08 June 2006

Plaza Senayan: Upaya Memproduksi Identitas

Oleh Sri Maryanti

SEORANG lelaki muda melenggang turun dari tangga-berjalan di Plaza Senayan, lalu melangkah menuju atrium. Tangannya menenteng satu buket kembang mawar yang menyembul dari kain dan kertas kaca pembalutnya. Tampaknya ia baru saja membeli bunga dari sebuah toko di lantai dua. Mungkin lelaki itu berbelanja bunga untuk seseorang yang memiliki relasi tertentu dengannya. Bisa juga ia belanja bunga untuk dirinya sendiri. Tapi kejadian seorang lelaki muda berbelanja bunga di sebuah plasa, jelas bukan kebiasaan umum pada masyarakat kebanyakan di negeri ini. Bunga, lelaki muda dan Plaza Senayan. Tiga hal yang jika terangkai dalam satu peristiwa, yang ditangkap adalah bahwa itu kebiasaan kalangan tertentu.

Dalam penggalan jangka waktu, keberadaan plaza sebagai tempat perbelanjaan modern, menghasilkan pola perilaku baru pada masyarakat yang berelasi dengannya. Tapi pola perilaku semacam apa yang berkembang?

Plaza Senayan memiliki keunikan dibandingkan Pusat perbelanjaan modern lain di Jakarta. Plaza Senayan, selain juga Plaza Indonesia, mewakili tempat belanja kelas atas di Jakarta. Plaza ini begitu kuat menampilkan diri dengan image internasionalnya. Bagaimana tidak, berbagai gerai memajang produk mulai dari busana, perhiasan berlian, salon, makanan sampai hiburan bermerek dunia. Tidak begitu susah untuk memperoleh barang dengan label Bvlgari, Prada, Louis Vuitton, Bally, Aigner atau Gucci di sana. Dua deptartement store dan supermarket kenamaan dari Jepang (Sogo) dan dari Singapura (Metro) juga hadir melengkapi atsmosfir global yang dibangun di tempat ini. Dalam website resmi Central America Flights menyebutkan bahwa Plaza Senayan diperuntukkan bagi yang menginginkan pengalaman belanja yang berkelas dengan kelebihan lokasi yang berada di jantung distrik keuangan ibu kota dan di tengah kawasan perkantoran.

Untuk membangun citra pusat belanja yang bergengsi, Plaza Senayan tidak hanya menawarkan kenyamanan tempat belanja yang menampilkan keanggunan lantai marmer, sebuah atrium yang gagah, tata cahaya yang sempurna dan juga keleluasaan ruangan yang makin mahal di Jakarta ini, tapi plaza ini juga mampu menentukan siapa yang akan berkunjung. Dengan lebih memperbanyak menawarkan kebutuhan kelas atas , dengan sendirinya masyarakat yang berkunjung akan sesuai dan tepat seperti yang diinginkan, yaitu ujung dari masyarakat borjuis kelas atas.

Sebuah tas kulit wanita ukuran sedang produk Bally dengan label Black Lamb Nappa Plain seharga Rp 9.990.000 akan lebih mudah ditemukan di Plaza Senayan dibandingkan di plaza atau mall lain. Jika seseorang ingin mencari sebuah dompet kulit produk Louis Vuitton seharga Rp 4.000.000, ia akan lebih suka memilih pergi ke tempat ini dibandingakan tempat lainnya. Plaza Senayan sudah seperti Pasar Baru pada jaman Hindia Belanda, elit dan untuk kalangan tertentu.

Sebuah situs yang khusus membantu kalangan ekspatriat yang berencana tinggal di Indonesia yang juga merekomendasikan Plaza Senayan sebagai tempat belanja, menyebutkan orang-orang kelas menengah ke atas Indonesia, kesadaran akan merek internasional kuat. Maka kalau di Plaza Senayan menyediakan setidaknya 50 lebih gerai yang menjual pakaian dan perlengkapannya dari Milan, London, Paris, New York adalah bukanlah suatu ketidak-sengajaan.

Tidak heran tempat ini sering disebut-sebut sebagai wilayah edar selebritis dan pejabat. Hadi Poernomo, direktur jenderal Pajak, mengaku memilih Plaza Senayan sebagai tempat favoritnya untuk jalan-jalan, makan, serta mengantar istri dan anaknya belanja . Inet, seorang pengarah program promosi pariwisata Jakarta di luar negeri, saat ditanya apa yang dilakukannya saat jenuh bekerja, ia menjawab akan menghabiskan sekitar Rp 20.000 – Rp 30.000 untuk main game di Plaza Senayan . Bintang film, sinetron dan iklan Okan Kornelius Tjewn, memilih Plaza Senayan sebagai tempat nongkrong pilihannya .

Sisi lain Plaza Senayan berikutnya adalah munculnya sederetan nama-nama café yang tidak hanya menjual secangkir kopi untuk diminum saja. Sebut saja Starbucks, Coffee Club, Coffee Bean & Tea Leaf dan nama lain yang menjual suasana ringan, tenang dan santai sambil menyediakan secangkir kopi, musik dan akses internet nir-kabel. Konsep ini mengadopsi tradisi intelektual Perancis yang gemar minum kopi sambil ngobrol ditepi-tepi jalan . Maka anak-anak muda kelas menengah Jakarta, lalu gemar datang ke café-café ini untuk sekedar ngobrol, diskusi, membaca bahkan mengerjakan pekerjaan kantor. Banyak orang memilih duduk-duduk di café seusai pulang kerja sambil menunggu kemacetan lalu lintas usai. Fenomena orang menyeruput kopi sambil menghadapi komputer mini merebak di café-café Plaza Senayan. Tempat-tempat minum yang nyaman seperti ini juga sering menyeret pengunjung yang tadinya hanya ingin belanja saja, tiba-tiba memutuskan mengistirahatkan kaki sambil menikmati aneka pilihan kopi dari berbagai belahan dunia sembari membaca Koran di sana. Plaza Senayan seperti satu simbol modernitas kota dan trend gaya hidup kosmopolitan.

Tampaknya pusat perbelanjaan yang berada di Jalan Asia Afrika ini, sudah menjadi semacam kekuasaan. Seperti gagasan Foucault, kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual kebenaran yang khas . Dikatakan kekuasaan karena Plaza Senayan memiliki kekuatan yang mampu menggerakkan seseorang untuk datang, menikmati dan membeli. Seluruh simbol-simbol mewah yang diusung oleh plaza yang dibangun dengan dana 70% dari Jepang ini adalah sebuah daya tarik yang berkekuatan.

Dengan seluruh daya tariknya, Plaza Senayan berhasil dalam membangun pengetahuan atau konsep baru mengenai gaya hidup ‘yang berbeda’ dari ‘yang lain’. Plaza Senayan seolah ingin berkata, pakailah produk ini, lalu kamu akan berbeda dari yang lainnya. Lalu sinyal demikian ditangkap dan direspon publik. Terbukti kemudian dengan munculnya kecenderungan fanatik pada merek-merek tertentu. Ungkapan-ungkapan macam ‘ini gue banget’ atau ‘gue kan tau barang’ adalah peneguh dari semua itu. Sampai disini kekuasaan telah melahirkan pengetahuan.

Kekuasaan ini juga telah mengklasifikasikan sebagian masyarakat yang telah mengidentitaskan dirinya berdasarkan apa yang ia peroleh dari plaza ini. Begitu kita berada di dalam Plasa Senayan saja, kita seolah-olah merasa terpisah dengan dunia di luar. Melalui simbol-simbol berupa merek dagang kelas dunia dan tawaran kebiasaan hidup dengan kesan mahal dan berselera tinggi, mampu membuat seseorang merasa berbeda.

Eric Fromm dalam bukunya yang berjudul To Have Or to Be, mengelompokkan motif hidup manusia menjadi dua . Jenis pertama adalah orang dengan motif to have (memiliki). Orang dalam jenis ini, akan merasa dirinya berharga saat merasa memiliki sesuatu (harta, pengetahuan, jabatan, kecantikan dan lainnya). Jika ia tidak memiliki apapun, ia merasa dirinya tidak berharga. Harga dirinya ditentukan dari apa yang ia miliki. Harga diri menjadi tergantung pada sesuatu di luar dirinya. Jenis kedua adalah orang dengan motif to be (menjadi). Orang jenis ini merasa tanpa memiliki sesuatupun, dirinya sudah berharga dengan sendirinya. Orang seperti ini lebih memiliki kemerdekaan dan otoritas pada dirinya. Tampaknya apa yang disodorkan oleh Plaza Senayan akan lebih mendorong individu yang berinteraksi dengannya, kearah motif yang pertama. Plaza Senayan melalui bisikannya akan terus mencoba menggeser pertimbangan pembelanja dari fungsional ke prestis. Rasanya tepat sekali ungkapan Lauren Bain , plaza seperti ini pada dasarnya, adalah sebuah tempat yang dikuasai bukan oleh negara, melainkan oleh dolar dan keinginan para pembelanja akan komoditas terbaru.**

No comments:

Post a Comment