24 March 2007

Apa gunanya pemerintah untuk kaum miskin di Jakarta?

PULUHAN tahun warga miskin kota Jakarta memperjuangkan pengakuan bagi keberadaan mereka. Dari jadi langganan penggusuran, berupaya mendirikan rumah baru, membuat jalan, mengusahakan air bersih sampai listrik mereka usahakan sendiri.

“Pengalaman digusur sudah saya alami sejak kecil. Dulu Tramtib langsung menggusur dengan alat berat. Kami menyingkir dan menyelamatkan barang. Kami kembali lagi setelah aparat pergi,” kata Yati, salah satu warga RT 015/RW02 Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, 24 Maret 2007.

Perjuangan selama 20 tahun untuk memperoleh pengakuan secara administratif dari kelurahan tidaklah mudah. Berbagai jalan mereka lalui. Termasuk menyiapkan infrastruktur sendiri.

“Dulu listrik masuk ke daerah ini karena seorang warga memasang listrik dengan membeli tiang dan peralatannya sendiri. Lalu kami menumpang. Setelah itu barulah RT ini dipasangi listrik,” tambah Yati sambil mengingat saat mereka harus iuran untuk membuat sumur pompa beramai-ramai. “Pengerasan jalan pun swadaya masyarakat dan dibantu oleh sebuah organisasi pada tahun 1986.”

Pengalaman digusur sudah saya alami sejak kecil. Dulu Tramtib langsung menggusur dengan alat berat. Kami menyingkir dan menyelamatkan barang. Kami kembali lagi setelah aparat pergi.


Perempuan yang tinggal di pinggir kali dan sering banjir tersebut menunjukkan dua buah jembatan. Menurutnya jembatan tersebut dibangun berkat bantuan dari sebuah organisasi. Jembatan ini sangat dibutuhkan tidak hanya oleh komunitas RT015 yang sangat miskin itu tapi juga komunitas-komunitas lain di sekitarnya. Kata mantan sekretaris RT ini, pengadaan sarana mandi cuci dan kakus juga dibangun oleh warga sendiri pada tahun 1998.

“Tadinya rumah kami tidak seperti ini. Dulu dari papan dan dus. Lalu kami mengumpulkan uang dan mulai memperbaiki rumah menjadi berdinding semen,” tambahnya. Menurutnya mereka memperoleh fasilitas air PAM baru pada tahun 2003 atas usaha Dekel (Dewan Kelurahan) setempat.

RT 015 mulai diakui sebagai bagian dari kelurahan Cipinang besar tahun 2000 setelah Erna Witoelar mengunjungi mereka. Pegiat lingkungan Erna waktu itu jadi menteri pemukiman dan prasarana wilayah 1999-2001. Saat ini jumlah warganya sekitar 120 keluarga. Pengakuan secara admisnistratif ini menyebabkan mereka bisa memiliki KTP, Kartu Keluarga, memperoleh pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin dan raskin.

Tapi, apakah mereka sungguh-sungguh sudah aman dan tak akan digusur lagi di masa depan? Tidak jelas. Nasib mereka tetap seperti telor di ujung tanduk. Yang jelas, mereka tak punya sertifikat. Isyu program normalisasi sungai juga sudah dihembuskan di koran-koran. (Sri Maryanti)

Click wikimapia to find where they live in Jakarta.

No comments:

Post a Comment