YANG menarik dari buku ini adalah bahwa pemikiran mendasar dalam memahami kehidupan (~ filsafat) ‘ternyata dapat’ diterapkan dan dikembangkan dalam bidang-bidang lain. Filsafat tidak boleh mengawang-awang tapi mesti berakar dalam hidup sehari-hari.
BUKU ini menggambarkan bagaimana para pemikir terkemuka seperti Hannah Arendt, Karl Loewith, Hans Jonas, Herbert Marcuse mengembangkan pemikiran radikal dari guru mereka yaitu Martin Heidegger (meninggal 1976). Mereka mengembangkan pemikiran metafisika Heidegger ke berbagai bidang seperti politik, sejarah dan agama, etika kehidupan, politik dan Marxisme. Temuan Heidegger adalah hal-hal mendasar dalam hidup sehari-hari atau yang diistilahkan dengan “everydayness”, lebih daripada semua jenis sistematisasi, teknologi, politik yang justru menggunakan kecanggihan apa pun untuk kepentingan masing-masing pemangkunya, dst.
Tapi mengapa buku ini hanya memaparkan para pemikir yang umumnya asal-usul etniknya adalah Yahudi? Bukankah Heidegger masih punya murid-murid lain yang juga sama-sama hebatnya tapi bukan Yahudi seperti Karl Rahner dalam bidang teologi atau Gadamer dalam ilmu memahami (hermeneutika)? Setelah kontroversi seperti holocaust barangkali keyahudian dan pemikiran Heidegger jadi lahan subur kepembacaan yang dimanfaatkan oleh penulis buku ini? “Everydayness” yang seideal puisi itu (ternyata) tak luput dimanfaatkan dan ditelan bulat-bulat oleh totalitarianisme Hitler. Pada zaman Nazi, Heidegger diangkat oleh Hitler jadi rektor Universitas Freiburg.
01 May 2006
Resensi Buku: Ironi Anak-anak Yahudi yang 'Dilahirkan' oleh Heidegger
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment