SEBAGAI anak tanah yang lahir di Timor saya merasa malu karena para peneliti dari luar lebih dahulu berinisiatif mendalami persoalan seputar kemiskinan di Nusa Tenggara Timur (NTT), bahkan tidak hanya berhasil memahami tetapi sudah melakukan aksi.
Sebagai ungkapan rasa malu saya 'melamar' dan bergabung dengan tim kerja penelitian dari Jakarta itu, menyiapkan serangkaian kegiatan pengamatan dan diskusi tentang hasilnya. Topiknya kemiskinan, gizi kurang, gizi buruk dan busung lapar di Kupang dan di Jakarta. Tak seperti yang saya sangka sebelumnya, ternyata hal-hal yang saya temukan di lapangan sungguh mengherankan.
Pertama, ketika kami berbincang dengan beberapa orang di kantor pemerintah baik di provinsi maupun kabupaten dan di perguruan tinggi mengenai rencana akan melakukan penelitian tentang busung lapar, anehnya, respons mereka serta merta menanyakan berapa nilai proyeknya, berapa honor yang akan dibayarkan kepada orang yang terlibat atau dilibatkan?
Kedua, ada kecenderungan beberapa orang pejabat untuk mengabaikan persoalan serius tentang rendahnya asupan gizi masyarakat karena dianggap berkaitan erat dengan atau bahkan merupakan akibat dari kemiskinan. Umumnya orang beranggapan kemiskinan sendiri sudah menjadi 'trademark' orang NTT sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi. Justru aneh jika dipertanyakan, begitu pikir mereka.
Ketiga, ketika tim peneliti mempresentasikan hasil temuan kepada para pejabat pemerintah, tanggapan mereka bagi saya sungguh mengherankan. Sebab mereka mangatakan: ‘Ohhh semua itu saya sudah ngerti, dan sudah kita upayakan; anggaran tahun lalu sekian .. tahun ini sekian .. dan tahun depan kita sudah usulkan sekian ..'
Tiga hal mengherankan ini mungkin hanya saya alami sendiri. Rasanya hanya sedikit orang yang sama-sama merasa heran seperti yang saya rasakan.
Bagaimana mungkin para pejabat birokrasi dan perguruan tinggi itu justru tidak menanyakan inti persoalan yakni kemiskinan dan perwujudannya dalam bentuk masalah gizi, tapi malah menanyakan berapa duitnya? Bagaimana mungkin masih ada pejabat pemerintah dan akademisi masih menanya-nanyakan tentang duit, menganggap kemiskinan dan busung lapar sebagai persoalan usang, padahal tahun 2006 yang lalu saja sudah sebanyak 61 anak mati karenanya?
Dan puncak keheranan terjadi ketika tim peneliti melaporkan hasil risetnya. Pejabat yang dilapori serta merta mengatakan: "Semua saya sudah tahu. Tidak perlu disampaikan lagi .. Langsung saja ke persoalan berikutnya, apa yang perlu dilakukan.”
Dalam hati saya bertanya "kalau sudah tahu semuanya mengapa masih bertanya apa yang harus dilakukan? Apakah yang diketahui itu palsu atau jangan-jangan yang dimiliki merupakan pengetahuan yang menyesatkan sehingga kebijakan yang diambil juga menyesatkan? Di sini, yang saya maksud dengan kebijakan adalah keputusan pejabat publik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sekali lagi aku heran .. Mudah-mudahan ke depan keheranan saya ini tidak menular jadi kebingungan bagi orang lain, bagi rekan akademisi, pejabat pemerintah, anggota DPR(D) dan juga teman-temanku tim peneliti. :#
Salam
2 comments:
Ini yang disebut dg mental proyek. Mereka tidak peduli pokok persoalan itu apa, yang penting bisa dibikin proyek apa dan dapat duit berapa (yang dilegalkan maupun yang lewat korupsi).
Saya pikir mereka suka kalau kemiskinan dan busung lapar itu tetap ada, sehingga alasan untuk mendapatkan uang proyek juga jadi sah.
Itu tidak terjadi di NTT saja, di daerah lain juga sama. Saya pikir memang mental sebagian besar orang kita itu jahat. Ditambah hukum yang tidak tegak, klop. Homo homini lupus.
Pak Yan, apa kabar? Saya kehilangan alamat email Pak Yan sejak pertemuan kita di Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia di Unand-Padang. Bisa saya dapat alamat email Bapak kembali? Terima kasih. Malla Indra.
Post a Comment