MENANGGAPI tulisan di Kompas 23 Desember 2006 yang mengesankan bahwa adat yang membebani perempuan tampaknya sebenarnya juga didukung oleh otoritas agama Katolik di Timor, Nusa Tenggara Timur, saya merasa perlu menambahkan latar belakang berikut ini. Dan sekaligus mempertanyakan ulang: benarkah Gereja Katolik menyuburkan praktek adat-istiadat yang memberatkan dan turut merendahkan martabat perempuan?
Pada prinsipnya Gereja Katolik di Timor tidak mengijinkan perceraian, apa pun alasannya, termasuk alasan belum beresnya urusan adat-istiadat seputar mas kawin. Tampaknya Gereja belajar dari pengalaman masa lalu yang sangat kaya. Banyak perkawinan tertunda karena belum beresnya urusan mas kawin. Banyak perkawinan bubar di tengah jalan kerana mas kawin. Dan banyak pula pasangan yang belum menikah karena urusan adat belum beres walaupun mereka sudah memiliki beberapa orang anak.
Dari pengalaman para misionaris yang tak jarang juga antropolog, ada kesan Gereja ingin tetap mempertahankan nilai perkawinan sebagai sakramen. Tetapi Gereja juga tidak ingin merusak tatanan sosial budaya yang dimiliki warga masyarakat termasuk yang menyangkut urusan perkawinan.
Jalan tengah yang ditempuh adalah memberi kesempatan warga masyarakat bersama tokoh adat menyelesaikan terlebih dahulu segala urusan yang berkaitan dengan adat istiadat perkawinan termasuk mas kawin, sebelum mengikuti rangkaian urusan perkawinan sejak pendaftaran sampai ke pemberkatan. Apabila dilihat sepintas ada kesan seolah-olah Gereja menyetujui bahkan menyuburkan praktek adat-istiadat yang memberatkan khususnya mengenai penentuan mas kawin, tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Gereja justru memberikan kesempatan kepada warga masyarakat melaksanakan segala urusan adat-istiadat agar tidak menjadi halangan untuk perkawinan atau tidak dijadikan alasan untuk bercerai atau menceraikan pasangan yang sudah menikah secara Katolik. Sebaliknya Gereja menghendaki agar urusan sakramen lebih diutamakan sehingga kadang pihak Gereja mengijinkan pemberkatan pernikahan sebelum urusan adat dan mas kawinselesai sepanjang ada jaminan dari tokoh adat bahwa mereka tidak akan mengganggu perkawinan yang sudah disyahkan oleh Gereja.
Salah satu jalan tengah yang ditempuh Gereja adalah ”Gerakan Tiga Ber-” yang dilakukan di Keuskupan Atambua yang meliputi wilayah Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara.
Gerakan ”Tiga Ber-”
Gerakan Tiga Ber adalah satu gerakan yang dicanangkan oleh Uskup Atambua, Mgr. Anton Pain ratu, SVD sejak awal menjadi uskup Atambua. Gerakan ini pada intinya mengajak orang yang "berkedudukan, berpengaruh, berkuasa" untuk bersama-sama bersikap kritis terhadap praktek adat-istiadat dalam masyarakat yang cenderung memberatkan, termasuk adat perkawinan. Hasil akhir yang diharapkan adalah lahirnya kesadaran kritis warga masyarakat akan makna adat-istiadat yang dilanjutkan dengan kesepakatan pengurangan biaya dalam proses ritual adat (kenduri, pembangunan rumah suku, pesta-pesta tradisional, kelahiran, perkawinan, kematian, dsb.).
Dari penyederhanaan ini diharapkan warga masyarakat tidak terbebani oleh praktek adat yang tidak perlu, biaya atau potensi ekonomi yang dimiliki dapat dipergunakan untuk usaha produktif sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan urusan perkawinan tidak terhambat sebab urusan adat-istiadat dapat terslesaikan dengan baik.
Secara kebetulan 1986-1990 saya terlibat dalam sejumulah kampanye Tiga Ber di Atambua. Sejauh saya ketahui warga masyarakat akan sangat terbantu apabila mereka konsisten dengan prinsip ”tiga ber-” ini. Sebagai upaya kembarnya Uskup Pain Ratu juga menghimbau agar warga masyarakat mengembangkan Usaha Bersama (UB), entah dengan mendirikan kios kelontong, beternak unggas dan ternak besar, kebun tanaman bernilai ekonomi, serta Credit Union (CU).
Kebetulan sekali sebelum hijrah ke Timor saya sendiri memimpin Credit Union seluruh Jawa Tengah atas dukungan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) selama dua tahun sehingga sekelumit pengalaman itu dapat saya sumbangkan bagi gerakan Tiga Ber. Credit Union menjadi wahana pendidikan watak agar warga beranjak meninggalkan tradisi yang konsumtif ke arah hidup hemat, menabung dan berproduksi melalui tabungan dan pinjaman Credit Union, kemudian dana yang terhimpun dapat dijadikan sebagai sumber modal murah untuk melipatgandakan Usaha Bersama atau memperoleh pinjaman konsumtif untuk membiayai pendidikan anak, ketika sakit serta biaya lain termasuk menyediakan mas kawin (sepanjang Panitia Kredit menilai layak).
Para anggota CU juga mendapat pelatihan teknis kewirakoperasian yakni pelatihan yang berisi teknik usaha produktif dengan menggunakan dana dari CU. Beberala pelatihan teknis yang dilakukan antara lain: pembukuan, peternakan, pembuatan pupuk kompos, pengendalian hama ternak dan tanaman, dan sebagainya.
Singkat kata, ”Tiga Ber-” menghendaki warga masyarakat bekerja keras, hidup hemat dan menginvestasikan uangnya pada usaha produktif sehingga warga masyarakat hidup lebih sejahtera. Sementara itu adat-istiadat sebagai alat kontrol sosial tetap terpelihara dan urusan Gereja berjalan wajar. Terpeliharanya adat-istiadat yang menjunjung tinggi martabat perempuan dan cirin perkawinan Katolik yang monogami dan tak terpisahkan diharapkan akan memberi perlindungan kepada perempuan.
Bisakah dikatakan Gereja Katolik menyuburkan praktek adat-istiadat yang memberatkan dan turut merendahkan martabat perempuan? Mungkin saja, bila logika berpikir yang dipakai berbeda.
Salam dari Timor
No comments:
Post a Comment