27 February 2007

Seharusnya Lebih Memerdekakan


MEREKA cukup membantu kita. Ada banyak hal yang mereka kerjakan. Persoalannya, dilihat dari besaran dana yang dikeluarkan dan hasil kongkritnya di masyarakat belum seimbang. Karena itu saya sering katakan orang menjual kemiskinan NTT untuk kepentingan tertentu.
(Gubernur Piet A. Tallo, dalam audiensi dengan tim peneliti dan Forum Warga Nusa Tenggara Timur [NTT], Kupang, 16/2/2007)

PERNYATAAN itu disampaikan Gubernur untuk menyoroti kiprah NGO/lembaga/badan PBB/badan pemerintahan internasional yang bekerja di sejumlah kecamatan dan desa di NTT. Dengan alokasi dana masuk ke NTT sepanjang tahun 2004, misalnya, yang mencapai lebih dari Rp 119 miliar, belum tampak adanya perubahan berarti di NTT. Wabah diare, gizi buruk, busung lapar, kekurangan air bersih, malaria, dan kasus-kasus lain terus saja terjadi.

Padahal dalam catatan Bappeda Provinsi, sudah sejak 1983, NTT mendapat intervensi bantuan dari luar. Ada lebih dari 20 lembaga internasional yang menyalurkan dana ke NTT. Dalam kurun waktu 1994-2000, misalnya, bantuan disalurkan untuk banyak kegiatan, dengan prioritas pada penanganan masalah air dan sanitasi. Dalam kurun waktu 2001-2004, bantuan cenderung terkonsentrasi pada kegiatan yang mengarah ke pengembangan ekonomi. Sementara pada kurun waktu 2005-2006, arah bantuan mengalami sedikit pergeseran. Bidang kesehatan mendapat prioritas, dengan kegiatan condong terfokus pada pemberian makanan tambahan, sedikit menyentuh penanganan penyakit dan kesehatan reproduksi.
























Kini, efektivitas bantuan mulai dipertanyakan, tidak hanya oleh pemerintah lokal tetapi juga masyarakat di NTT. Tiga hal mendapat sorotan: (1) kinerja NGO/lembaga/badan internasional. Besaran dana yang disalurkan tidak sepadan dengan hasil yang tampak di masyarakat. Belum ada mekanisme evaluasi dan monitoring dari pihak pemerintah pusat dan daerah terhadap kinerja, pendekatan dan dampaknya dalam masyarakat. Belum ada transparansi; (2) problem koordinasi dan komunikasi antara lembaga/badan/NGO internasional dengan pemerintah dan lembaga lokal. Terjadi tumpang tindih program dan ketidakmerataan wilayah kerja sebagai konsekuensi dari lemahnya koordinasi dan komunikasi; (3) pendekatan dalam menyalurkan bantuan, yang cenderung berkerangka emergensi jangka pendek. Dalam penanggulangan gizi buruk-busung lapar di NTT, pendekatan yang dilakukan lembaga-lembaga internasional tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan pemerintah. Semua dijalankan dalam kerangka emergensi jangka pendek (jangka waktu rata-rata 1-2 tahun):


Program panti gizi (
feeding centre). Ada lembaga internasional yang membangun panti gizi untuk menanggulangi masalah gizi buruk-busung lapar. Setelah satu tahun berjalan, panti gizi itu tidak jelas keberlanjutannya setelah pengelolaannya diserahkan pada dinas kesehatan setempat. Dinas kesehatan merasa kewalahan untuk menjalankan program ini karena belum memiliki persiapan matang, baik dalam hal pendanaan maupun manajerial pengelolaan. Penanggulangan anak gizi buruk-busung lapar dengan pendekatan panti gizi seperti ini memang diragukan efektivitas dan keberlanjutannya karena kerangka kerjanya yang emergensi.






















Program pemberian makanan tambahan (PMT) dalam bentuk makanan kemasan dan instan. Ada juga lembaga internasional yang menyalurkan bantuan senilai milyaran rupiah dalam bentuk makanan instan dan makanan kemasan, yaitu mie, bubur, dan biskuit. Meski diperkaya dengan beragam zat gizi, namun bantuan semacam ini bukan hanya tidak berlanjut tetapi juga membawa dampak negatif dalam masyarakat. Bantuan ini membentuk sikap masyarakat yang menganggap makanan kemasan (mie) lebih bermutu dan bergengsi daripada makanan lokal. Di beberapa lokasi studi terlihat gejala, keluarga-keluarga lebih suka menjual hasil panennya untuk dibelikan mie atau bubur instan. Padahal tidak kurang makanan lokal yang bisa dijadikan sebagai bahan PMT. Sementara tak ada program lanjutan pasca pemberian PMT dengan makanan instan tersebut. Setelah mie, bubur instan dan biskuit dibagikan, selanjutnya apa? Ini yang belum terjawab.

Politik bantuan cenderung dikuasai semangat "proyekisme" dari berbagai pihak. Pendekatan ini berangkat dari pemahaman yang melihat kondisi alam NTT yang kering dan rawan bencana. Padahal kearifan dan penerapan khas sistem pertanian masyarakat NTT yang berciri agroforestri, campur-sari dan selaras alam adalah fakta sejarah dan pola budaya masyarakat yang terbentuk oleh kondisi alam itu sendiri. Sayangnya, kebijakan pembangunan yang berorientasi kepentingan jangka pendek dan tekanan pertumbuhan penduduk, cenderung menghancurkan kearifan dan penyesuaian lokal ini. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat NTT memang membutuhkan "intervensi" atau "bantuan" yang dapat mendukung kekuatan lokal dalam mengelola bencana (alam dan sosial). Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Bantuan cenderung melemahkan kapasitas komunitas untuk mengelola bencana. Lemahnya kapasitas sosial masyarakat NTT akibat pendekatan pembangunan dan politik bantuan yang bersemangat "proyekisme" ini cenderung dijadikan lahan subur bagi pemerintah dan berbagai pihak untuk terus menjalankan program yang emergensi sifatnya. Padahal pendekatan pembangunan dan politik bantuan yang bersemangat "proyekisme" ini sangat rentan terhadap persoalan korupsi.**

No comments:

Post a Comment