27 November 2006

Di Balik Pengalihan Saham Lapindo

Reslian Pardede

SEHUBUNGAN dengan penjualan saham PT Lapindo Brantas Inc. yang dimiliki PT Energi Mega Persada, Tbk (yang mayoritas sahamnya dimiliki keluarga Bakrie) kepada Freehold Group (perusahaan investasi yang berkedudukan di British Virgin Island), Jusuf Kalla menyatakan bahwa “Lapindo tetap bertanggung jawab” (Kompas, 18/11/06). Ia menambahkan, “Lapindo-nya kan tidak pergi? Yang jelas, yang bertanggung jawab kepada negara dan masyarakat adalah Lapindo-nya meskipun pemiliknya (berganti-ganti). Apalagi ada keputusan presiden yang menetapkan kerugian itu." Semudah itukah? Bisakah keputusan presiden membatalkan undang-undang, dalam hal ini UU No1/1975 yang menyatakan “pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya”? Dan bukankah secara legal Freehold Group bisa saja membiarkan PT Lapindo Brantas Inc. (selanjutnya disebut Lapindo) bangkrut dan meninggalkan biaya penanggulangan pada pemerintah?

Siapa investor yang berada di belakang Freehold Group? Tidak sulit menebak siapa di belakang Freehold meskipun tidak mudah membuktikannya. Mengingat belum ada tanda-tanda kalau lumpur akan berhenti dan kemungkinan membengkaknya biaya penanggulangan, sulit membayangkan ada pihak yang mau membeli perusahaan yang sedang dililit masalah seperti Lapindo. Ketidakpastian dan potensi kerugian terlalu besar dibanding potensi manfaat yang ada di blok Brantas seperti yang diklaim PT Energi Mega Persada (PT EMP) dan Freehold Group dan yang menjadi alasan transaksi penjualan Lapindo. Selain itu, penjualan saham kali ini merupakan upaya kedua PT EMP yang memiliki 100% saham Lapindo melalui PT Kalila Energy dan PT Pan Asia Enterprise. Sebelumnya PT EMP sudah menjual sahamnya di Lapindo ke Lyte, Ltd., juga perusahaan yang dimiliki keluarga Bakrie dan berkedudukan di Amerika Serikat, yang dalam prosesnya diubah menjadi Bakrie Oil and Gas, Ltd. Namun Bapepam menolak transaksi ini. Meskipun bisa ditebak, siapa investor di balik Freehold tetap tidak mudah dibuktikan karena bisa saja disusun kepemilikan yang berlapis sehingga meskipun investor di Freehold bisa diketahui, belum tentu itu investor yang sesungguhnya.

Cara seperti ini, membuat kepemilikan berlapis, mudah sekali dilakukan dengan menggunakan perusahaan yang didirikan di negara-negara seperti Cayman Islands, Cook Islands, British Virgin Islands, dan lain-lain. Perusahaan offshore tersebut disebut SPV atau special purpose vehicle yaitu entitas atau perusahaan yang sengaja dibentuk untuk tujuan transaksi khusus seperti pada sekuritisasi hutang (securitization) misalnya. Maksud awal pembentukan SPV adalah untuk mengisolasikan resiko dan melindungi investor. Namun SPV juga bisa digunakan untuk tujuan perpajakan (baca menghindari pajak) dan pada akhirnya untuk menghindari peraturan. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pelaku bisnis Indonesia bahwa banyak perusahaan yang pada saat krisis ekonomi mengalami gagal bayar (default) menggunakan SPV untuk membeli kembali surat hutang mereka dengan harga yang sangat murah. SPV ini bisa lebih dari satu. Akibatnya sulit melacak siapa di balik SPV tersebut. Ini akhirnya merugikan investor atau pemegang surat hutang lainnya termasuk BPPN pada saat itu ketika terjadi restrukturisasi hutang karena emiten (perusahaan yang mengeluarkan surat hutang) melalui SPV-nya telah menjadi pemegang mayoritas dari surat hutangnya sendiri. Transaksi “legal tetapi esensinya melanggar hukum” seperti ini adalah transaksi bisnis yang jamak terjadi di Indonesia.

Oleh karena itu, dalam kasus ini kepemilikan Lapindo menjadi sangat penting karena akan membawa konsekuensi terhadap siapa penanggung jawab biaya penanggulangan bencana lumpur panas di Kecamatan Porong, Jawa Timur. Menyatakan Lapindo, sebagai perusahaan, sebagai pihak yang bertanggungjawab terlepas dari pemiliknya bisa menyesatkan. Ini juga menjadi alasan di balik larangan Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) atas perubahan kepemilikan di Lapindo meski diajukan dengan alasan untuk melindungi pemegang saham minoritas di PT EMP yang total asetnya USD 850 juta. "Yang mau beli, siapa pun, tetap tidak bisa, mengenai siapa yang akan beli, sudah tidak relevan lagi," kata Ketua Bapepam Fuad Rachmany (9/11/2006). Ini tentunya untuk mencegah trik pengalihan tanggungjawab biaya yang besarnya masih dalam estimasi. Untuk membiayai sebagian dari total estimasi biaya penanggulangan sebesar USD 140 – 170, Lapindo sendiri memperoleh pinjaman USD 30 juta dari PT Minarak Labuan, perusahaan milik Bakrie Group. Lapindo masih harus membayar USD 30 – 40 juta sesuai dengan porsi 50% kepemilikannya di blok Brantas. Itu pun kalau biaya tidak membengkak lagi.

Namun larangan Bapepam ini pun mungkin tidak akan mencegah Lapindo atau pihak-pihak terkait untuk melepaskan diri melalui jalur hukum yang dengan pendekatan formal prosedural justru seringkali memberi jalan keluar bagi pihak yang bermasalah. Beberapa tahun yang lalu pemerintah Indonesia sendiri pernah kalah di badan arbitrase internasional dalam kasus Karaha Bodas (Pertamina). PT Medco Energi (pemegang 32% blok Brantas) yang juga akan menanggung biaya penanggulangan saat ini sedang mempersoalkan Lapindo ke badan arbitrase internasional. Mungkinkah sekali lagi kita akan menyaksikan bagaimana sepak terjang perusahaan yang bermasalah melepaskan diri melalui aturan hukum?**

2 comments:

JEFFRY LATUMAHINA said...

Analisanya menarik, usul saya : tulisan ini dipublikasi-kan segera ke berbagai media sedemikian rupa sehingga informasi berharga ini dapat diketahui oleh masyarakat banyak. Viva Justitia.

Yanuar Nugroho said...

setuju dengan bung jerry!

Post a Comment