25 February 2007

Komite Penanggulangan Gizi Buruk: Dari Tingkat Desa sampai Pusat

Rekomendasi Riset Busung Lapar NTT: Apa yang Bisa Dilakukan?

BANYAK hal bisa dilakukan oleh banyak pihak untuk mengurai benang kusut persoalan gizi buruk-busung lapar. Meski berakar pada persoalan kemiskinan ekonomi, namun faktor non-ekonomi tak bisa diabaikan. Dari menelusuri persoalan di tingkat rumah tangga, komunitas dan kebijakan publik, bisa dipetakan apa yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan jutaan anak-anak yang terancam hilang itu. Di satu sisi, intervensi di tingkat rumah tangga mesti dijalankan secara terpadu dengan intervensi di level komunitas. Di sisi lain, kebijakan publik tak bisa lagi dirumuskan hanya berdasarkan orientasi pertumbuhan ekonomi tanpa perspektif keadilan dan hak asasi. Melawan gizi buruk-busung lapar tak bisa dilepaskan dari komitmen kuat untuk membuat kebijakan publik yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar warga, dengan prioritas pada kelompok miskin dan perempuan.

Masyarakat, betapapun masih dalam lingkup kecil, mulai mencari peluang-peluang alternatif dan menjalankan terobosan-terobosan untuk turut terlibat dalam mengatasi persoalan gizi buruk-busung lapar. Di NTT sendiri, berbagai pihak telah bekerja untuk menanggulangi masalah ini. Pemerintah daerah, NGO, komunitas agama, dan lembaga/badan/NGO internasional adalah pihak yang selama ini telah terlibat dalam kerja-kerja penanggulangan gizi buruk-busung lapar dengan dana ratusan milyar rupiah. Meski banyak pihak telah bekerja dengan dana yang tidak sedikit, namun banyak pihak juga menilai, belum tampak ada tanda-tanda NTT berubah ke arah lebih baik. Ini mengisyaratkan, ada yang salah dengan pendekatan yang selama ini dilakukan. Setidaknya ada tiga masalah mendasar yang teridentifikasi dalam studi ini, yang disadari atau tidak, telah berdampak pada lemahnya efektivitas penanggulangan gizi buruk: (1) Lemahnya kerjasama dan koordinasi di antara berbagai pihak yang terlibat; (2) Pendekatan yang condong emergensi-kuratif-jangka pendek tanpa disertai program-program strategis yang berorientasi preventif-jangka panjang; (3) Diabaikannya potensi dan sumber daya komunitas lokal.

Diskusi yang dilakukan para peneliti bersama para pemangku kepentingan di provinsi NTT dalam berbagai forum, berhasil merumuskan alternatif-alternatif intervensi yang mungkin dilakukan. Diskusi itu juga menyimpulkan, detil intervensi yang direkomendasikan dalam studi ini bisa dilakukan secara lebih efektif, efisien dan berkelanjutan apabila disertai atau didukung oleh sebuah sistem atau mekanisme kerja bersama. Forum akademisi, forum komunitas agama dan NGO di provinsi NTT yang terlibat dalam pembahasan rekomendasi mengajukan sebuah alternatif sistem kerja bersama dalam bentuk KOMITE penanggulangan gizi buruk. Komite ini direkomendasikan untuk dibentuk mulai dari level desa, kabupaten, provinsi dan pusat, dengan anggota-anggotanya mencakup berbagai pihak dalam masyarakat yang sudah atau potensial terlibat dalam kerja-kerja penanggulangan gizi buruk-busung lapar, seperti: pemerintah, NGO, komunitas agama dan pihak lain yang mendukung. Pemerintah, NGO, dan komunitas agama inilah yang telah dan sedang terlibat dalam penanggulangan gizi buruk di NTT, selain lembaga/badan internasional. Mereka ini memiliki kekuatan dan sumber daya yang bisa saling sinergis dan komplementer. Melalui KOMITE ini seluruh sumber daya yang ada bisa disatukan dan didayagunakan secara lebih efektif, efisien, berdampak luas dan berkelanjutan. Dalam KOMITE ini pula dapat dirumuskan sistem penanggulangan gizi buruk-busung lapar yang berorientasi tidak hanya kuratif-jangka pendek tetapi juga preventif-jangka panjang. Sistem kerja bersama dalam bentuk KOMITE atau apa pun namanya, dinilai berpeluang untuk mengatasi persoalan lemahnya koordinasi, lemahnya pendekatan dan diabaikannya potensi dan sumber daya komunitas lokal dalam mengatasi masalah. Dalam komite ini pula detil intervensi terpadu yang bisa dilakukan mulai dari level rumahtangga, komunitas, sampai dengan kebijakan publik bisa lebih diwujudkan.

Akhir kata, gizi buruk-busung lapar tidak lahir dari penyebab tunggal. Karenanya penyelesaian gizi buruk-busung lapar menuntut kerja bersama semua pihak dalam kerangka kerja jangka panjang. Kerja bersama ini bukanlah angan-angan yang jatuh begitu saja dari langit. Kerja bersama semacam ini pernah ada (dan di beberapa tempat masih berjalan) dan sudah terbukti membawa hasil. Sejarah keberhasilan NTT meraih kejayaan di masa silam dan dikenal dunia internasional karena kreativitasnya dalam mengembangkan sistem pertanian agroforestri, adalah sejarah kerja bersama antara pemerintah, NGO dan komunitas agama. Pengalaman mengajarkan, kerja sendiri-sendiri rawan korupsi. Entah korupsi material atau pun cara pandang. Di saat negeri ini dihadang oleh beragam persoalan dan keterbatasan, mempertahankan kerja sendiri-sendiri sama artinya dengan mempertahankan kebodohan.***

1 comment:

Anonymous said...

selamat malam. Komite Gizi Buruk dan Busung Lapar perlu dibentuk sesegera mungkin, tetapi harus diisi oleh orang yang berkapasitas cukup dan punya komitmen tinggi sebab kebanyakan Komisi di Indonesia termasuk "Komisi A" dan komitenya "Komite B" (maaf komisi A=amplop, komite B=bebas, habuis dibentuk selesai, bebas).
Mari bergandengan tangan memulai yang baik dengan hati yang bersih.
Salam

Post a Comment