KETIKA mendengar singkatan yang dipelèsètkan ini dalam sebuah diskusi di bulan Desember 2006 di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), telinga saya panas dan marah. Pasalnya sejak belajar SMA di Solo, Jawa Tengah, saya membayangkan kampung halaman saya sangat indah, para elitenya arif bijaksana. Dan setelah selesai kuliah saya akan kembali mengambil bagian dalam proses kesejahteraan yang akan segera nyata.
Tapi, apa yang terjadi? Satu tahun, dua tahun.. sepuluh tahun.. bahkan 20 tahun berlalu. Rambutku semakin banyak yang uban. Elit silih berganti kecuali Walikota Kupang (SK Lerick) dan Gubernur NTT (Piet A Tallo) yang selalu menduduki puncak kekuasaan. Tak satu pun harapan menjadi kenyataan. Di tengah pengharapan yang tak berkesudahan itu, sebagai orang beriman, saya dan beberapa rekan berusaha menghibur diri dengan mengatakan "tak mengapa,
penantian orang NTT belum sebanding orang Jawa menanti Satrio Piningit, datangnya Ratu Adil". Lebih tidak berarti lagi dibandingkan dengan penantian orang Yahudi akan datangnya Yesus Kristus, Juru Selamat Dunia, atau orang Muslim akan datangnya Imam Mahdi.
Di tengah penantian itu terjadilah perang saudara di Timor Portugis tahun 1975. Orang NTT di perbatasan tunggang langgang pada tanggal 11 April tahun 1976 —pada Minggu Palma— ketika pasukan Fretelin memukul mundur Resimen Pelopor dari Republik Indonesia yang menjaga perbatasan.
Porak porandalah segalanya. Hilang harta benda, hilang pula nyawa. Setelah itu banyak proyek mengalir membawa kegembiraan untuk beberapa orang dan meninggalkan duka untuk rakyat banyak sebab mereka kehilangan segalanya.
Waktu berlalu. Amukan pikiran tak juga tersalurkan. Tak banyak orang mempercakapkan apa yang terjadi. Dalam kebisuan itu beribu pasang mata menyaksikan betapa uang mengalir dari Jakarta ke daerah, mobil-mobil mewah plat merah dan plat hitam berseliweran di jalan raya hingga ke jalanan kampung. Dan tidak sedikit rumah mewah diririkan. Entah milik siapa. Konon banyak pula orang naik pangkat dari Letnan Kolonel naik bahkan menjadi Letnan Jenderal, dari pengangguran menjadi usahawan, dan sebagainya.
Akhirnya terjadi lagi duka ‘jilid kedua’, ketika terjadi jajak pendapat di provinsi Timor Timur. Semua yang terjadi dalam agenda jilid satu tahun 1975 terulang kembali, bahkan mengalami peningkatan. Lebih banyak uang mengalir, lebih banyak warga masyarakat mengalami duka, dan juga lebih banyak orang memanfaatkan kesempatan. Data yang ada memperlihatkan intensitas korupsi selama tahun 1990-an sampai 2006 meningkat tajam, tapi tak banyak orang tersentuh, baik dari kalangan pemerintah maupun swasta, termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Adakah kemajuan dan harapan untuk NTT? Salahkah singkatan-ejekan “Nasib Tak Tentu” itu? Jawabnya: "Barangkali mungkin (memang) Nasib-nya Tak Tentu". Para bupati dan mantan-mantan bupati bahkan sampai pejabat-pejabat di tingkat propinsi di NTT sangat banyak yang “bermasalah”. Rasanya lebih banyak yang terindikasi terlibat korupsi, atau setidaknya patut diduga. Sementara ada yang sudah menjadi tersangka akan tetapi belum ada kejelasan.
Pada akhirnya siapa yang akan memberikan singkatan atau akronim yang indah untuk NTT sangat tergantung dari kecerdasan memimpin dan kebeningan hati nurani para elitnya.**
1 comment:
Yah.. NTT kan juga bisa merupakan singkatan dari N-anti T-uhan T-olong... hehehe.... jadi tetaplah berharap dan optimis.
God Bless U.
Jojo Rohi.
Post a Comment