lembaga-lembaga penelitian itu menerima saja proyek itu. Intelektual telah menghancurkan dirinya dalam proses yang menindas. Hal itu mesti ditolak.
“Padahal uang itu tidak halal dan berasal dari aktivitas perbajingan,” lanjutnya. Ia juga menegaskan agar lembaga pendidikan yang terhormat itu tidak memberi gelar pada orang-orang memusuhi kepentingan publik. “Universitas Gajah Mada juga hanya mampu mikir membeli gelar pada orang-orang yang matinya besok pagi!” ungkap Sobari nyinyir.
Penelitian-penelitian ilmiah malah harus mengingatkan watak elitis pemerintahan kota yang tidak manusiawi. Watak elitis itu diteruskan dengan sikap legalistik.
Harus ada sinergi antara pemerintah kota dengan pemerintah daerah yang menjadi pusat-pusat warga miskin pedesaan yang hijrah ke kota. Menata kota tidak cukup dengan perda ketertiban umum dan penangkapan-penangkapan anak jalanan dan mengembalikan ke daerahnya begitu saja. Kemiskinan harus diselesaikan. Kebijakan bupati setempat harus diajak merancang rancangan kota yang membawahi desa yang mengakses kebijakan sosial daerah itu agar ada kebijakan pertanian dan program pelayanan kesehatan di desa-desa kecil secara lebih fokus. Harus ada pelayanan pendidikan publik yang melayani warga miskin di desa-desa kecil.
“Pemerintah kota harus berbicara dengan pemerintah desa atau daerah dalam menangani urbanisasi supaya mereka tetap tinggal di desanya meskipun desa tak pernah punya janji-janji seperti pabrik di kota,” ungkap Sobari.
Pemerintah kota akan semakin bobrok dengan adanya sistem pilkada yang jahat. Gubernur dipilih dengan didasari uang milyaran dengan corak yang elitisme. “Akan mustahil saat duduk di kekuasaan gubernur itu akan ingat kaki lima, gelandangan, dan lain-lain.”
Resistensi baik yang positif maupun yang negatif tidak terakomodir dalam sistem demokrasi multipartai ketika seorang pimpinan kota ditetapkan. “Kita harus melawan dan mengingatkan pemerintah kota bahwa kota itu penghuninya bukan hanya orang-orang kaya namun juga orang miskin. Harus dibisikkan kepada pimpinan kota bahwa kota adalah tempat untuk membangun peradaban yang adil dan memiliki hati nurani.”
“Maka kita harus berkoordinasi, bekerja sama dan minta waktu bekerja sama dengan pemerintah DKI. Mari bersama-sama membangun kota dalam bentuk ruang-ruang publik yang sehat, adil dan manusiawi.”
“Partai-partai harus diawasi. (Jakarta) jangan menjadi kandang singa-singa yang menjadikan kota sebagai kuda yang dirayah untuk dimakan beramai-ramai. Jangan biarkan mereka malang melintang di dunia politik yang akhirnya menguasai pemerintah kota. Demokrasi jangan ditentukan oleh orang-orang seperti misalnya para pakar dan peneliti (red) yang mengolah kebohongan menjadi jastifikasi.”**
01 November 2007
'Jangan Jadikan Jakarta Kandang Singa'
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:08 PM 0 komentar
Strategi Jitu Kota Pekalongan Mengatasi Kemiskinan
Sri Palupi
Ketika Institut Ecosoc mendiskusikan hasil riset perbandingan tentang kota dan kemiskinan antara Jakarta dan Bangkok (Thailand), ada peserta diskusi yang berkomentar: “Mengapa Bangkok yang diambil, dan bukan kota di Indonesia, seperti Pekalongan yang dinilai berhasil menata kotanya?” Reaksi spontan saya, bagaimana mungkin membandingkan kota kecil Pekalongan dengan Jakarta yang metropolitan. Usulan untuk melihat kota Pekalongan terlupakan begitu saja sampai pada saatnya saya bertemu dan berdiskusi dengan Walikota Pekalongan yang tengah naik daun itu.
Di sebuah forum diskusi tentang pemukiman aman yang diadakan Departemen Pekerjaan Umum, pada 29 Oktober lalu, dr. H.M. Basyir Ahmad, sang Walikota Pekalongan, memaparkan pengalamannya menjalankan program rumah aman bagi komunitas miskin dan saya sendiri memaparkan program rumah aman yang dipraktikkan pemerintah Bangkok. Ternyata benar, program yang dijalankan Walikota Pekalongan ini mirip betul dengan program yang dijalankan pemerintah Bangkok. Dari sini saya semakin yakin, keberhasilan mengatasi persoalan kemiskinan bukanlah perkara besar kecilnya wilayah, besar kecilnya dana, tetapi lebih terkait dengan besar kecilnya komitmen untuk mengatasi kemiskinan dan kehendak kuat untuk bekerja bersama serta terbuka terhadap jalan atau pendekatan alternatif.
Meskipun tidak begitu mengenal agenda Forum Habitat, di mana Indonesia terikat pada komitmen untuk memenuhi hak atas perumahan bagi warga miskin dan memperbaiki kondisi hidup komunitas miskin, namun Walikota Pekalongan telah mencanangkan dan menjalankan program pemukiman perkotaan yang aman dan layak huni seperti yang diagendakan dalam Forum Habitat. Targetnya juga tak main-main, yaitu menjadikan kota Pekalongan bebas rumah tidak layak huni pada tahun 2008 dan bebas kawasan kumuh pada tahun 2010. Lalu bagaimana program itu dijalankan oleh sang walikota?
Strategi Sapu Lidi
Kota Pekalongan yang berada di Provinsi Jawa Tengah dikenal dengan industri batiknya. Jumlah keluarga miskin di kota ini 22.913 KK atau 36,4 persen dari jumlah total keluarga. Dari jumlah KK miskin yang ada, terdapat 5.068 KK (22,12%) yang mendiami rumah tidak layak huni. Selain KK miskin, juga terdapat 800 PNS golongan rendah (golongan I dan II) dan 8.000 buruh yang terdaftar di Surat Perbendaharaan Negara (SPN)/Jamsostek. Dari jumlah tersebut, 465 PNS (58,12%) dan 2.985 buruh (37,35%) belum memiliki rumah.
Untuk menjalankan program rumah aman bagi warga miskin di kota itu, Walikota Pekalongan mengaku tidak bisa hanya mengandalkan dana APBD. Bila hanya mengandalkan APBD, kota yang PAD-nya pada tahun 2006 senilai Rp 20 milyar itu, ia perkirakan baru bisa mewujudkan kota yang bebas dari rumah tidak layak huni 21 tahun kemudian. Karena itulah sebagai walikota, A.M. Basyir menempuh strategi “sapu lidi” guna mendapatkan pendanaan di luar APBD.
Dengan strategi itu, Walikota Pekalongan memadukan dan menyinergikan dana penanggulangan kemiskinan yang berasal dari berbagai sumber. Dengan cara ini program rumah aman dibiayai bukan hanya dari dana APBD Kota Pekalongan, tetapi juga dari APBD provinsi Jawa Tengah, APBN, pihak swasta atau sektor privat, swadaya masyarakat dan potensi-potensi sah lainnya. Dengan beragam sumber pendanaan tersebut, walikota Pekalongan membangun rumah inti tumbuh, memugar rumah, dan menata lingkungan pemukiman. Dalam membangun rumah inti, 20 persen biaya pembangunan didanai sendiri oleh masyarakat secara swadaya.
Strategi sapu lidi ini ditempuh dengan pertimbangan bahwa selama ini banyak program dari pusat yang berasal dari berbagai departemen tidak terkoordinasi dan campur aduk program-program itu juga dijalankan dengan beragam sistem sehingga menyulitkan pelaksanaan di lapangan. Selain itu, program peningkatan kualitas rumah (pemugaran) dari pusat juga belum diikuti oleh program peningkatan kualitas prasarana dan sarana umum di lingkungan komunitas miskin.
Dengan mengoptimalkan dana dari Kementrian Perumahan Rakyat (Menpera), Walikota Pekalongan berhasil memperluas target program rumah aman, dari 400 rumah menjadi 1.000 rumah. Pemkot Pekalongan juga memberikan bantuan untuk ‘plesterisasi’, pembangunan jamban dan pembuatan sumur gali. Sistem bantuan untuk rumah aman bagi komunitas miskin dijalankan dengan dua skema untuk dua kelompok sasaran. Bagi keluarga miskin yang produktif (keluarga miskin yang punya usaha produktif), Pemkot memberikan dana stimulan dalam bentuk kredit lunak dengan bunga enam persen.
Sementara untuk keluarga miskin yang tidak produktif diberikan dana dalam bentuk bantuan hibah. Program untuk keluarga miskin produktif didanai dari program rumah swadaya yang berasal dari Menpera. Sementara bantuan hibah bagi keluarga miskin tak produktif didanai dari berbagai sumber: APBD provinsi, APBD Kota Pekalongan, P2KP (DPU) dan KUBE (Depsos). Dalam waktu empat bulan di tahun 2007, Pemkot Pekalongan berhasil memugar 946 rumah dengan dana Rp2 milyar dan membangun 50 rumah baru dengan dana Rp500 juta.
Program rumah aman bagi komunitas miskin dijalankan secara terpadu dengan program pemberdayaan masyarakat dan program penanggulangan kemiskinan, yang salah satunya diwujudkan melalui pengembangan dan pemberdayaan lembaga keuangan mikro di tingkat komunitas. Dengan cara demikian, komunitas berpenghasilan rendah dapat mengakses dana stimulan yang ditujukan pada keluarga tersebut. Untuk menjalankan program ini, Walikota Pekalongan mengoptimalkan peran dan fungsi dari “Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan” dan berbagai lembaga masyarakat yang ada, seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di kelurahan-kelurahan.
Dikukuhkan dengan Peraturan Walikota
Keberhasilan Pekalongan dalam menjalankan program pengembangan rumah aman yang dipadukan dengan penanggulangan kemiskinan membuat Pekalongan dijadikan sebagai Proyek Pilot Menpera dan konsep Kota Pekalongan dipilih untuk mewakili Indonesia pada seminar di Nairobi.
Keberhasilan kota Pekalongan dalam menjalankan program rumah aman yang dipadukan dengan program penanggulangan kemiskinan tak terlepas dari kehadiran sosok walikotanya yang memang punya visi yang baik dalam membangun kota. Sebelum menjadi walikota, A.M. Basyir sehari-harinya dikenal sebagai salah satu dokter terlaris di Pekalongan. Sebagai dokter, ia dikenal dekat dengan masyarakat dan karenanya tahu apa yang mesti dilakukan ketika menjabat sebagai walikota. Berbeda dengan para pejabat pada umumnya yang berhasrat melanggengkan kekuasaan, A.M. Basyir justru tidak ingin berlama-lama jadi walikota. Ia hanya ingin satu periode saja menjabat sebagai walikota, dengan tujuan utamanya membangun sistem yang baik dalam hal pengembangan kota. Dengan adanya sistem yang baik, pengembangan kota tidak lagi bergantung pada sosok walikotanya.
Bukan hanya sistem yang baik yang dikembangkan Walikota Pekalongan, tapi juga birokrat yang baik. Dalam hal ini, Walikota Pekalongan membuat program pendidikan social entrepreneurship (kewirausahaan sosial) bagi segenap jajaran birokrasi di kota Pekalongan. Dengan program ini diharapkan, segenap jajaran birokrasi memiliki visi melayani rakyat dan bukan sebaliknya, menuntut pelayanan dari rakyat. A.M. Basyir juga menyiapkan kader-kader pembangunan kota dari lingkungan birokrasi yang nantinya siap meneruskan apa yang sudah ia bangun. Dengan mengembangkan kader-kader ini ia berharap, apa yang sudah ia bangun bisa terus berlanjut dan tidak hilang begitu saja setelah ia tidak menjabat. Apa yang ia lakukan ini adalah cerminan dari prinsipnya sebagai walikota: “Menjadi walikota satu periode saja, namun hasilnya bisa dirasakan rakyat untuk selamanya”. Karena itulah, selain membuat program-program konkrit yang langsung bisa dirasakan rakyat, A.M. Basyir juga membangun sistem yang lebih jangka panjang dampaknya.
Salah satu sistem yang dibangun Walikota Pekalongan adalah penanggulangan kemiskinan. Sistem ini ia kukuhkan dalam bentuk Peraturan Walikota Pekalongan Nomor 19 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat. Ada lima misi yang hendak dicapai dengan peraturan itu: 1) mewujudkan keluarga miskin bersekolah, 2) mewujudkan keluarga miskin sehat, 3) mewujudkan keluarga miskin berusaha, 4) membangun sarana dan prasarana lingkungan, 5) menguatkan kapasitas kelembagaan masyarakat. Dengan percepatan ini diharapkan pada tahun 2015 keluarga miskin di Kota Pekalongan menjadi berdaya, mandiri dan sejahtera. Ini jauh melampaui target Millennium Development Goals (MDGs) yang hendak mengurangi jumlah orang miskin menjadi separuhnya pada tahun 2015.
Apa yang dilakukan Walikota Pekalongan dalam menanggulangi kemiskinan memang patut dijadikan contoh bagi daerah lain, termasuk Jakarta. Bahkan semestinya pemerintah pusat pun belajar dari Pekalongan, yang terbukti mampu menanggulangi kemiskinan dengan perspektif struktural (tidak sekadar menjalankan program yang karitatif atau charity sifatnya), partisipatif, dan mengedepankan koordinasi, baik dalam kerja maupun dalam pendanaan atau pembiayaan. Berikut adalah beberapa pasal penting dari Peraturan Walikota Pekalongan tentang penanggulangan kemiskinan.
Pasal 4 : Strategi Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat kota Pekalongan adalah:
1) mendorong partisipasi dan kemitraan strategis antar-stakeholders pembangunan,
2) mengoptimalkan peran dan potensi pilar-pilar utama pembangunan kelurahan,
3) berperspektif jangka menengah dengan kerangka target yang jelas dan terukur,
4) mengutamakan pengembangan kelembagaan dan sistem untuk keberlanjutan program,
5) mengutamakan keswadayaan dan pengembangan kapasitas,
6) asistensi dan pendampingan pelaksanaan program.
Pasal 5: Tujuan Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan adalah mendorong percepatan pencapaian keluarga miskin menjadi berdaya, mandiri dan sejahtera tahun 2015.
Pasal 6: Sasaran Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan meliputi:
a. anak warga miskin menyelesaikan pendidikan menengah
b. warga miskin bebas buta aksara
c. rumah warga miskin layak huni (jamban, plesterisasi, ventilasi, penyekat, penerangan, air bersih)
d. bebas kawasan kumuh
e. warga miskin memperoleh jaminan layanan kesehatan
f. balita warga miskin bebas gizi buruk
g. ibu hamil warga miskin mendapatkan layanan pemeriksaan kehamilan dan melahirkan
h. ibu hamil warga miskin mendapatkan makanan tambahan
i. warga miskin bebas penyakit menular
j. penumbuhan UMKM bagi warga miskin
k. warga miskin mendapatkan pelatihan ketrampilan
l. warga miskin mendapatkan kemudahan fasilitas permodalan
m. angkatan kerja warga miskin mendapatkan kesempatan kerja dan peluang berusaha
Pasal 7: Prinsip-prinsip Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan adalah keadilan, demokratis, partisipatif, kesetaraan, saling percaya dan tertib hukum
Pasal 8: Kriteria keluarga miskin Kota Pekalongan terdiri dari 23 variabel sebagaimana tercantum dalam lampiran.
Pasal 9:
(1) Penetapan keluarga miskin berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan dengan survey
(2) Validasi data berdasarkan hasil survey sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali
Pasal 10: Keluarga miskin yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) merupakan sasaran utama Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan.
Pasal 11: Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan dilakukan melalui program-program pokok sebagai berikut:
a. percepatan keluarga miskin bersekolah
b. percepatan keluarga miskin sehat
c. percepatan keluarga miskin berusaha
d. percepatan pembangunan sarana dan prasarana lingkungan
e. penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat mandiri
Pasal 12: Percepatan Keluarga Miskin Bersekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a meliputi:
a. gerakan peduli anak sekolah keluarga miskin
b. penyediaan skema pembiayaan bagi keluarga miskin untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
c. pengembangan kelompok pendidikan luar sekolah
d. peningkatan penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF)
Pasal 13: Percepatan Keluarga Miskin Sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b dilaksanakan melalui:
a. pengembangan sistem Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM),
b. pemberian makanan tambahan untuk balita, ibu hamil dan melahirkan,
c. penanggulangan penyebaran penyakit menular,
d. pemugaran rumah tidak layak huni(jamban, plesterisasi, ventilasi, penyekat, penerangan, air bersih).
Pasal 14: Percepatan Keluarga Miskin Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c meliputi:
a. fasilitasi pelatihan ketrampilan,
b. fasilitasi kemudahan permodalan,
c. advokasi dan atau pendampingan.
Pasal 15: Percepatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d diselenggarakan melalui Percepatan Pembangunan Kawasan Kumuh (drainase dan jalan lingkungan).
Pasal 16: Penguatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e diselenggarakan melalui fasilitasi Lembaga Keswadayaan Masyarakat.
Pasal 17: Pedoman operasional pelaksanaan program-program pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 akan ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
Pasal 18: Pembiayaan untuk program-program pokok Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan disediakan melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Pekalongan dan sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat, serta melibatkan swadaya masyarakat.
Pasal 19:
(1) Dalam rangka pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan dibentuk Komisi Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan yang diketuai oleh walikota.
(2) Komisi Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan meliputi:
a. Sekretariat Komisi yang diketuai oleh Sekretaris Daerah Kota Pekalongan,
b. Tim Percepatan Keluarga Miskin Bersekolah dengan koordinator Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekalongan,
c. Tim Percepatan Keluarga Miskin Sehat dengan koordinator Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan,
d. Tim Percepatan Keluarga Miskin Berusaha dengan koordinator Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan,
e. Tim Percepatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Lingkungan dengan koordinator Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Pekalongan,
f. Tim Penguatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Mandiri dengan koordinator Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pekalongan.
(3) Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
(4) Keputusan lebih lanjut mengenai sistem dan mekanisme monitoring dan evaluasi akan ditetapkan dalam Keputusan Walikota.
Ternyata bukan hanya Bangkok yang jauh lebih maju dari Jakarta. Pekalongan pun telah meninggalkan Jakarta dalam mengatasi kemiskinan. Di saat Pemprov DKI Jakarta membuat aturan tentang ketertiban umum yang secara sistematis mengusir orang miskin dari Jakarta dan mengabaikan hak warga miskin yang dijamin dalam UUD’1945, Pemkot Pekalongan justru gencar menjalankan amanat UUD 1945, khususnya pasal 28 H ayat 1: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Amanat ini mendorong Walikota Pekalongan menempatkan rumah sebagai hak setiap orang untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupannya. Kenyataan ini sangatlah menggembirakan. Sebab di tengah situasi krisis kepemimpinan dan maraknya korupsi yang terus melanda negeri ini, ternyata masih ada sosok seperti Walikota Pekalongan yang menggunakan kekuasaan untuk melayani kemanusiaan.**
Links
* Melamun Sejenak tentang Kota Pekalongan
* Menggugat Pencemar Kali Banger Pekalongan
* DPU: Pekalongan Bebas Permukiman Kumuh
* Kota Sehat: Pekalongan
* Sutra Ayu: Pemberdayaan Perempuan Pekalongan
* Pekalongan, November 1995: Situasi Pekalongan Berang
* Anton Lucas: The Bamboo Spear Pierces the Payung ... 1945
* Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi
* Cara membuat soto Pekalongan
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 3:34 PM 1 komentar
Label: Jakarta, Kebijakan, Kemiskinan, Kota, Leadership, Penggusuran, politik, Reform, tanggapan masyarakat, Thailand
'Jakarta Bikin Warga Terasing & Kesepian'
Kita tentu masih ingat peristiwa runtuhnya menara kembar WTC di New York yang dikenal dengan peristiwa 11/9. Sebelumnya, keangkuhan penduduk New York sudah masyhur di segala penjuru dunia. Mereka dengan bangga menyebut dirinya dengan The New-Yorker. New York seolah-olah kebanggaan yang tak terkalahkan.
Sepuluh bulan setelah tragedi menara kembar WTC, tepatnya 20 Juli 2002, pemerintah New York membuat program yang mereka sebut sebagai “Listening to the City”. Program ini dibuat seiring dengan rencana pemerintah New York untuk membangun monumen di lokasi bekas WTC. Dengan program itu, pemerintah New York mengundang 5.000 penduduknya untuk menyampaikan pendapat tentang rancangan monumen untuk memperingati para korban dan orang-orang yang mengorbankan diri dalam peristiwa pemboman tersebut.
Demikian disampaikan Maria Hartiningsih, jurnalis dan penerima penghargaan Yap Thiam Hin, dalam acara bedah buku dan peluncuran program video bertajuk “Mendengarkan Kota”, yang dilakukan The Institute for Ecosoc Rights, 26 Oktober 2007.
Dengan bantuan teknologi, 5.000 penduduk tersebut memilih dan mengkritik tujuh rancangan monumen yang dipresentasikan penyelenggara. Dalam kompetisi merancang bangunan monumen yang diadakan pemerintah New York akhirnya dimenangkan oleh seorang perancang asal Hungaria. Monumen yang dibangun juga tidak seperti bangunan sebelumnya karena merupakan koreksi dari rancangan lama yang memuat disain yang sangat kaku.
Bahkan pembangunan monumen ini tidak hanya mengutamakan bangunan fisik semata, namun juga menyasar ingatan kolektif warga kota. Sebagian sisa tembok yang runtuh tetap dipertahankan sebagai simbol tiadanya batas antara masa lalu dan masa kini. Di sana diingatkan orang-orang yang menjadi korban dan orang yang mengorbankan diri dalam peristiwa tersebut. Selain itu rancangan bangunan tersebut juga memuat usaha penyembuhan korban dari trauma peristwa tersebut. Kita temukan di sana daftar 4.000 – 6.000 nama korban dan berbagai coretan dari keluarga korban.
Berbeda dengan New York yang sekali saja tertimpa bencana, Jakarta mengalami sederetan bencana. Bom yang terjadi di hotel JW Mariot, bom di kedutaan Australia, bom di BEJ. Jakarta juga mengalami peristiwa kelam pada Mei 1998, peristiwa kekerasan Semanggi I dan Semanggi II maupun peristiwa Trisakti yang membawa demikian banyak korban. “Bahkan ada banyak korban cacat yang masih hidup sampai sekarang. Namun apa yang terjadi? Jakarta begitu mudahnya melupakan peristiwa-peristiwa itu dan membiarkan para korban sendirian. Jakarta tak membuat tetenger apa pun,” tegas Maria.
Menurutnya peristiwa-peristiwa tersebut malah hilang dari ingatan sebagian besar warga. Peringatan atas tragedi itu tidak langsung dilakukan. Hanya keluarga korban dan kalangan NGO saja yang tetap memperingati peristiwa tersebut. Bahkan berbeda dengan New York, pasca tragedi, gedung-gedung dibangun jauh lebih megah dari sebelumnya.
Tak tampak sedikit pun bekas atau pun jejak yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Jakarta. Jangan-jangan kita juga ingin melupakan ingatan-ingatan pahit yang melintas dalam hidup kita. Pemerintah kota dan para perancang kota ini mungkin menganggap tragedi mesti ditutup-tutupi, tambahnya.
Kata ahli perkotaan, kota ibarat organisme hidup, yang dihidupi dan menghidupi warga-warganya. Namun pada kenyataannya Jakarta didominasi oleh pengambil kebijakan dan kalangan tertentu saja. Hanya pertimbangan ekonomi yang dipakai untuk membangun Jakarta. Mereka yang secara ekonomi dinilai tidak memberi kontribusi diusir dan digusur. Padahal dengan penggusuran-penggusuran itu pemerintah DKI sebenarnya menepuk air di dulang. Mereka yang digusur-gusur itu adalah korban “kerakusan” Jakarta.
Dari sudut pandang hak asasi, yang terjadi di Jakarta ini sudah gila. Sektor informal makin dihancurkan dan dibatasi jumlahnya. Jakarta ini kota yang angkuh sekali. Padahal kota ini sangat bergantung pada sektor informal. Riset yang dilakukan seorang sosiolog Jerman menegaskan, 60 persen produktivitas kota hancur saat ditinggal warganya mudik lebaran. Mereka yang mudik ini sebagian besar bekerja di sektor-sektor informal. Jakarta ini juga merampok 70 persen kekayaan daerah. Jadi bagaimana bisa Jakarta mengusir orang-orang daerah datang ke Jakarta untuk mencari penghidupan? Sebagai kota, Jakarta sangat sombong, seolah bisa hidup sendiri.
Jakarta juga seperti kisah seribu satu malam. Tiba-tiba hari ini ada bangunan baru lagi, besok tiba-tiba ada lagi ditempat lain. Hal seperti ini tidak terjadi di kota-kota di Eropa. Ruang-ruang kosong di Jakarta juga nyaris sudah tidak ada. Yang namanya peran serta warga hanyalah jargon kosong.
Apa yang kita saksikan di Jakarta ini pada akhirnya adalah kota yang menjadikan warganya terasing. Warga di kota ini menjadi manusia-manusia kesepian di tengah derap pembangunannya. Bisa kita katakan, Jakarta ini adalah kota yang dirajut dari sejarah kelam pengalaman individu-individu anggotanya. Padahal sebuah kota tidak bisa dilepaskan dari jaring-jaring kehidupan warganya.**
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:59 AM 0 komentar
Label: budaya, Civil society, Jakarta, Kebijakan, Kekerasan, Kemiskinan, Konflik, pemerintah, The Institute for Ecosoc Rights
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA