KETIKA mobil kami mulai memasuki wilayah Kodi – sebuah kecamatan di Sumba Barat, yang segera menampak di depan mata adalah rimbunnya hijau daun jambu mede. Beberapa di antaranya sudah mulai berbunga di pucuk-pucuknya. Tiga atau empat bulan lagi, sekitar Oktober-November pohon-pohon itu akan dipenuhi buah jambu mede yang merah menua siap dipanen. Dan desa-desa yang dinaungi kebun pohon jambu mede itu akan berubah menjadi hiruk pikuk, seakan baru saja menjemput kehidupan. Mobil kami menuju salah satu desa, namanya Bukambero, desa di mana saya sejenak mampir melongok kehidupan masyarakat setempat.
Sekalipun dalam hitungan dan perkiraan dipandang sangat menjanjikan, mengapa industri pertanian rakyat/pemerintah untuk jambu mede di Sumba Barat justru berdampak sebaliknya? Berapa banyak dampak kelaparan yang diakibatkannya?
Sejak tahun 1990 proyek jambu atau kacang mede yang diprakarsai dinas perkebunan Pemkab II Sumba Barat mulai dilakukan di wilayah Kec. Kodi. Alhasil, 75 persen lahan (ladang dan kebun) milik warga digunakan untuk menanam jambu mede. Sebagai akibat proyek penanaman jambu mede, masyarakat tidak bisa lagi menanam tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi, patatas untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Karena baru pada tahun ke-5 jambu mede bisa berbuah, maka selama lima tahun itu, masyarakat mendapatkan sedikit bantuan dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tapi itu tak mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Sejak proyek penanaman jambu mede, kekurangan pangan dan kelaparan merambat naik terus. Tragisnya, menurut Kades Bukambero, antara 1998–2000, 20 orang penduduk desa Bukambero meninggal karena kelaparan.
Dalam hitungan paling bodoh, kekurangan pangan dan kelaparan bisa pelan-pelan menghilang, ketika jambu mede mulai panen dan mereka bisa membeli pangan. Dari luas hampir 1500 ha yang ditanami jambu mede di Bukambero, bisa dihasilkan kurang lebih 1100 ton kacang mede setiap kali panen. Jika dengan harga pasar rata-rata Rp5.000, setidaknya setiap kali panen bisa mendatangkan Rp5 milyar. Bukan angka yang kecil untuk ukuran pemasukan daerah Kabupaten Sumba Barat. Tapi, apa yang terjadi?
Biasanya, hasil panen kacang mede langsung dijual di toko di Waitabula. Penduduk biasa menyebut pemilik toko yang pedagang Cina dengan sebutan “ONGKO” (Tuan Toko). Jika jambu mede telah mulai menua, ongko-ongko itu biasa masuk kampung, untuk membeli panenan kacang mede. Kadang-kadang tiap petani memiliki ongko sendiri-sendiri yang datang memberi panjar, dengan harga pasaran tapi timbangan kurang. Jadi, dari 100 kg, bisa jadi cuma 75 kg yang terhitung. Tapi, terkadang, ada semacam ijon di antara sesama warga sendiri dengan harga di bawah harga pasaran.
Ongko-ongko yang besar di Waitabula, antara lain: toko Eka Putra, Kristal, Atlantik, Timur Agung, Sinar Kasih, Tanjung Karoso, Dunia Indah, Spekulasi, Monika, SS. Ongko-ongko ini saling bersaing. “Ongko-ongko ini seringkali melakukan permainan harga. Harga bisa berubah tiap jam. "Ongko-ongko ini kompak permainkan harga! Umumkan harga naik, sampai di toko harga tetap, sementara itu sebenarnya petani ingin tahan hingga harga baik,” cerita seorang penduduk di Kodi. Pemda selama ini tidak cukup turun tangan. Penjualan kacang tidak terorganisasi atau manajemen modal tidak ada. Pernah ada pembeli dari India, ingin membeli dari pribumi, tapi akhirnya jatuh juga ke tangan Cina. Pemda tidak berkutik karena ongko-ongko itu membayar pajak tinggi. Pernah dibuat koperasi, awalnya berjalan bagus, lalu belum genap tiga tahun, uang dan keuntungannya dikorupsi pimpinannya. Walaaah…
Harga yang harus dibayar masyarakat dari berpindahnya manajemen alam dalam pengaturan pola tanam pangan menjadi pola tanam komoditi dengan manajemen pasarnya, tidak mampu ditanggung oleh masyarakat. Akibatnya, masyarakat kehilangan ketahanan hidupnya, dan menanggung kerawanan pangan, kelaparan, sakit-penyakit, kemiskinan. Sepertinya, kebanggan Kodi sebagai daerah penghasil padi ladang paling enak di Sumba akan tinggal jadi kenangan. Pisang dan alpukat yang juga sangat manis ditanam untuk dinikmati turis di Bali.
Siapa bilang kacang mede adalah kacang paling enak? Karena, buat saya sekarang, kacang mede adalah kacang paling pahit sedunia! Oh Tuhan… saya telah kehilangan “rasa” dari salah satu kacang terbaik yang tumbuh di bumi ini! Selamat tinggal menjadi penggemar kacang mede!***
No comments:
Post a Comment