Selalu ada skenario di balik sebuah peristiwa konflik yang berdarah seperti itu, demikian ungkap George J Aditjondro dalam sebuah diskusi terbuka (25/4) di Jakarta. Menurut konsultan peneliti dari Yayasan Tanah Merdeka dan pengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ini, kasus dukun santet tak lain sebuah pembunuhan terhadap kyai-kyai muda yang vokal dan kritis di Jawa Timur saat itu.
Bukan hal yang tidak sengaja setelah beberapa waktu kemudian saat masyarakat masih dalam kondisi sedemikian ketakutan, tiba-tiba George Soros menanamkan modalnya pada bidang usaha tembakau transgenik di Jawa Timur. Menurut pakar kekayaan Soeharto itu, operasi intelijen sudah merupakan sinergi yang luar biasa hebat antara modal dan militer. Dalam konteks permasalah ini, peristiwa-peristiwa seperti kasus pembantaian "dukun santet" merupakan upaya mematahkan resistensi lokal terhadap usaha pemaduan bisnis dan militer ala Soros itu yang tentunya membutuhkan jalan lempang di medan persaingan dan keseimbangan politik ekonomi yang nyata.
Hal seperti di atas juga terjadi pada konflik etno-keagamaan di Poso, Sulawesi Tengah. Setelah konflik reda terlihat empat kelompok yang muncul belakangan sebagai pihak yang paling diuntungkan. Menurut Aditjondro, mereka adalah “Hartati Murdaya, Hendropriyono, Artha Graha Group, Arifin Panigoro dan Adi Sasono.” Mereka selalu berelasi dengan intelejen. Menurut Aditjondro, Hartati Murdaya punya kaitan dengan Hendropriyono. Artha Graha Group juga berelasi dengan Hendropriyono. Adi Sasono dikatakan membiarkan dana pengembangan ekonomi kerakyatan dikorupsi secara besar-besaran.
Menurut Umar Abduh dari Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS), Jakarta, sudah 40 tahun struktur intelijen --baik yang ada di Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) maupun kepolisian-- beroperasi seperti mesin kekuasaan. Dalam berbagai penelitian yang dipelajarinya, Abduh menganalisis bahwa dinas intelijen menginginkan masyarakat saling terpecah belah, bertentangan dan mudah diadudomba. Kemudian, secara piawai mereka akan mendiskreditkan satu kelompok tertentu sebagai biang keladi. “Ada upaya-upaya sistematis untuk mengalihkan persoalan,” kata Abduh, yang juga melakukan kontak langsung dengan pihak BIN.
Kepala Kajian Islam di CeDSoS ini berpendapat, pihak intelijen piawai dalam menciptakan situasi seolah-olah justru masyarakat membutuhkan inteligen. Kemudian, peneliti ini mengutarakan bahwa kondisi puncak yang diinginkan intelejen adalah masyarakat yang apatis dan skeptis terhadap praktek totalitarianisme di hadapan mereka.
Lebih ekstrim lagi, menurut Abduh, seorang petinggi intelijen kurang peduli pada nasib rakyat yang menjadi korban kekerasan. Abduh memperkuat pendapatnya itu dengan mengutip kata-kata seorang pejabat tinggi intelijen. “Salah masyarakat sendiri jika tak bisa membaca apa yang diinginkan negara yang notabene tulang punggungnya intelejen.”
Abduh juga berpendapat bahwa semua ideologi dan agama secara falsafah menolak praktek intelijen. Namun kenyataannya seluruh ideologi dan agama justru ada dalam genggaman intelijen.
Banyak indikasi menunjukkan intelijen selalu berkeinginan mendukung suatu agama. Bahkan mereka juga ingin mengontrol semua agama sekaligus menciptakan perasaan saling membenci dan curiga. Intelijen tak hanya mengawasi namun juga memeliharanya. Bahkan jika kondisi belum matang, mereka akan mematangkannya, kalau memang mereka menginginkan satu rencana segera dilakukan.
Untuk itu, Abduh menasihati masyarakat: “Jangan sampai orang-orang pergerakan terjerumus dan terjebak oleh intelijen. Hal yang harus kita lakukan adalah membongkar rencana-rencana intelejen.” Begitu rencana intelijen terbongkar, rencana itu pasti tidak akan jadi dilaksanakan.**
Categories: [Apa?_] [Kebijakan_]
No comments:
Post a Comment