17 April 2007

Menyoal Konsep Dokter Keluarga di Indonesia

Albert Buntoro

Masyarakat sudah seharusnya bisa menjadi dokter bagi dirinya sendiri dan orang lain.


LEPAS dari semua persoalan ceriteranya dan banyaknya kritik, kutipan di sebelah ini setidaknya adalah pesan singkat yang bisa ditangkap dari film berjudul ’Patch Adam’ (1999). Sebuah kisah nyata kehidupan dan perjuangan dokter idealis yang diperankan apik oleh Robin Williams. Seorang dokter yang kritis terhadap sistem rumah sakit yang mempersulit pasien dengan biaya mahal untuk sembuh dan mendobrak sikap kaku dalam mengobati pasien.

Patch muda mempunyai impian untuk menjadikan rumah sakit sebagai tempat yang menyenangkan bagi para pasien dan mereka bisa saling menolong serta menyembuhkan. Impiannya terwujud ketika dia bersama teman-temanya mendirikan Gesundheit Institute, sebuah rumah singgah bagi yang sakit di pinggiran Virginia Barat, Amerika Serikat. Selain memberikan pengobatan gratis, para dokternya juga memosisikan diri sebagai keluarga dan tak menjaga jarak dengan pasien-pasiennya.

Karena percaya pada kuatnya kaitan antara lingkungan dan kesehatan, kebaikan, keutuhan dan kesejahteraan (wellness), saya percaya bahwa kesehatan seseorang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan keluarga, komunitas dan dunia. — dr. Patch Adam

Kehadiran Gesundheit Institute menjadi poros munculnya perombakan besar dalam dunia kedokteran di Amerika. Seorang dokter tak mengenakan pakaian kebesarannya dan tetap menjadi bagian dalam kehidupan pasien. Dia tak hanya duduk di belakang meja menunggu pasien, melainkan aktif menghubungi pasien dan keluarga guna menanyakan kesehatan. Dokter yang berperan aktif inilah yang kemudian dikenal dengan dokter keluarga. Sistem ini muncul karena ada kepercayaan dalam diri dr. Patch bahwa kesehatan individu tak bisa dipisahkan dari kesehatan keluarga, komunitas dan dunia.

Konsep dokter keluarga sudah lama diterapkan di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Dengan mengadopsi sistem yang sudah berjalan di negara maju, departemen kesehatan (depkes) menerapkan konsep dokter keluarga sebagai sebagai salah satu alternatif untuk mencapai Indonesia Sehat (IS) 2010. Sasaran jangka panjang sebagai upaya tercapainya IS 2010 adalah tersedianya satu dokter keluarga untuk 2.500 penduduk atau 500 kepala keluarga.

Targetnya setiap individu mempunyai seorang dokter keluarga yang nantinya sebagai partner dalam menjaga kesehatannya. Gagasan yang dibangun dan coba ditanamkan kepada masyarakat adalah paradigma sehat dengan konsep rumah sehat. Artinya tugas seorang dokter bukan saja menunggu dan memberikan pengobatan kepada pasien yang sakit. Sebaliknya dia melakukan tindakan preventif sebelum si pasien jatuh sakit, misalnya dengan rutin memonitor perkembangan kesehatan pasien. Dengan kata lain dia menjadi polisi sekaligus tempat curhat bagi si pasien. Dengan sistem dokter keluarga ini diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan dan perilaku hidup sehat, sehingga tingkat kesehatan masyarakat juga semakin meningkat.

Samsuridjal Djauzi, Staf Pengajar Universitas Indonesia, dalam blog pribadinya menceritakan pengalaman ketika menyaksikan layanan dokter keluarga secara gratis di daerah pemukiman (kampung dan rumah susun) di Kuba, Amerika Tengah. Menurutnya keberhasilan pelayanan dokter keluarga di sana karena didukung oleh ketersediaan air bersih dan listrik, kelengkapan fasilitas kesehatan, serta kebersihan lingkungan. Bahkan pusat-pusat kesehatan masyarakat di Kuba sudah dijadikan rujukan layanan klinik, karena sudah tersedia dokter spesialis, layanan gawat darurat dan rehabilitasi medis. Alhasil keberadaan dokter keluarga ini mampu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat Kuba. Terbukti dari data yang disampaikan Samsuridjal tentang angka kematian bayi yang hanya 5,8/1000 (Indonesia masih 30/1000), dan angka kematian ibu 31/100.000 (Indonesia masih 300/100.000). Bahkan angka kematian bayi di Kuba lebih baik jika dibandingkan dengan negara yang sedang berkembang maupun negara-negara maju seperti Amerika Serikat.

The true story of a Virginia medical student who breaks all the rules by daring to proclaim that the best medicine for patients is love, laughter and play. (Spirituality&Practice)


Sebagai suatu konsep, sistem dokter keluarga boleh dibilang ideal dalam menunjang peningkatan taraf kesehatan masyarakat. Namun dalam penerapannya — bagi Indonesia — dibutuhkan dukungan di berbagai bidang, misalnya dalam penyediaan layanan publik seperti fasilitas transportasi, air bersih, listrik dan alat-alat kesehatan. Dan untuk mencapainya dibutuhkan kerjasama lintas sektoral, termasuk sektor pendidikan guna membangun kesadaran masyarakan untuk hidup dan berperilaku sehat.

Pertanyaannya kemudian: apakah dokter keluarga di Indonesia juga akan menjangkau masyarakat menengah ke bawah seperti yang terjadi di Kuba, ataukah hanya sebagai konsumsi kalangan menengah atas di daerah perkotaan? Kita lihat saja nanti.**

2 comments:

nuritasari said...

Gagasan dokter keluarga ini menarik, tetapi rasanya masih terlalu sulit diterapkan di Indonesia selama jumlah dokter terlalu sedikit dibanding jumlah penduduk. Apalagi di negara kita dokter-dokter lebih memilih menetap di kota besar daripada di desa atau tempat terpelosok.

Di Amerika Serikat pun konsep dokter keluarga ini belum bisa dijalankan dengan sempurna. Masih banyak orang yang tak punya asuransi kesehatan dan hanya pergi ke dokter atau rumah sakit kalau terpaksa (baca:sakit). Memang berobat di klinik pemerintah tidak dipungut bayaran alias gratis tetapi si pasien harus menunggu berjam-jam (2-6 jam) untuk mendapatkan pelayanan. Dan dokter yang rajin mengontak pasien di rumah seperti di tulisan ini adalah gambaran yang sangat ideal (yang diterapkan oleh dokter-dokter di rumah sakit/klinik swasta yang dibayar asuransi). Dokter-dokter (atau petugas) di klinik pemerintah biasanya hanya mengingatkan lewat surat/telepon, jika ada appointment yang akan jatuh tempo atau jika ada kondisi darurat.

Saran saya untuk Indonesia: -perbanyak jumlah klinik kesehatan gratis/murah agar sebanding dengan jumlah penduduk.
-Layanan publik untuk jasa kesehatan harus mempertimbangkan skala sebaran, agar penduduk kota kecil tak harus pergi ke kota besar untuk mendapatkan layanan
-Tingkatkan jumlah paramedis (yang pendidikannya relatif lebih singkat dan lebih murah daripada dokter)

Salam,

Indah Nuritasari-Philadelphia

Ginawati Munandar said...

Menurut saya, sudah waktunya sistem kedokteran Indonesia menambahkan dokter keluarga. Karena dokter keluarga juga sama pentingnya dengan dokter spesialis, jadi bukan hanya sebagai diklat saja. Dan untuk memberi image kedokteran Indonesia nggak kalah dari barat. Lagi pula, apa salahnya menjadi pioner? bukankah mencoba untuk memastikan outputnya itu lebih baik daripada hanya berspekulasi dan mengekor negara berkembang lainnya yang mencoba menerapkan. Ayo, Bangkitkan semangat maju kedokteran Indonesia. Be The First!

Salam,

Gina-Yogyakarta

Post a Comment