31 August 2006

Pudarnya Kearifan Lokal

Albert Buntoro

Masih adakah kearifan setempat dalam masyarakat pedesaan kita, setelah begitu saja dibagi-bagikan bantuan-bantuan langsung, entah tunai maupun berbentuk makanan, yang tidak mendidik itu? Ataukah justru telah bergeser dan akhirnya hilang begitu saja?

Melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia No.12/2005, pemerintah semakin menegaskan pelaksanaan bantuan langsung tunai (BLT) bagi rumah tangga miskin. Bantuan uang senilai Rp100.000 per keluarga ini diberikan sebagai kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak. Dalam perjalanannya bantuan seperti ini menuai masalah baru di masyarakat, termasuk dalam kasus yang terjadi di Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Masalah kesimpangsiuran data penerima bantuan dan gejala ketergantungan terhadap bantuan sudah bukan barang baru lagi. Imbas yang paling mencolok dari BLT ini adalah semakin pudarnya kearifan lokal masyarakat TTS.

Bagaimana warga masyarakat menanggapi gelontoran duit-duit itu? Apakah mereka jadi lebih "kaya" seperti dibayangkan para pengambil keputusan bantuan itu, jika mereka digariskan sebagai "miskin" dan "melarat"?

Di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur banyak sekali lahan tanah yang tidak dimanfaatkan secara optimal. Tampaknya lahan-lahan itu sudah lama tidak diolah oleh pemiliknya. Gulma tumbuh subur melebihi tanaman-tanaman di sekelilingnya. Lebih parahnya lagi, bukankah gulma itu menghambat pertumbuhan tanaman-tanaman pangan yang justru dibutuhkan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

TTS merupakan daerah perbukitan yang mayoritas penduduknya petani di lahan kering. Penghasilan utama berasal dari hasil ladang yang rata-rata tidak mencapai Rp200.000 per bulan. Bahkan beberapa warga yang menjadi responden dalam penelitian kami mengaku bahwa dalam satu bulan penghasilannya hanya cukup untuk membeli kebutuhan dapur dan perlengkapan mandi. Beruntung bagi warga yang mempunyai pekerjaan samping selain di bidang pertanian, karena penghasilannya per bulan relatif lebih besar.

Sumber pangan masyarakat tani di TTS bersandar pada hasil ladang yang masih sangat tergantung pada musim. Jika musim kemarau tiba, sebagian dari warga pergi ke hutan untuk mendapatkan makanan tambahan berupa arbila hutan, keladi hutan (mae) dan putak. Jenis makanan ini sebagai sumber katahanan pangan terakhir di TTS.

Kondisi ini membuat masyarakat tidak memiliki banyak pilihan. Mungkin yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana mendapatkan makanan untuk mengisi perut. Masyarakat semakin terpuruk dalam perangkap kemiskinan ketika tidak ada dukungan kelembagaan seperti misalnya koperasi, sarana prasarana, bahkan akses informasi.

Untuk mengentaskan kemiskinan sebenarnya perlu adanya upaya menguatkan kelembagaan, prasarana dan akses kepada informasi. Sayangnya, program yang sifatnya jangka panjang dan memberdayakan masyarakat di pedesaan tidak dikembangkan secara optimal dan bukan menjadi urutan atas dalam skala prioritas. Banyak blog sekarang juga sudah meragukan kegunaannya. Pemerintah cenderung mengeluarkan program-program jangka pendek (superfisial) yang sifatnya memberikan ’ikan’ ketimbang ’kail’. Sama halnya ketika memberikan orang lapar sepotong roti atau pun gula-gula pada anak-anak, yang hanya mengundang kekenyangan dan kesenangan sesaat.

Dulu masyarakat mengenal hidup gotong-royong dan kerja sama untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan bersama. Sekarang kearifan itu sudah sulit ditemukan. Solidaritas sosial lama-kelamaan menjadi berkurang. Hal ini diakui oleh seorang bidan yang sudah tinggal cukup lama di salah satu desa di TTS.

”Saat pemerintah mengadakan kegiatan bulan bakti membersihkan kampung, yang tidak dapat bantuan tidak datang”, ungkapnya.

Lebih lanjut dia mencontohkan bahwa kegiatan bulan bakti bisa berjalan ketika ada BLT, yang biasanya diberikan sehabis kerja. Sepertinya cara seperti ini dijadikan sebagai salah satu strategi jitu dari pemerintahan desa agar kegiatan gotong-royong berjalan.

Bentuk bantuan langsung yang sifatnya tunai ini juga berwujud pemberian makanan tambahan (PMT) kepada anak-anak balita. Selain pemerintah, PMT juga diberikan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sebagai salah satu bentuk tindakan darurat, PMT memang berkontribusi terhadap perbaikan gizi si anak. Sayangnya tidak terkelola secara optimal, baik yang terkait dengan jenis makanan yang diberikan dan juga manajemen distribusinya. Imbasnya justru menjadi negatif di masyarakat.

Terkait dengan jenis makanannya, sebagian besar PMT berbentuk makanan, berkemas seperti mie, biskuit, dan bubur instan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada jenis makanan tersebut juga mengandung asupan gizi yang cukup. Namun jika terus-menerus diberikan, dampaknya akan mengubah pola makan anak-anak. Karena sudah terbiasa, anak-anak lebih suka makanan berkemas itu ketimbang nasi atau pun sayuran. Dampaknya juga mempengaruhi sikap orang tua dalam pemberian makanan.

Perempuan-perempuan TTS yang sejak dulu terbiasa mengolah beras, entah ditumbuk atau dihaluskan, untuk makanan bayi atau anaknya kini lebih memilih membeli bubur instan yang langsung seduh. Beberapa tenaga kesehatan yang kami temui di lapangan memastikan bahwa saat ini masyarakat sudah menganggap mie kering sebagai makanan yang memiliki prestise. Mereka menjual hasil kebun dan ternaknya untuk kemudian dibelikan mie kering untuk makanan sehari-hari.

Sebut saja Frans Tapealu, staff puskesmas di kecamatan Polèn. Dia memberikan kesaksian bahwa ada masyarakat yang menjual telur ayam dari hasil peternakannya untuk dibelikan mie. Hal senada juga diungkapkan Dr. Suriawaty R. Seru.

”Dong semuanya petani, kadang dong bawa ayam dari desa pergi ke pasar untuk dijual, lalu belikan mie. Kadang telur juga di bawa ke pasar, dijual 1.000 toh. Lalu dong ganti dengan mie lima bungkus. Dong kasih anaknya makan mie. Mereka bangga dengan makanan yang dikemas.”

Nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan sebagai bagian dari kearifan lokal sudah mulai terkikis di dalam lingkungan budaya lokal komunitas TTS. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, antara penerima bantuan dan yang tidak menerima bantuan. Di antara warga masyarakat terkadang muncul perselisihan. Para orangtua balita yang tidak memiliki masalah malnutrisi (gizi baik) protes karena anaknya tidak mendapatkan bantuan. Kader posyandu dan staf puskesmas yang biasa bertemu dan melayani langsung masyarakat terkena imbasnya. Seringkali mereka diolok-olok dan dituduh menggelapkan bantuan oleh para warga.

Semakin pudarnya kearifan lokal masyarakat TTS sudah sepatutnya mendapatkan perhatian khusus dari berbagai macam pihak. Modal sosial yang ada perlu dikembangkan untuk mencegah semakin rusaknya tatanan hidup bermasyarakat. Siapa yang akan memulainya? Melihat pengaruh negatif dari bantuan langsung di TTS, yang menjadi pertanyaan kita kemudian adalah apakah pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah lainnya akan tetap memberikan bantuan langsung yang tidak mendidik itu ke masyarakat? Kita lihat saja.**

3 comments:

Anonymous said...

Yth. Mas Albert,
Ada beberapa kabupaten (a.l Sragen) yang bupatinya mengeluarkan kebijakan dan mengajak warganya yg menerima SLT untuk menggunakannya sebagai modal kerja. Saya kira kearifan lokal seperti ini ada di daerah2 lain, dan saya kira CSO berhak dan punya tanggung jawab juga agar untuk mengadvokasi masyarakat mengenai pemanfaatan uang SLT tsb.

Anonymous said...

hal yang paling penting adalah pemerataan kesempata meraih pendidikan bermutu dan kerja

Antonius Ratu Gah said...

Saya setuju dengan anda. hanya saja mengenai istilah "Kearifan lokal" bisa menjadi bias ketika kita mengartikannya dengan "Good Practises". Saat ini untuk menjadikan sebuah kearifan lokal sudah ada persyaratan atau kriteria dari PBB dan Bappenas yang mengatur itu... Mungkin hal ini bisa menjadi masukan yang baik...

Terus berjuang saudara ku...

Post a Comment