06 December 2006

KTP dan Korupsi

Savitri Wisnuwardhani

AKU ke kelurahan Tebet Timur, Jakarta untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Lengkap dengan semua dokumen yang dibutuhkan. Aku melewati antrian panjang dan melihat dengan mata sendiri bahwa setiap orang dikenai biaya Rp10.000 untuk memperoleh KTP. Aku jadi ragu-ragu, apakah benar aku diharuskan membayar? Tiba giliranku dipanggil. Setelah petugas memeriksa dokumen yang aku bawa, tibalah pada pernyataan yang ingin aku hindari, “Mbak, biayanya Rp10.000 dan dua minggu lagi selesai.” Ia berbicara dengan gaya yang santai seolah-olah pemerasan itu hal biasa. Aku dengan percaya diri berbicara, “Kan tidak ada peraturan yang menyebutkan harus membayar? Tolong Bapak sebutkan peraturan mana yang mengharuskan membayar!”

Apakah benar pemerintah lewat sebuah peraturan telah menggratiskan pembuatan KTP? Apakah penerapan aturan mengenai KTP cuma-cuma ini memang menjadi program pemerintah kota Jakarta? Ataukah hanya sebatas gincu dan tidak dijalankan?
Bukankah KTP merupakan kartu penting yang wajib dimiliki oleh masyarakat yang berdomisili di satu daerah. KTP berfungsi sebagai tanda identitas seseorang. Maka fungsi KTP menjadi kunci dalam banyak urusan. KTP juga merupakan penanda pengakuan atas kewarganegaraan seseorang oleh negara. Dengan memiliki KTP seharusnya hak-hak seseorang menjadi terlindungi. Begitu pentingnya KTP sampai orang desa yang tinggal di kota-kota harus rela pulang kampung untuk mendapatkannya. Atau mereka harus pergi ke kelurahan di kota tersebut untuk mengurus selembar kartu identitas barunya.

Tapi itulah pengalaman pribadiku ketika mengurus KTP di Jakarta. Aku seorang pendatang di Jakarta tahun 1999. Sebelumnya selama di Jakarta aku menggunakan KTP Surabaya dan belum pernah melapor ke kelurahan setempat. Padahal menurut Perda No 4/2004, setiap pendatang harus melaporkan diri ke kantor kelurahan setempat. Apabila melanggar akan dijatuhi hukuman sanksi pidana kurungan maupun denda. Untung nasib baik berpihak padaku sehingga tak sempat menjadi korban operasi yustisia kependudukan (OYK).

Pada 2005 aku memutuskan untuk menjadi warga Jakarta. Kulengkapi identitas diriku dengan membuat KTP Jakarta di kelurahan Tebet Timur. Sebelum aku mengurus pembuatan KTP tersebut, banyak teman yang bilang bahwa untuk mengurus KTP aku harus mengeluarkan minimal uang Rp50.000 bila ingin proses pembuatannya cepat. Namun jika tidak ingin cepat, maka paling-paling kita mengeluarkan uang Rp25.000. Angka yang terakhir hampir sebanding dengan upah buruh pabrik yang seharian bekerja.

Sebelum ke kelurahan, aku cek dulu kebenaran informasi ini dengan melihat peraturan daerah. Ternyata Perda Jakarta No 3/1999 tentang Retribusi Daerah jo Perda Provinsi DKI Jakarta No 7/2000 tentang Perubahan Pertama atas Perda DKI Jakarta No 3/1999 tentang Retribusi Daerah menyatakan bahwa "biaya KTP adalah Rp 0,- atau gratis." Selain itu, pemda Jakarta lewat website-nya juga menginformasikan bahwa pengurusan KTP gratis.

Jadi? Apakah teman-temanku membohongiku? Atau mereka dikibuli petugas pemerintah daerah? Jika yang kedua benar, aku jadi teringat betapa kasihan warga miskin yang cari duit saja sulit dan mereka harus dikibuli lagi.

***

SETELAH aku berusaha mempertanyakan pungutan liar itu, suara petugas tadi meninggi dan tetap bersikukuh memintaku membayarnya. Aku juga bersikukuh tidak mau membayar. Semua mata sampai memandang ke arahku dan petugas kelurahan itu. Aku tahu yang ada di benak mereka adalah kalimat: “Kenapa tidak mengikuti kebiasaan yang ada? Toh hanya membayar Rp10.000." Aku berusaha melawan karena aku sadar itu adalah korupsi. Apabila dibiarkan maka akan banyak terjadi korupsi lain di kelurahan Tebet ini. Aku tetap ngèyèl meskipun takut.

Namun kengèyèlanku ini akhirnya kandas juga. Karena khawatir akan terjadi keributan hanya gara-gara uang Rp10.000. Aku dengan terpaksa membayar. Namun aku jadi merasa bersalah. Aku telah masuk dan membiarkan praktek korupsi terjadi lagi di masyarakat.

SADAR atau tidak, kebiasaan korupsi akhirnya menjadi bagian dari diri kita. Kita ikut membentuk kebiasaan itu. Kebiasaan ini bermula dengan birokrasi dalam pemerintahan yang berbelit-belit dan lama. Masih ingatkah Anda iklan rokok di layar kaca yang melukiskan seorang laki-lagi yang datang ke kantor pemerintah untuk memperoleh sebuah cap? Petugas tak segera menjatuhkan capnya ke kertasnya meskipun alatnya sudah di tangan. Di depan hidung si pencari cap, petugas itu merokok-rokok dan tertidur. Cap tak segera jatuh ke kertas. Menurutku itu adalah ilustrasi mengenai parahnya birokrasi di Indonesia. Berbelit-belit, lama dan tidak informatif . Akhirnya mendorong masyarakat mencari cara pintas, cepat walaupun butuh biaya mahal. Padahal apabila pelayanan birokrasi mudah dan cepat, maka korupsi tidak akan menjadi kebiasaan.

Sampai kapankah korupsi ini tetap ada? Menurutku korupsi tidak akan hilang bila tidak ada perubahan sistem dan kebiasaan yang kuat dari individu yang terlibat di dalamnya untuk melakukan perubahan.**

3 comments:

andreasharsono said...

Saya kira Rp 10,000 masih murah. Minggu lalu, saya membayar Rp 50,000 dan sekitar lima tahun lalu membayar Rp 600,000 di daerah Pondok Indah.

Intinya, selama elite Jakarta masih sibuk dengan aturan-aturan KTP dan kontrol penduduk macam zaman Majapahit begini, birokrasi pasti panjang. Ini butuh biaya. Mana mungkin gratis?

Anonymous said...

Di tempat lain ada instansi bukan Dinas Kependudukan yang mengeluarkan KTP= Kartu Tanda Pelacur dan memungut: awal pembuatan 35 ribu rupiah, setiap bulan minimal 10 ribu rupih (sering ditambah service gratiiiissss), elok bukan?

Anonymous said...

katanya ada peraturan baru untuk pengurusan KTP DKI di tahun 2007 ini: yaitu prosesnya makan waktu satu setengah bulan. teman2 lain kaget setengah mati, karena surat2 saya lengkap semua (termasuk surat pindah resmi dari kota asal). dan sekretaris lurahnya mematok biaya Rp. 500 ribu - katanya biar cepat keluar, padahal saya tidak pakai calo, tapi saya mempercayakan salah satu staf kakak angkat saya untuk membantu mengurusnya karena saya kebetulah sibuk sekali dan tidak sempat ambil cuti. saya lagi berpikir apakah staf kakak saya yang dikerjain atau saya yang terlalu naif mempercayakan kepada orang lain. seharusnya saya urus sendiri saja. saya akan ambil cuti dalam minggu ini mencoba menanyakan apa yang membuat mereka menipu dan mempersulit saya. apa dipikir saya buta hukum dan bisa dibodohin. saya sempat diberitahu bahwa ada sedikit remark SARA dari petugas tersebut. saya sangat kecewa sekali...ternyata mereka 'mark up' ongkos karena alasan SARA. oh my oh my ...

Post a Comment