27 September 2006

Tak Ada Lagi 7 Piring 8 Mangkok di Sikka

Sri Palupi

SIKKA, kabupaten tersempit di Nusa Tenggara Timur (NTT), pernah kesohor di dunia sebagai kabupaten yang sukses dengan program konservasi lahan kering. Anugerah Kalpataru pertama pun jatuh di kabupaten ini. Sikka juga dikenal sebagai daerah pencetak tokoh-tokoh penting di tingkat nasional. Ini dimungkinkan karena dalam sejarahnya orang Sikka adalah orang pertama di NTT yang mengenal pendidikan.
Jaman “kemakmuran” Sikka bisa dikenali lewat filosofi masyarakat tradisionalnya, yang menyebut Sikka sebagai “lepo sareng woga kela”. Artinya, rumah yang bahagia dengan isinya yang sejahtera. Orang Jawa bilang “gemah ripah loh jinawi”. Kesejahteraan ini tergambar dari pola makan tradisional masyarakat Sikka, yang dilambangkan dengan “7 piring 8 mangkok”. Dengan pola makan seperti ini, menurut pakar budaya setempat, masyarakat Sikka tradisional tak mengenal adanya masalah gizi buruk.

Kini, wajah negeri nyiur melambai ini telah banyak berubah. Kekeringan, banjir, angin badai, hama penyakit, datang silih berganti. Tak ada lagi “7 piring 8 mangkok” yang jadi kebanggaan masyarakat Sikka. Jangankan tujuh piring, mencari satu piring saja sudah sulit. Lalu apa penyebab hilangnya piring dan mangkok itu, dan apa kaitannya dengan masalah gizi buruk di kabupaten ini?

Menurut Oscar Mandalawangi, pakar budaya di Sikka, makanan tradisional orang NTT pada umumnya dan Sikka khususnya, mengandung gizi yang lengkap. Kalau orang modern menyebut makanan bergizi itu “4 sehat 5 sempurna”, orang NTT menyebutnya “7 piring 8 mangkok”. Dalam tradisi orang NTT, makan yang sehat itu ibaratnya piringnya harus tujuh dan mangkoknya harus delapan. Artinya, makanannya harus lengkap, bermacam-macam makanan menjadi menu harian. Ada nasi, jagung, umbi-umbian, pisang, kacang-kacangan, dan lain-lain makanan yang ada di ladang. Ini simbol kesejahteraan di NTT, khususnya Sikka. Tapi sekarang, pola makan seperti ini sudah berkurang.

Pola makan orang NTT sekarang sudah bergeser, dari pola makan beragam ke pola makan nasi. Ini terjadi karena pemerintah terlalu memanjakan tanaman padi. Dari sistem pertanian sampai pendidikan di sekolah, yang ditonjolkan hanya padi dan nasi. Di sekolah anak-anak diajarkan untuk memperbanyak makan nasi. “Guru-guru sekarang tahunya nasi, tidak lagi jagung,” keluh Oscar Mandalawangi. Dari pendidikan itulah orang menangkap, nasi itu makanan nomor satu. Jagung dan umbi-umbian itu makanan kelas dua. Dulu orang NTT makan nasi hanya untuk upacara. Untuk sehari-harinya makanan mereka beragam. Tapi karena tanaman padi lebih diutamakan, pola makan beragam pun menghilang. Umbi-umbian sudah berkurang, padahal dulu banyak macamnya.

Perubahan pola pangan ini didorong oleh perubahan pola pertanian, yang terjadi sejak revolusi hijau dilancarkan. Sebagian besar penduduk Sikka dulunya adalah petani ladang tradisional dengan pola tanam tumpangsari yang dijalankan berdasarkan aturan adat. Sistem pertanian tradisional ini mengarah pada upaya untuk menjaga sekaligus memulihkan kesuburan lahan. Upaya pemeliharaan kesuburan lahan ini dilakukan lewat pencegahan erosi dan penanaman secara tumpangsari. Pencegahan erosi dilakukan dengan membuat tanggul-tanggul kayu dan parit. Pola tanam tumpangsari dilakukan dengan menanam beragam jenis tanaman dalam satu lahan yang sama. Selain ditujukan untuk penganekaragaman produksi dan mengurangi resiko gagal panen, pola tanam tumpangsari ini juga dimaksudkan untuk mencegah erosi, penghematan lahan dan menghindari terik matahari yang dapat merusak lahan. Pendeknya, masyarakat tradisional bertahan hidup dengan menjalankan pertanian yang sesuai dengan kondisi fisik NTT yang kering dan miskin air.

Sistem pertanian tumpangsari, selain mencegah kerusakan lingkungan juga mendukung ketahanan pangan. Dalam satu kebun atau ladang, tanaman pangan ditanam dengan sistem berlapis-lapis. Dimulai dengan tanaman menjalar, seperti labu kuning, yang ditanam di pinggir kebun. Labu ini kalau tua dimakan buahnya, pada saat muda buah dan kuncup bunganya dimanfaatkan untuk sayur. Tanaman labu ini menghalangi babi hutan, kera dan landak masuk ke dalam kebun. Sebelum menyerang tanaman pangan dalam kebun, hewan liar tersebut sudah kenyang dengan daun labu dan buahnya. Dengan adanya labu yang malang melintang ini, tikus pun enggan masuk ke dalam kebun.

Setelah labu, pada lapis kedua ditanam kacang-kacangan. Ada kacang panjang, kacang kecipir, kacang gudhe, dll. Pada saat muda kacang-kacangan ini menjadi sumber sayuran dan pada saat tua disimpan sebagai cadangan makanan di saat musim kering. Kecipir kering digoreng dan dimakan dengan sayur daun ubi atau daun pepaya. Menurut pengakuan bupati Sikka, pejabat pertanian , dan warga setempat, makanan seperti ini sudah cukup mengenyangkan.

Pada lapis ketiga ditanam tanaman jenis sorgum: sorgum, jewawut, jagung solor, dll. Selain sebagai sumber pangan, tanaman sorgum ini juga mencegah burung-burung memakan padi. Dengan adanya sorgum yang lebih tinggi dari padi, burung-burung itu akan memakan sorgum terlebih dahulu dan tidak lagi makan padi. Pada lapis berikutnya barulah ditanam tanaman padi dan jagung (pare-lele) sebagai tanaman utama. Tetapi di lapis ini pun tidak hanya padi dan jagung yang ditanam, tetapi masih dicampur dengan ramuan tradisional, tanaman sorgum atau jewawut atau jagung solor dan sayuran, seperti mentimun. Dengan cara ini kalau masih ada hama masuk menyerang tanaman utama, maka hama itu akan hinggap duluan ke jagung solor atau jewawut, yang batangnya lebih tinggi dari padi atau jagung. Ada juga tanaman umbi-umbian, seperti ubi jalar dan ubi kayu. Semua jenis tanaman yang ada di ladang ditanam dengan jarak waktu tertentu sehingga tidak saling mengganggu.

Selain pola tanam tradisional ini, masyarakat Sikka juga mengenal sistem “hongèn”: di pinggir kebun, di sisi kiri kanan, ditanam tanaman-tanaman non-pangan, seperti sirih, bambu, kemiri, pinang, nangka, dll. Kalau nanti kebutuhan pangan tidak mencukupi untuk sumber ekonomi, mereka masih bisa jual tanaman non-pangan.

Sistem perladangan dengan pola tanam tumpangsari ini dulu memang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk sekaligus menjamin kelestarian alam. Namun meningkatnya tekanan penduduk terhadap daya dukung lahan membuat sistem ini semakin tidak adaptif dan sulit diterapkan karena lahan semakin terbatas. Apalagi kabupaten Sikka luasnya hanya 7.000 km persegi. Dari jumlah itu, luas daratannya hanya 1.400 km persegi, dengan kepadatan penduduk nomor dua tertinggi di NTT setelah kota Kupang. Akibatnya, sejak 1950 warga Sikka dan warga NTT pada umumnya setiap tahun mengalami rawan pangan. Di NTT kemudian dikenal yang disebut sebagai ’bulan lapar’, yang berlangsung berbulan-bulan, dengan kondisi parah antara Nopember–Pebruari. Selama bulan-bulan ini warga meramu makanan yang berasal dari umbi-umbian liar (pida atau ondo) dan batang enau atau aren (R Dewa 1993).

Mulai 1960 tekanan penduduk atas daya dukung lahan semakin tinggi. Atas prakarsa misi Katolik melalui Ikatan Petani Pancasila, petani diarahkan untuk melakukan konservasi lahan dengan sistem terasering dengan menggunakan lamtoro sebagai tanaman penopang teras. Di atas teras-teras inilah petani bercocok tanam secara menetap, tak lagi dengan sistem ladang berpindah. Perubahan ini terjadi seiring dengan pengenalan pupuk kimia yang mulai banyak digunakan sejak program revolusi hijau mulai dilancarkan.

Sejalan dengan diperkenalkannya pupuk kimia dalam sistem pertanian menetap dengan terasering, diperkenalkan pula jenis tanaman perdagangan, seperti kakao, cengkeh, dll. Pengenalan tanaman perdagangan ini semula dimaksudkan untuk menganekaragamkan sumber pendapatan petani. Awalnya tanaman perdagangan ini hanya ditanam di sebagian kecil lahan, yaitu di bagian paling rendah, tanpa menghilangkan tanaman pangan dari ladang atau kebun penduduk. Namun setelah terbukti bahwa tanaman perdagangan bisa dengan cepat mendatangkan uang, banyak petani memperluas tanaman perdagangan ini sampai ke seluruh ladang. Pertanian tanaman pangan dengan sistem terasering ini pada akhirnya hanya menjadi teknologi transisi antara sistem perladangan berpindah ke budidaya tanaman perdagangan.

Sejak awal 1970-an, oleh pemerintah daerah setempat budidaya tanaman perdagangan dijadikan usahatani alternatif untuk mengatasi rawan pangan dan sekaligus mencegah kecenderungan perluasan perladangan. Namun dalam perkembangannya justru berbalik menjadi salah satu faktor penyebab beralihnya kegiatan perladangan ke arah hutan tutupan. Budidaya tanaman perdagangan menimbulkan masalah baru dalam pelestarian lingkungan alam. Hutan berubah menjadi kebun cengkeh dan kakao (R Dewa 1993).

Penanaman kakao semakin meluas dengan diperkenalkannya kakao hibrida, 1982, oleh pemerintah setempat guna menunjang peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Perladangan semakin merambah ke puncak-puncak gunung dan mengancam kawasan hutan yang semestinya berfungsi sebagai daerah penyangga sumber-sumber air di lereng-lereng gunung. Penanaman kakao ini pun tidak disertai dengan upaya konservasi seba¬gaimana telah diperkenalkan sebelumnya. Sistem terasering melalui ’lamtoronisasi’ telah ditinggalkan semenjak lamtoro diserang hama kutu loncat. Pemerintah provinsi NTT pada saat itu menginstruksikan agar seluruh lamtoro di NTT ditebang, tanpa memberikan alternatif tanaman konservasi pengganti.

Kini kakao —sebagai komoditi unggulan di Sikka— telah diserang hama penyakit dan tiga tahun terakhir ini tak lagi menghasilkan. Hujan berlebihan membuat cengkeh juga tidak berbunga dan harga vanili sudah jatuh, dari Rp300.000/kg menjadi Rp15.000–Rp25.000/kg. Kini, bukan hanya Sikka tapi juga mayoritas daerah NTT, menghadapi masalah serius dalam hal kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas. Akankah masyarakat NTT, khususnya Sikka akan mengambil pelajaran dari seluruh proses revolusi pertanian ini? Belum bisa dipastikan.

Yang sudah pasti adalah bahwa perubahan pola konsumsi pangan yang didorong oleh perubahan sistem pertanian turut andil dalam melahirkan dan memperluas masalah gizi buruk. Bukan hanya di Sikka, tapi juga di sebagian besar wilayah NTT. Anak-anak yang dulunya memperoleh makanan beragam (jagung, ubi, pisang, kacang-kacangan) sebagai makanan pokok, kini lebih banyak makan nasi atau bubur kosong tanpa sayur apalagi lauk. Pemiskinan telah merampas “7 piring 8 mangkok” dari kehidupan anak-anak di Sikka dan daerah NTT lainnya.**

Acuan

Remigius Dewa. 1993. 'Perubahan Pranata Pengelolaan Lahan pada Komunitas Peladang di Nusa Tenggara Timur: Kasus Lio dan Iwanggete di Flores'. Dalam Ekonesia: A Journal of Indonesian Human Ecology, edisi bulan Mei.

Ilya Moeliono and Ben Polo Maing. 2004. The Riung Conservation Area in Flores, Indonesia: Lessons from Failure in Improving Governance, Managing Conflicts, and Inducing Institutional Reform, Paper to be presented at the 10th IASCP Biennial Conference in Oaxaca, Mexico, 9-16 August 2004.

J. K. Metzner. 1976. Lamtoronisasi: An Experiment in Soil Conservation. Bulletin of Indonesian Economic Studies: Vol 12, Number 1/March 1976.

2 comments:

Anonymous said...

Ibu Palupi, setelah membaca artikel anda, secara tidak langsung saya juga hendak membandingkan hal-hal yang sedang diusahakan dan dilakukan di Papua, khususnya Merauke. Seorang pemuka agama setempat secara langsung dan terbuka menceritakan dalam sebuah open forum bulan April 2006 saat fund raising untuk Papua tentang apa yang dilakukan di Merauke. Tanpa menyadari karena entah bermaksud baik karena merasa makanan dari Jawa lebih bergizi atau terlalu banyak pendatang yang doyan makan nasi, akhirnya mereka berusaha mengubah typical diet orang Papua, mengubah tata kehidupan "natural" mereka. Alangkah baiknya sebelum terlalu "terjerumus" hal2 ini dapat disampaikan beserta detail study-nya karena saya rasa pemuka agama yang berpengaruh ini mudah dicapai.

Anonymous said...

Sangat menarik informasi tentang masyarakat di Sikka NTT. Tampaknya kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di banyak tempat di republik tercinta ini. Mungkin dengan satu dua tangan, kita tidak akan mampu untuk mengubah keadaan. Hanya dengan terbangunnya kesadaran akan betapa rakusnya praktik ekonomi kapitalisme yang mengantarkan bangsa ini terjerembab ke jurang kehancuran, kita belajar introspeksi dan mengendalikan diri. Meski tidak begitu berarti, tapi kita dapat memberi kontribusi untuk tidak memperparah keadaan di ibu pertiwi. Kalau boleh tanya, siapakah mbak yanti ini ?,... Tk.

Post a Comment