09 November 2006

Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat ..

Our Publication

Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat:
Problem Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia di Singapura, Januari 2006.










Buku ini memaparkan kepada pembaca, Singapura merupakan salah satu negara tujuan migrasi TKI, khususnya para perempuan. Banyak orang berpandangan negeri jiran ini relatif lebih aman daripada Malaysia. Namun, data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) berbicara lain, selama tahun 1999 sampai Januari 2004 menunjukkan, tercatat 114 Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia di Singapura tewas akibat bunuh diri, kecelakaan kerja maupun sebab-sebab lain.


Komentar dalam resensi dari Rohman Satriani Muhammad, Anggota Forum Penulis Pemuda Pembebasan. Tinggal di Kabupaten Bandung, dalam harian Pikiran Rakyat, 30 Oktober 2006


Ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi. Tiga kata inilah yang mungkin mewakili kasus menyedihkan yang menimpa Rahayu, pekerja rumah tangga di Singapura asal Banyumas. Rahayu hanyalah salah satu dari ribuan, bahkan ratusan ribu perempuan pekerja/buruh yang bekerja di luar negeri (Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan lain-lain). Betapa kejamnya perlakuan yang ditimpakan kepada Rahayu. Ancaman pembunuhan, pemerasan, makian, direndahkan martabatnya, gaji tak dibayar, dan sebagainya. Rahayu adalah seorang perempuan dan dari keluarga miskin. Alasan karena perempuan, miskin, dan lemah inilah yang seringkali dijadikan dalih penindasan.

Dikutip dari artikel karya
Nur Ahmad yang diterbitkan oleh Rahima: Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan dalam rahima.or.id rubrik Fokus. Kutipan di atas dituliskan setelah penulis mengutip kutipan yang termuat dalam buku Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat ... yang memuat kutipan atas ujar seorang buruh migran .. (h.134)

“Di majikan ini, setiap kali saya melakukan kesalahan,
majikan selalu ancam akan bunuh saya.
‘Saya bunuh kamu, kerja tidak betul’, begitu katanya.
Suatu kali karena saya ketakutan akan dibunuh, saya lari ke kedutaan.
Di kedutaan, agen dipanggil. Dari kedutaan saya dibawa kembali ke agen.
Di depan orang kedutaan, agen berjanji akan memanggil dan memarahi majikan.
Kalau mau ganti majikan, dia akan carikan. Begitu katanya.
Saya pikir, saya jauh-jauh dari Indonesia ingin sukses.
Sampai di agen, ternyata majikan sudah menunggu.
Di tempat agen, saya dimarahi oleh majikan dan agen.
Mereka bilang, ‘Kamu kurang ajar, tidak tahu diuntung.
Kalau tahu kamu bakalan ngadu ke kedutaan, saya bunuh kamu betulan.’
Kemudian majikan buka dompet.
Dia bayar gaji saya, kalau dihitung semuanya Rp. 8,9 juta. Gaji saya itu diserahkan ke agen.
Di depan saya, majikan bilang ke agen, ‘Nih uang gaji dia, murni gaji dia.
Saya serahkan untuk kamu pakai’.
Saya hanya disuruh lihat, padahal itu hak saya.
Saya dipulangkan ke Indonesia tanpa uang sepeserpun.
Demi Allah, saya pulang hanya bawa satu baju,
dan pakai sandal jepit, seperti orang mau ke pasar.”

(Rahayu, Banyumas, Februari 2005)


No comments:

Post a Comment