29 March 2007

Tiga Puluh Tahun Menggelandang

“Kalau sakit, saya jual baju buat berobat ke puskesmas. Kalau sudah tidak ada yang dijual lagi, saya tidak mau bayar. Kalau dimarahi saya lawan,” ungkapnya disertai senyuman. Wajahnya jadi lebih berkerut karena senyumnya.

Namanya Juriyah. Ia menunjukkan tiga lembar uang ribuan di tangannya. Jumlah itu yang ia peroleh hari itu hingga jam 10.00. Lantas ia memesan teh panas pada seorang pedagang.

Kalau sakit, saya jual baju buat berobat ke puskesmas. Kalau sudah tidak ada yang dijual lagi, saya tidak mau bayar. Kalau dimarahi saya lawan.


Semua pedagang kaki lima di bawah kolong jembatan layang di stasiun kereta rel listrik Tebet, Jakarta Selatan, mengenalnya. Suaranya bersemangat meskipun usianya sekarang sudah 82 tahun. Ia tinggal sebatang kara di Jakarta. Tiga puluh tahun sudah ia tak memiliki rumah dan hidup di jalanan.

Puluhan tahun yang lalu, bersama suaminya ia datang ke Jakarta dari suatu daerah di Sumatra. Tadinya mereka menyewa sebuah rumah di daerah Senen, Jakarta Pusat. Suaminya seorang tukang listrik amatiran. Meninggal dunia setelah kakinya terkena paku dan mengalami infeksi. Begitu juga anaknya semata wayang, penyakit merenggut nyawanya.

Sejak suaminya meninggal, ia tidak sanggup lagi menyewa rumah. Lalu ia menjadi pekerja rumah tangga sampai dua kali. Pada saat ia pergi ke pasar untuk belanja, sebuah mobil menabraknya. Matanya luka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Sejak itu tidak ada lagi orang yang mempekerjakannya sebagai pekerja rumah tangga. Setelah 1965 ia mulai hidup di jalanan. Tidur di sembarangan tempat dan menggantungkan hidup dari derma orang.

Sekarang ia tak bisa berjalan jauh dari satu tempat ke tempat lain. Sekarang ia sering merasa kakinya kaku.** (Sri Maryanti)

No comments:

Post a Comment