DI POJOK sebuah zaal RS Caritas, Waitabula, Sumba Timur tergolek tubuh telanjang layu kurus kering dalam balutan selimut kain. Matanya terpejam! Aku menoleh kanan kiri mencari orangtua dari anak lemah tak berdaya ini. Tidak ada siapa-siapa. Aku mencari papan nama, untuk mendapatkan identitas anak ini. Walaupun kudapatkan identitasnya, tetapi aku tidak ingin menuliskannya di sini.
Mungkin tidak ada gunanya! Karena di data dinas kesehatan atau pemerintah daerah, anak ini hanya akan menjadi satu dalam akumulasi penderita marasmus. Namanya siapa atau tinggal di mana, bagi orang luar Sumba, itu mungkin juga tidak penting untuk diingat, karena hanya sebuah kisah di luar sana.
Pemerintah Daerah Sumba Barat melalui Dinas Kesehatan menolak istilah “busung lapar”, dan menggantinya dengan “gizi buruk”. Apa pun istilahnya, dan apa pun alasannya, kondisi yang oleh masyarakat Kodi itu disebut sebagai koreko itu ada. Anak-anak yang menderita koreko ini, pastinya lebih dari sekadar penderita “gizi buruk”, karena anak-anak ini dalam istilah medisnya sudah masuk kategori marasmus kwashiorkor. Jika pergi ke Kodi, dan menanyakan pada orang di sana apa ciri penderita koreko, mereka akan menjawab: pughe (perut buncit), lau-kaka (pucat), ghai kii (kaki kecil), tango de weki (badan lemah/layu), mburu buataweki (berat badan menurun), karuku matana tama (mata masuk ke dalam), kundana amba’a (lutut bengkak).
Jika percaya pada data 2005 Dinas Kesehatan Pemda Sumba Barat, anak-anak penderita gizi buruk di Sumba Barat sebanyak 1.599 anak, dan 137 lainnya adalah penderita marasmus. Data itu dikumpulkan dari sejumlah 566 posyandu di Sumba Barat. Hingga Januari 2006, posyandu di Sumba Barat tercatat memiliki 2.478 kader, dan yang aktif sekitar 1.867 orang. Ketika persoalan kelaparan dan “gizi buruk” 2005 menjadi KLB (Kasus Luar Biasa), sekitar Rp 2,1 milyar dikucurkan Pemerintah Pusat dan Pemda Tk I Nusa Tenggara Timur untuk memperbaiki kondisi tersebut, dengan program PMT (pemberian makanan tambahan) 90 hari. Anggaran untuk tahun 2006 sebesar Rp 1,6 milyar. Tetapi, Pemda Kabupaten Sumba Barat sendiri, melalui Dinas Kesehatan baru bisa mengajukan proposal proyek untuk program penanganan gizi buruk 2006 pada bulan Mei (ketika penulis melakukan wawancara di Dinas Kesehatan). Alasannya, karena laporan proyek Program PMT 2005 harus beres dulu, baru bisa mengajukan proposal untuk program (tahun) berikutnya. Bagaimana ini? Anak-anak penderita marasmus keburu mati, menunggu dana proyek.
Kabupaten Sumba Barat memiliki 17 kecamatan, dengan 17 puskesmas. Data 2004-2005 menunjukkan wilayah puskesmas Wairasa paling tinggi jumlah penderita gizi buruk. Disusul wilayah puskesmas Kori, Bondokodi, Waimangura, Tena Teke, Wallandimu. Penderita marasmus paling tinggi terdapat di kec. Kodi, kemudian juga bisa dijumpai di kec. Lamboya, Katikutana, Umbu Ratu Nggay Barat. Dalam catatan RS Caritas, Waitabula, selama 2006, berturut-turut penderita malnutrisi akut maupun marasmus adalah sebagai berikut: Januari – 34 penderita (14 meninggal), Februari – 15 penderita (3 meninggal), Maret – 6 penderita (5 meninggal) dan April – 6 penderita (3 meninggal). Tinggi sekali angka kematiannya. Anak-anak penderita gizi buruk maupun koreko ini biasanya memiliki ‘penyakit akibat’ yang memperburuk kondisinya, seperti ispa, malaria vivax, disentri/mencret, sepsis, pneumonia berat, bronchitis, dan berbagai jenis penyakit lainnya.
Adakah masa depan bagi anak-anak penderita gizi buruk atau malnutrisi akut maupun marasmus? Penyakit-penyakit itu pelan-pelan melemahkan dan melumpuhkan daya tahan tubuh dan kemampuan kognitif mereka. Sangat kelabu membayangkannya. Sama kelabunya jika kita menatap bayangan bukit-bukit di Sumba pada petang hari …***
Categories: [Busung Lapar_]
1 comment:
yang benar tuh KAREKO bukan KOREKO yg artinya kurus
Post a Comment