27 July 2006

Ama dan Ina serta Anak-anak

Oleh Yan Koli Bau

Nusa Tenggara Timur! Pagi itu udara sangat dingin. Perut Ina yang sedang mengandung lima bulan terasa sembelit dan semakin lama semakin terasa sakit. Berbagai pertanyaan dan kecurigaan bermunculan tentang mengapa. Apakah diguna-guna orang jahat? Apakah dimarahi oleh arwah orangtua Ina atau Ama karena musim panen tahun silam mereka tidak memenuhi janji memperbaiki kuburan mereka? Ataukah leluhur marah karena mereka belum membangun rumah adat? Ataukah karena mereka melanggar rambu-rambu adat istiadat yang berlaku di kampung mereka? Upaya mencari penyebab rasa sembelit di perut ini menghabiskan banyak waktu tanpa memberikan penjelasan yang memuaskan, apalagi mengakhiri rasa sembelit itu sendiri.

Apa sebab sesungguhnya mengapa perut Ina sembelit?

Ina bertanya pada Ama ketika saya mengunjungi mereka di halaman depan rumah yang ditumbuhi rerumputan berbunga putih yang merana karena kekeringan. Lama diskusi mereka berlangsung. Sembelit. Itu yang mereka bicarakan. Dan saya mendengarnya sambil menikmati sirih dan pinang yang dihidangkan kembali kepada saya setelah mereka menerimanya dari saya sebagai buah tangan menurut adat orang Timor.

Ketika saya membuka kesunyian, menanyakan apa yang dimakan Ina malam sebelumnya, suami-isteri itu saling pandang dan lama merenung. Lalu dengan suara lirih Ama mengatakan Ina tak suka makan di malam hari karena sedang mengandung. Ina hanya makan sepotong singkong rebus. Lantas dengan wajah merah padam Ina mengatakan mungkin perutnya melilit karena tidak makan di malam hari. Dan menurutnya mereka tidak makan semalam sebab tak ada yang bisa dimakan, kecuali beberapa potong singkong yang dicadangkan untuk makan pagi kedua anaknya yang akan ke sekolah. Seorang anak lelaki kelas IV SD dan seorang lagi perempuan duduk di kelas II pada SD yang sama. Dengan menu makan pagi semiskin itu wajar saja tampilan tubuh anak kelas IV SD ini jauh di bawah tampilan anak sebayanya. Adiknya tak berbeda. Sudah dapat dibayangkan pakaian seperti apa yang dikenakan kedua anak ini. Keduanya pergi ke sekolah tanpa alas kaki.

Ina dan Ama bertutur bahwa sejak dahulu kala, ketika mereka dipelihara oleh kakek dan nenek mereka selalu mengalami situasi kelaparan seperti yang mereka alami pagi itu. Entah sedang hamil, menyusui anak atau tidak, para ibu sering menunda makan di malam hari apabila mereka 'ketiadaan' atau kekurangan bahan makanan. Sementara anak-anak tetap diupayakan untuk makan di malam hari. Sedangkan sang Ama tetap diprioritaskan makan malam agar dapat menjaga ternak dan bangun sesegera mungkin di pagi hari untuk mengurusi ternak, kebun, dan mencari bahan makanan untuk keluarga.

Ama biasanya bangun sekitar ayam berkokok kedua kali atau sekitar pukul lima pagi. Ia membawa sapi atau kuda mencari rerumputan kering yang masih lembut karena tersiram embun malam. Setelah itu ia mencari bahan makanan untuk dirinya dan keluarganya. Apabila sudah mendapat bahan makanan yang dicari, Ama pulang pada siang harinya. Bahan makanan yang dicarinya berupa aneka jenis ubi, arbila hutan dan batang pohon enau (gewang) untuk membuat putak (sagu), atau jenis makanan lain yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.

Makanan ini akan dipanggang atau dibakar dan dimakannya sebagian. Sisanya dibawanya untuk mereka yang menanti di rumah. Ketika saya tanya apa yang akan dibawa untuk anaknya yang masih dalam kandungan, ia tertunduk, matanya berkaca-kaca dan mengatakan, “Saya serahkan saja pada yang di atas, karena beginilah saya.” Mungkin inilah sebuah penyerahan diri pertanda kerendahan hati atau mungkin sekedar pembenaran diri. Hanya merekalah yang dapat mengetahuinya.

Sementara itu Ina mengatakan, apabila anak-anak sudah berangkat ke sekolah, Ina akan menyusul ke hutan mencari bahan makanan untuk mereka dan juga makanan untuk ternak babi yang mereka miliki. Sebab, menurut Ina dalam kondisi kelaparan makanan babi dan makanan manusia tidak jauh berbeda. Jika manusia makan isi umbi singkong setelah dikupas, babi makan kulitnya. Manusia makan putak atau sagu yang sudah diolah, babi makan putak mentah yang dirajam, dan sebagainya. Ina dan Ama menuturkan mereka sudah mengalami kondisi seperti ini sejak dahulu, setidaknya ketika hidup bersama kakek dan nenek mereka.*

PERTANYAAN yang perlu dijawab: “Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung? Dari mana harus memulai upaya mengakhirinya? Siapa yang harus melakukan upaya itu? Dan akankah ada hasilnya seperti yang diharapkan?”

Apakah jawabannya lebih merupakan mimpi di siang hari? Mungkin juga. Sebab, sebegitu jauh pemerintah dan badan-badan swasta di berbagai tingkatan sudah menumpahkan perhatian dan bantuan, tapi hasilnya masih tak tampak. Barangkali perlu intervensi dengan warna dan gaya yang berbeda daripada mengikuti cara yang sudah “mentradisi” entah seperti yang dilakukan pemerintah atau lembaga swadaya. Atau barangkali lebih tepat menanyakan pada arwah leluhur seperti yang dilakukan sendiri oleh Ina dan Ama?

Pertanyaan yang terbersit dalam benak ketika menggeluti persoalan kelaparan dan busung lapar adalah ”apa yang dibuat orang miskin dalam hari-hari hidupnya sehingga mereka bisa menderita kelaparan, sakit dan kadang menghantarkan mereka kepada kematian, sementara di tempat lain orang berkecukupan, bersukaria dan berpesta, lalu sakit dan dapat juga membawanya kepada kematian”?

Kelahiran dan kematian tentu saja merupakan dua kepastian dalam hidup. Manusia tak kuasa membatalnya, kecuali dalam situasi tertentu mungkin dapat menundanya. Toh tak akan lama. Namun, siklus dari lahir ke kematian tak sama untuk setiap lapis sosial dalam masyarakat.

Untuk kelompok yang tergolong miskin, terlebih yang secara objektif memang miskin, peristiwa dari lahir sampai kematian merupakan peristiwa penuh kepedihan. Betapa tidak. Anak-anak dari sejumlah keluarga msikin yang menderita gizi buruk dikandung oleh para ibu yang gizi buruk pula selama sembilan bulan masa kehamilan. Dalam masa penantian ini para ibu hamil harus bekerja keras tanpa mengenal jam kerja, mengonsumsi makanan yang sangat rendah kandungan protein, vitamin dan mineralnya. Mereka menghuni rumah yang sangat tak memenuhi syarat kesehatan. Pakaian mereka seadanya, sobek pada bagian tertentu, terutama bagian ketiak, krah leher dan bagian-bagian jahitan yang rawan. Dari pagi hingga malam mereka berupaya memenuhi kebutuhan akan makan meskipun pada akhirnya tetap kurang makan.

Sebaliknya mereka yang tergolong kaya, terlebih para profesional, pegawai pejabat pemerintah dan swasta, khususnya di perkotaan cenderung berkecukupan jika tidak dapat dikatakan berkelebihan. Dikandung dalam keadaan sehat dengan layanan dokter ahli dan dilahirkan melelui proses persalinan yang memenuhi syarat kesehatan, hunian mereka nyaman, indah, memenuhi syarat kesehatan, makanan mereka penuh protein, vitamin dan mineral, dan cenderung mengandung lemak terlalu banyak.

Akhirnya jika tidak saatnya semua mereka akan juga sakit dan mati, pada usia yang berbeda, dengan cara yang berbeda dan perlakuan setelah kematian yang bebeda pula. Kalau demikian apa bedanya antara mereka yang miskin dan kaya, sebab mereka semua dilahirkan dan kemudian juga akan mati? Tidakkah semuanya lahir, sakit dan kemudian akan mati tanpa memandang status sosial dan kepemilikan harta benda?**

Timor, Akhir Juli 2006

Categories: [Petani & Pedesaan_] [Busung Lapar_]

4 comments:

Anonymous said...

Wah, bikin trenyuh ...
Apa yang bisa kita perbuat? menurut tulisan Anda, ".. sebegitu jauh pemerintah dan badan-badan swasta di berbagai tingkatan sudah menumpahkan perhatian dan bantuan, tapi hasilnya masih tak tampak. Barangkali perlu intervensi dengan warna dan gaya yang berbeda daripada mengikuti cara yang sudah “mentradisi” entah seperti yang dilakukan pemerintah atau lembaga swadaya." Warna dan gaya yang berbeda, mungkin bisa lebih spesifik dan konkrit? Mungkin bisa dikerjakan bersama.
Wassalam,
Parjoko

Anonymous said...

Bapak Pardjoko Midjan yang saya hormati,

Selamat berkenalan. Nama saya Yanuarius Koli Bau, bekerja di Jurusan Sosiologi Universitas Nusa Cendana Kupang, tetapi dalam upaya memahami busung lapar di NTT Universitas bahkan jurusan saya masih tidur. Dan saya dibangunkan oleh The Institute for ECOSOC rights. Semua yang saya lakukan tidak atas nama dari dan untuk universitas saya, tetapi untuk atas nama ECOSOC. Kalau ECOSOC berkeberatan dengan pengatasnamaan ini, setidaknya atas nama diri saya sebagai orang Timor dan pemerhati persoalan sosial. Jauh sebelum LSM menjamur, sejak 1981 saya mencoba menggeluti Credit Union di Solo sampai menjadi GM untuk Jateng di Semarang 1986-87 bekerjasama dengan Konrad Adenauer Stiftung. Sekembali ke Timor saya juga terlibat dalam beberapa lembaga. Pengalaman ini membawa saya pada pemahaman bahwa kalau program atau projek dilakukan oleh pemerintah atau swasta tetapi para pelaksananya tidur sendiri di kota atau di hotel, maka biasanya gagal. Program atau proyek itu baru berhasil bila pelaksana tinggal bersama rakyat .., tidur bersama di kampung dalam waktu yang lama. Artinya harus melebihi satu tahun. Jika Bapak berkenan saya dapat berdiskusi lebih banyak melalui tatap muka. Barangkali pembicaraan awal dengan tim dari ECOSOC Jakarta akan sangat membantu. Kami mau mencoba tinggal bersama rakyat di tempat tertentu dalam kurun waktu tertentu. Kendalanya pasti klasik: uang dan tenaga yang mempunyai kepedulian tingi.

Bapak Pardjoko yang saya hormati, mungkin sampai di sini dulu perkenalan kita, jika ada waktu Bapak ke Kupang saya sangat berharap untuk kita berdiskusi langsung.

Salam dan hormat,
Yan Koli Bau

Anonymous said...

Yth. Mas Yanuarius Koli Bau,
Terima kasih atas respon Anda. Kami mempunyai semacam kaji tindak bekerjasama dengan Suster Sisilia di Atambua untuk trauma konseling dan pemberdayaan ekonomi keluarga bagi eks pengungsi di sana, belum tahu hasilnya karena baru mulai.
Saya mohon ijin kontak langsung melalui email kalau boleh.
Wass,
Parjoko Midjan
parjoko_m@yahoo.com

Anonymous said...

pak Yan dan Pak Parjoko, tolong disuarakan ke mana yah...? Kesehatan di NTT memang amburadul karena beberapa sebab:
1. Ada korupsi dana Sarana kesehatan sebesar Rp.15 milyar, gubernur pernah jadi tersangka tetapi kemudian statusnya diturunkan menjadi saksi dan sampai sekarang tidak ada penyelesaian; lebih heboh lagi Kepala Dinas Kesehatannya tersangka juga dan pernah ditahan di bui selama 20 hari---anehnya tidak pernah diganti oleh gubernur NTT dan masih menjabat sampai sekarang. Lebih aneh lagi Kepala Dinas ini diijinkan ambil S2 katanya di Boston/Undip dalam keadaan tersangka dan tidak copot jabatannya. Ini hebat atau heboh atau edhan? Mohon siapa saja tolong menyuarakan ini agar pelayanan kesehatan di NTT semakin baik dan para koruptornya masuk bui, gantian dong mereka merasakan kurang makan seperti rakyat yang jatahnya dikorup.
Maturnuwun!

Post a Comment