Kalau BLT itu semula untuk “rumah tangga miskin” (RTM), nah, sekarang BLT “jenis baru” ini memang sasarannya tetap “orang miskin” namun syaratnya mereka harus “tidak miskin”. Bingung kan?
Program baru, yang disampaikan oleh tim setingkat direktorat Bappenas, Senin 15 Januari 2007, di Jakarta ini diarahkan untuk dua bidang yaitu kesehatan dan pendidikan. Siapa yang bisa memperoleh bantuan ini? Untuk bantuan di bidang kesehatan, mereka haruslah keluarga-keluarga yang memiliki 1) ibu hamil atau 2) anak usia 0 s.d. 6 tahun. Untuk bidang pendidikan haruslah keluarga yang memiliki anak-anak usia 6 s.d. 15 tahun atau lebih dari 15 tahun tapi belum menyelesaikan pendidikan dasar (SD, SMP).
Tapi anehnya tidak semua calon penerima bantuan yang telah memenuhi syarat-syarat di atas bisa mengakses program itu. Mengapa? Karena masih ada syarat-syarat berikutnya yang tak mudah dipenuhi.
Sebab, para ibu hamil itu juga harus: 1) menjalani pemeriksaan kehamilan minimal empat kali dan sudah mendapatkan supplemen zat besi, 2) proses kehamilan para ibu haruslah ditangani oleh para tenaga medis. 3) para ibu hamil itu harus mendapatkan kunjungan tenaga medis minimal dua kali setelah melahirkan.
Untuk anak-anak keluarga miskin, mereka juga harus mendapat imunisasi lengkap (BCG, DPT, polio, campak, hepatitis B bagi anak-anak berusia 11 bulan; dan pemantauan tumbuh kembang anak setiap bulan). Untuk anak-anak yang telah berusia 6 s.d. 11 bulan, mereka harus mendapatkan vitamin A dua kali setahun. Untuk anak-anak berusia 12-59 bulan, mereka harus mendapat imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang setiap tiga bulan. Dan untuk anak-anak berusia 5 s.d. 6 tahun, mereka harus mendapatkan pemantauan tumbuh kembang.
Coba pikir, orang miskin mana, terutama di daerah-daerah terpencil, bisa memenuhi persyaratan seperti ini? Jangankan imunisasi lengkap, bukankah kita semua tahu bahwa di daerah-daerah terpencil itu miskin tenaga medis dan karenanya mayoritas orang miskin pergi ke dukun untuk melahirkan anak? Program ini dapat dipastikan hanya akan menjangkau orang miskin di daerah-daerah yang tidak terpencil. Program ini juga mempersyaratkan adanya pemerintah-pemerintah daerah yang bersedia menjalankannya. Dan mereka juga harus sudah siap dengan infrastruktur yang memungkinkan program ini bisa berjalan. Program ini memang berpretensi “mengentaskan kemiskinan”, tapi hanya bisa diakses oleh orang-orang yang sesungguhnya “tidak miskin”.
Buktinya, kriteria pemilihan lokasi sasaran program didasarkan, di antaranya, pada kesediaan atau komitmen pemerintah daerah dan kesiapan mereka dalam menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Padahal problem orang miskin di daerah-daerah miskin adalah minimnya infrastruktur pelayanan kesehatan dan pendidikan serta langkanya infrastruktur transportasi. Jadi, kasihan dan malang benar orang-orang miskin yang pemerintah daerahnya tidak mau menjalankan program ini dan tidak mampu menyediakan infrastruktur pelayanan publik itu.
Memang ada sisi baiknya, yaitu bahwa pemerintah daerah didorong untuk mengembangkan alokasi dana APBD untuk sektor pelayanan kesehatan. Diandaikan para pejabat daerah berlomba-lomba putar otak dalam “mengelola” dana publik dan “mengurangi korupsi” supaya bisa memenuhi persyaratan yang berat itu. Tapi kenyataannya provinsi yang sudah teridentifikasi sebagai miskin yang sesungguhnya seperti Papua dan Nusa Tenggara Barat tidak masuk dalam daftar lokasi sasaran Bappenas. Sebaliknya, DKI Jakarta malah masuk dalam daftar. Belum lagi, hanya sebagian kecil saja dari kabupaten-kabupaten atau kota-kota di provinsi-provinsi terpilih masuk dalam daftar “ajaib” itu.
Meskipun belum dijalankan, kita bisa menebak udang jenis apa yang mengendap-endap di balik batu. Program ini tampaknya untuk menyelamatkan wajah bopeng pemerintah kita di hadapan dunia internasional dan di hadapan warga masyarakatnya sendiri. Di balik berbagai prasyarat berat itu, pemerintah sebenarnya hendak mencapai target Millenium Development Goals (MDGs), meskipun Bappenas mengelak jika program ini dikatakan untuk mencapai target MDGs. Padahal, kalau tujuannya sungguh-sungguh untuk memperbaiki program BLT —yang banyak menimbulkan konflik dan melemahkan semangat bekerja masyarakat itu— mestinya masyarakat juga benar-benar dilibatkan sejak awal tahap perencanaan program. Yang terjadi adalah bahwa program sudah dirancang dan masyarakat terpaksa menerima.
Undangan acara di kantor Bappenas 15 Januari 2007 adalah untuk membahas program BLT Bersyarat. Tapi nyatanya yang terjadi adalah justru sosialisasi program yang sudah tidak bisa diubah karena pada tahun ini juga program ajaib itu akan diujicobakan.
Ini baru dari aspek kesehatan lho .. Belum lagi aspek pendidikannya yang lebih mengharukan… Tunggu tanggal mainnya.**
1 comment:
Saya sepakat bahwa pelaksanaan program oleh pemerintah seringkali menderita masalah terlalu prematur dan menyederhanakan masalah. Hanya tulisan ini seharusnya menjadi kritikan yang diletakkan pada konteksnya. BLT jenis baru tsb adalah kategori conditional cash transfer (CCT), cukup berbeda dari BLT lama yang masuk kategori unconditional cash transfer. Perlu dipahami, apapun jenisnya, cash transfer adalah salah satu instrumen umum dalam upaya pengentasan kemiskinan di banyak negara, jadi tidak masalah, bila dilakukan dengan benar dan sesuai kebutuhan masalah. Contoh jenis conditional cash transfer yang sudah secara global disepakati keberhasilannya adalah Progressa, di amerika latin, yang menjadi inspirasi Indonesia sehingga muncul program diatas. Jadi lebih tepat menurut saya kalau kita mempelajari dahulu wacana CCT lalu menunjukkan dalam desain Program Keluarga Harapan ini bagian mana yang kurang tepat
Post a Comment