ATAS kemampuannya menarik investor baru dan keberhasilannya menegakkan supremasi hukum, walikota Solo pada tahun 2001 menerima penghargaan dari DPRD setempat. Kemampuan menarik investor diukur dari berdirinya beberapa mall, dan keberhasilannya menegakkan supremasi hukum ditunjukkan lewat penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL). Ini hanyalah satu contoh kebijakan pengembangan kota berbasis ideologi pasar bebas yang mengejar pertumbuhan ekonomi lewat industri konsumerisme. Kebijakan semacam ini menggejala di kota-kota besar di Indonesia.
Kota-kota di Indonesia sudah jadi lahan perah usaha! Lalu apa implikasinya untuk kita? Kita serasa menghuni penjara!
Kota sebagai Badan Usaha
Dengan ideologi pasar bebas, satu-satunya perkara penting dalam mengelola kota adalah bagaimana memperluas pasar demi keuntungan maksimal. Konsekuensinya, kota dipandang sebagai sebuah badan usaha yang bertujuan memaksimalkan keuntungan. Sebagai sebuah badan usaha, kota-kota menjual diri mereka sendiri di dalam pasar nasional dan pasar global, layaknya pengusaha menjual produknya. Namun produk kota adalah “kota sebagai lokasi usaha” bagi para investor. Keberhasilan sebuah kota sebagai badan usaha diukur dari keberhasilannya menarik investor untuk “berlokasi” di sana. Bagi para investor, kota dilihat sebagai pasar, yang di dalamnya segala sesuatu bisa dijual. Dan individu-individu di dalamnya dipandang tak lebih sebagai konsumen yang memburu barang di rimba pasar kota.
Sebagai badan usaha sekaligus pasar, kota-kota besar di Indonesia berlomba mengembangkan budaya konsumerisme sambil mengandaikan, di situ terbuka peluang ke arah pertumbuhan ekonomi. Maka kota pun digiring untuk membangun pusat-pusat bisnis dan perdagangan skala besar yang dinilai lebih efisien dan menjanjikan keuntungan. Jadi tidak mengherankan kalau pembangunan supermarket , mall, dan pusat-pusat perbelanjaan tidak hanya menjadi jalan tunggal pertumbuhan kota, tetapi sekaligus juga solusi bagi kemacetan ekonomi kota. Akibatnya, ruang publik, bangunan publik, transportasi publik, perumahan murah, kaki lima dan fungsi-fungsi lain yang tidak memiliki output ekonomi yang signifikan, kurang mendapat perhatian.
Pada akhirnya tak ada hal lain yang bisa ditawarkan kota selain nafsu membangun mall dan pusat perbelanjaan. Sebuah pusat perbelanjaan bisa mendadak didirikan di mana saja, bahkan di kawasan padat dan macet sekalipun. Dengan visi seperti ini tak ada lagi ruang sisa untuk bisa berbicara tentang tata ruang kota. Ruang publik dan kawasan konservasi bisa dengan mudah berubah fungsi menjadi pusat bisnis dan perdagangan. Semua bagian kota telah dikavling dan kawasan terbuka hijau telah penuh dengan bangunan. Akibatnya sistem tata ruang kota menjadi semrawut dan kemacetan menjadi bagian kehidupan kota.
Penjara Konsumerisme
Visi kota sebagai badan usaha diam-diam menyembunyikan gagasan bahwa sebuah kota yang berhasil hanya dihuni oleh individu-individu yang berhasil (kelas menengah – atas). Keberhasilan individu diukur dari tingginya daya beli. Semakin kota dihuni oleh semakin banyak warga yang berdaya beli tinggi, semakin berhasil kota itu sebagai sebuah badan usaha. Implikasinya, pertama, kota dirancang hanya untuk kelas menengah atas yang berdaya beli tinggi. Kedua,. pengelola kota menerapkan kebijakan kota tertutup bagi individu-individu yang tidak memenuhi kriteria keberhasilan kota, yaitu kelompok marjinal. Padahal kelompok marjinal pada umumnya bergerak di sektor informal yang diasumsikan berpenghasilan rendah dan dinilai tidak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi kota. Karenanya mereka dianggap bukan bagian dari kota dan harus diperangi. Tidak mengherankan kalau kemudian pemerintah kota gencar melancarkan penggusuran terhadap para PKL, pemukiman miskin, pedagang asongan, dan lain-lain kelompok miskin yang dianggap merepresentasikan kegagalan kota.
Kalaupun kota-kota besar di Indonesia tidak ramah pada kelas bawah, bukan berarti ia menganakemaskan kelas menengah-atas. Keramahan kota pada kelas menengah atas adalah keramahan palsu. Sebab di balik keramahan itu tersembunyi kepentingan untuk mengembangkan gaya hidup konsumerisme. Pemilikan mobil pribadi melebihi kebutuhan, pemilikan rumah secara berlebihan, pemborosan ruang dan lahan, dsb. Dalam hal konsumsi mobil pribadi, misalnya, pada tahun 1980-an populasi mobil pribadi di Jakarta baru mencapai 84% dari total kendaraan. Namun pada tahun 2002, populasi mobil pribadi mencapai 91,3% (3,53 juta unit), dengan kebutuhan lahan parkir seluas minimal 24 juta m2 (ekuivalen dengan 1 juta unit rumah tipe 21). Konsumerisme pada mobil pribadi bermuara pada pemborosan lahan dan juga bahan bakar minyak. Konsumerisme ruang tampil dalam bentuk menjamurnya perumahan mewah di atas lahan-lahan konservasi, menjamurnya mall dan pusat perbelanjaan di atas penggusuran ruang publik dan lahan konservasi.
Berkembangnya gaya hidup konsumerisme tidak sejalan dengan berkembangnya kenyamanan. Sebaliknya, konsumerisme telah melahirkan kota yang inefesien, ditandai oleh: kesemrawutan dan kemacetan kota, meluasnya daerah banjir dan meningkatnya kerawanan kota akibat tingginya pengangguran. Dengan mobil pribadi diharapkan bisa menambah kebebasan (bergerak). Namun konsumerisme pada mobil pribadi telah menghasilkan kemacetan yang merampas kemerdekaan. Dengan pemilikan rumah mewah diharapkan akan dihasilkan kenyamanan. Namun konsumerisme rumah mewah yang dibangun di atas lahan konservasi menghasilkan banjir tahunan yang merampas kenyamanan.
Satu-satunya tempat yang nyaman dalam ruang kota adalah mall, yang memang dirancang khusus untuk merangsang tumbuhnya budaya konsumerisme pada kelas menengah atas. Mall tidak hanya berfungsi sebagai tempat shopping, tetapi juga menyatukan fungsi jalan, pasar, kaki lima dan plaza dalam sebuah bangunan. Karenanya Mall menciptakan kondisi yang menjadikan orang suka berbelanja, tidak lagi tertarik pada jalan, taman dan ruang terbuka lainnya. Kalau kondisi seperti ini yang berkembang di kota, maka pada akhirnya bukan kebebasan yang ditawarkan kota pada warganya melainkan penjara. Penjara konsumerisme dengan segala konsekuensinya. ***
Bogor, 5 Maret 2003
*) Sri Palupi: Mahasiswa pasca sarjana STF Drijarkara, ketua Institute for Ecosoc Righs; tulisan ini pernah dimuat di harian Koran Tempo, 8 Maret 2003.
Categories: [Kota_]
No comments:
Post a Comment