02 August 2006

10 Kali Lipat ‘Jam Terbang’ Perempuan!

Oleh Iswanti Suparma

NAMANYA Muda Kadu. Perempuan 37 tahun. Tinggal di kecamatan Kodi Utara. Seperti kebanyakan perempuan Sumba, di antara kegiatan sehari-hari dalam rumah tangganya adalah mengambil air. Muda Kadu harus dua kali mengambil air di sumber mata air yang berjarak lebih dari dua kilometer. Setiap hari. Setiap hari pula hal ini harus dilakukan oleh perempuan-perempuan Kodi lainnya seperti Petronela Ng Lora, Valentina Ambukakas, Petronela Ambukaka dan perempuan temannya. Memang daerah tempat tinggal Muda Kadu adalah daerah sulit air.

Jika kita biasa menghitung jam terbang pilot dalam mengemudikan pesawat, bagaimana kalau kita belajar berhitung ‘jam terbang’ Muda Kadu dalam mengambil air?

Jika umur Muda kadu sekarang 37 tahun, dan telah mulai mengambil air sejak umur 10 tahun, maka sudah 27 tahun Muda Kadu mengambil air. Jika diambil rata-rata dalam sehari Muda Kadu menggunakan waktu selama lima jam, telah sekitar 48.600 ‘jam terbang’ Muda Kadu dalam mengambil air.

Bandingkan dengan Kapten Penerbang MJ Hanafie si pemandu Falcon F-16 atau Kustono si pemandu Seahawk. Mereka hanya mencapai seribu jam saja, dalam waktu enam tahun saja! Tapi penghargaan pada mereka … bayangkan: sebaliknya! Para petempur itu ‘mencuri’ penghargaan berlipat-lipat dibandingkan yang diterima oleh Muda Kadu. Ini perbandingannya: 6/1000 dibagi 27/48.600. Alias lebih dari 10 kali penghargaan yang seharusnya diberikan kepada kaum perempuan pengambil air di Sumba Barat, karena ‘jam terbang’ mereka yang tinggi sekali!

Apa yang mau kita bicarakan dengan hitungan 'jam terbang' ini? Pertama, saya ingin bicara tentang air dan beban kerja perempuan. Kedua, saya ingin bicara kebijakan pembangunan pemerintah Sumba Barat tentang air yang tidak sensitif dan responsif gender? Ketiga, saya ingin bicara tentang usulan partisipasi politis perempuan melalui air.

Pertama, tentang air dan beban kerja perempuan.

Siapa yang menyangkal bahwa air menjadi kebutuhan yang hampir menentukan hidup atau mati dalam keseharian manusia? Tidak mungkin manusia hidup tanpa air. Dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari, yang masih harus banyak berurusan dengan air adalah perempuan. Apakah beban yang ditanggung Muda Kadu tentang persoalan air hanya soal berapa lama dan berapa jauh dia mengambil air? Jawabnya: Tidak! Kesulitan mendapatkan air, bagi Muda Kadu dan ibu atau perempuan Sumba lainnya, memiliki rentetan panjang berbagai kesulitan lainnya. Bukan hanya banyaknya jam dan jarak jauh yang ditempuh untuk mendapatkan air, tetapi secara langsung kesulitan mengakses air itu mempengaruhi beban dan kualitas hidup perempuan atau para ibu dan anak-anak mereka (keluarga) di Sumba Barat.

Kesulitan mengakses air berarti juga kesulitan mempertahankan kebersihan tubuh. Anak-anak dan anggota keluarga lainnya jarang mandi yang memungkinkan mereka jadi rentan terhadap berbagai penyakit kulit. Air juga penting untuk menjaga kebersihan pangan serta sandang yang digunakan sehari-hari. Apalagi terdapat kebiasaan kurang sehat dalam masyarakat Sumba: mengkonsumsi air dari sumur, mata air atau sungai untuk diminum tanpa dimasak. Kesulitan air juga berarti ibu-ibu mengalami kesulitan menanam sayur-sayuran sebagai sumber gizi dan vitamin keluarga, yang rentetan panjangnya adalah anak-anak mengalami kurang gizi dan vitamin.

Beban tenaga mengambil air yang cukup berat dan minimnya air tidak memungkinkan ibu-ibu menggunakan perlengkapan kontrasepsi yang rentan terhadap kerja fisik cukup berat. Karenanya kegiatan mengambil air membutuhkan tingkat kesehatan tinggi. Padahal kesehatan prima mempersyaratkan kebersihan menggunakan air. Belum lagi, jika kebutuhan air harus dipenuhi dengan membeli, berarti menambah pengeluaran keluarga.

Kedua, tentang kebijakan pembangunan pemerintah kabupaten Sumba Barat tentang air yang tidak sensitif dan responsif gender.

Jika berjalan-jalan di daerah Sumba Barat, yang berkerumun di mana ada mata air, sumur, leding atau sungai kebanyakan, malah hampir semuanya adalah perempuan. Mereka mengambil air, mencuci baju, mandi. Muda Kadu dan perempuan lainnya, dalam sehari bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan jarak berkilometer-kilometer untuk mendapat air. Persoalan air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tampaknya belum mendapatkan perhatian serius dari pemkab Sumba Barat.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Sumba Barat 2005-2010, misalnya, pengembangan prasarana pengairan diarahkan untuk menunjang pengairan pertanian lahan basah. Tidak disinggung sama sekali tentang pengembangan prasarana air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Penyusunan anggaran dan rencana pembangunan daerah seperti itu tampak belum responsif gender. Perempuan adalah pihak yang terkena beban paling berat dengan persoalan pengadaan air bagi kebutuhan rumah tangga ini. Hal ini terkait langsung dengan kebiasaan pembagian kerja menyangkut tugas, peran dan tanggung jawab perempuan atau ibu-ibu dalam menyediakan air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Negara – melalui Pemerintah – memiliki tanggung jawab bagi pengadaan air untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Kebijakan Pemkab Sumba Barat – Dinas Pekerjaan Umum/Kimpraswil – dalam hal pengadaan prasarana air kelihatan sekali masih bersifat sektoral, proyek dan berfokus pada prasarana pengadaan air untuk meningkatkan produksi pertanian, sementara yang menyangkut pengadaan prasarana air untuk kebutuhan rumah tangga masih dikesampingkan. Tanggung jawab ini, untuk sementara masih menjadi beban masyarakat (khususnya perempuan), juga LSM lokal maupun internasional yang peduli pada persoalan ini.

Ketiga, usulan partisipasi politis perempuan melalui air.


Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) adalah mekanisme paling bawah dalam proses partisipasi publik dalam penyusunan anggaran dan belanja serta pembangunan daerah. Pertanyaannya, apakah selama ini perempuan dilibatkan dalam penyusunan Musrenbangdes di desa-desa di Sumba Barat? Jika perempuan masih memikul beban “paling besar” dalam penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mencuci, mandi, menjaga kebersihan tubuh, pangan dan sandang, penanaman sayuran, dll,), maka perempuan imperatif kategoris (!) harus dilibatkan dalam proses politis Musrenbangdes ini. Walaupun tidak mudah melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan politis, tetapi hal ini harus dilakukan.**

Tentang kebijakan publik Pemkab Sumba Barat sudah atau belum responsif gender, lihat lebih lanjut dalam artikel “Sum-Ba: Susah Buat Mama, Baik buat Bapa” dalam posting selanjutnya. Tunggu tanggal mainnya!


Categories: [Perempuan_] [Busung Lapar_]

No comments:

Post a Comment