03 May 2007

Wabah Kematian di Sekitar Kita

Sri Palupi

DULU dalam masyarakat Jawa dikenal yang namanya “pageblug”. Pageblug ini semacam wabah kematian yang terjadi akibat serangan dari “makhluk tak dikenal”. Gejalanya, pagi sakit, sore harinya mati. Atau sebaliknya, sore sakit, paginya mendadak mati. Karena menyerang banyak orang, maka kusebutlah pageblug itu wabah kematian. Mereka yang terserang awalnya sakit dan meninggal dengan cepat. Gejala semacam pageblug ini, disadari atau tidak, kini tengah menghantui masyarakat. Tentu pageblug yang sekarang, beda dengan pageblug yang dikenal dalam budaya Jawa dulu.

Ada tiga wabah kematian yang menghantui kita hari-hari ini. Kusebut wabah karena kematian itu bukanlah kematian biasa, melainkan fenomenal, sebagaimana pageblug.

Pertama, kematian ratusan ribu orang akibat rentetan bencana. Dari tsunami, banjir, tanah longsor, dan sederetan bencana lainnya. Seluruh kematian ini menarik perhatian masyarakat dan menggerakkan jutaan orang untuk berkabung. Tenaga dan harta disatukan demi meringankan derita para korban. Kematian ini membuat demikian banyak orang memaknai kembali hidup mereka dengan cara baru. Bencana tsunati, misalnya, membuat manusia merasa demikian kecil. Hilang sudah keangkuhan terhadap materi. Demikian yang terungkap dari para korban yang selamat. Bencana yang menelan korban massal dalam satuan waktu tertentu itu menjadi kanal rasa duka yang memicu semangat untuk sama-sama berjuang menghadapi situasi baru. Situasi tanpa sanak kerabat dan orang-orang dekat, tanpa harta, pekerjaan dan rencana masa depan – yang semuanya musnah ditelan bencana.

Anak korban malnutrisi akut di Sumba Barat 2005Kedua, kematian yang tidak tampak menonjol tetapi meluas secara perlahan. Kematian ini tampil dalam bentuk meluasnya jumlah anak penderita busung lapar. Pada tahun 2005 jumlah anak balita penderita busung lapar yang meninggal mencapai 293 jiwa. Ini yang tercatat. Entah berapa jumlah kematian yang tak tercatat. Pada bulan Januari – Oktober 2006 tercatat 186 anak balita mati akibat busung lapar. Sementara jumlah penderita gizi buruk-busung lapar meningkat dari 1,67 juta pada tahun 2005, menjadi 2,3 jiwa pada tahun 2006. Sampai hari ini, kematian akibat busung lapar terus berlangsung meskipun tidak ada yang mencatatnya secara sistematis. Bukan hanya kematian fisik yang terjadi pada kasus busung lapar, tetapi juga kematian “generasi”. Sebab anak yang menderita busung lapar, meski bisa diselamatkan dari kematian, tetapi mereka hidup dengan otak kosong. Karena terjadi secara perlahan dan satu demi satu, kematian jenis ini tak banyak mendapat perhatian, apalagi solidaritas sosial. Lihatlah sejumlah anak-anak penderita busung lapar yang direkam media ini, tak mampu menggerakkan solidaritas masyarakat sebagaimana kematian akibat bencana.

Eko Haryanto, bocah SD dari Tegal yang mencoba bunuh diri karena tak bisa bayar biaya kegiatan ekstrakurikuler Rp2500 -- istimewaKetiga, serupa dengan jenis yang kedua, kematian ini tidak tampak menonjol, terjadi satu demi satu, tetapi sesekali berhasil menyentak masyarakat. Kematian ini tampil dalam wujud bunuh diri yang terjadi di kalangan kaum miskin. Selama enam bulan pertama di tahun 2003, misalnya, bunuh diri di Jakarta saja telah mencapai 62 kasus. Ini kasus yang dilaporkan ke polisi. Tak tercatat berapa kasus yang tidak dilaporkan. Jumlah kasus ini meningkat 300% dibandingkan tahun sebelumnya. Sampai Juni 2004 lalu, tercatat 38 kasus bunuh diri yang dilaporkan ke polisi. Kasus ini pun terus bertambah tanpa ada yang secara sistematis merekam dan mencatat. Yang membuatku tidak habis pikir, kasus bunuh diri ini juga menimpa anak-anak usia sekolah. Pada anak-anak, kasus bunuh diri meningkat 30%. Kebanyakan korbannya juga kaum miskin.

Masih belum lepas dari ingatan kita, kisah tragis bunuh diri ibu dan anaknya. Seorang ibu yang sedang hamil di daerah Koja, Jakarta Utara, misalnya, memutuskan bunuh diri, dengan membakar diri bersama kedua anaknya, Galang (7 th) dan Galuh (4 th). Dalam surat yang ia tinggalkan untuk suaminya tertulis bahwa dia sudah tidak tahan lagi menanggung kemiskinan dan melihat penderitaan anak mereka yang menderita kanker. Yang menyedihkan lagi, ketika tetangga membawa Galang yang penuh luka bakar ke rumah sakit, pihak rumah sakit menolak karena tidak ada uang jaminan. Juga seorang ibu di Malang, yang karena tak kuat menanggung beban persoalan ekonomi dan keluarga, memutuskan bunuh diri bersama empat anaknya yang masih kecil dengan meminum racun potasium. Racun itu diduga dicampur dengan air, lalu diminumkan kepada keempat anaknya. Setelah anak-anaknya tewas, sang ibu menyusul meminum racun yang mematikan itu. Peristiwa serupa pernah terjadi pada pedagang bubur di Sudirman dan pedagang kaki lima (PKL) di Halim yang memutuskan bunuh diri karena tak tahan menanggung beban hidup dan ancaman penggusuran yang terus mengejar mereka.

Semakin banyaknya warga miskin yang ambil jalan bunuh diri akibat desakan ekonomi, sepantasnya jadi perhatian. Sebab ini menandakan, hidup bersama dalam sebuah entitas bernama negara bangsa menjadi semakin tidak relevan buat kaum miskin. Padahal selama ini kaum miskin sudah teruji dalam hal kemampuannya bertahan menghadapi kesulitan. Mereka selama ini terbukti mampu bertahan di masa sulit sejak negeri ini dilanda krisis. Ketika para konglomerat dilanda depresi berat akibat krisis ekonomi, kaum miskin malah terkesan kian kreatif mensiasati kesulitan. Tapi kini? Bahkan anak-anak mereka pun sudah punya pikiran untuk bunuh diri. Gejala apa ini? Coba bayangkan, Heryanto, seorang murid kelas VI SD di Garut menggantung diri karena malu tidak mampu membayar biaya ekstrakurikuler senilai Rp 2.500. Aman Muhammad Soleh, siswa kelas enam SD di Bekasi, minum racun tikus karena belum bisa bayar uang ujian akhir. Nazar Ali Julian, 13 th, menusukkan pisau ke perutnya akibat tidak tahan menghadapi kemiskinan dan perceraian orang tuanya.

Meningkatnya kasus bunuh diri menandakan, bukan hanya krisis ekonomi yang dihadapi bangsa ini yang semakin parah, tetapi juga krisis hidup bersama kita. Solidaritas tampaknya menjadi semakin langka. Tradisi menanggung dan mengatasi masalah secara bersama dalam berbagai komunitas di negeri ini sudah luruh dan hanyut diterjang badai individualisme, materialisme, sektarianisme, dan konsumerisme.

Bukan hanya kasus busung lapar dan bunuh diri saja yang kian mencolok. Orang gila, gelandangan dan pengemis pun makin banyak kita jumpai di jalanan dan tempat-tempat umum. Mereka juga memadati kereta (KRL Jabotabek) yang setiap hari kutumpangi. Orang gila di kereta jadi bahan tertawaan dan hiburan gratis para penumpang. Dulu, aku masih bisa berkata, kalau mau belajar tentang perilaku masyarakat Indonesia, khususnya golongan ekonomi lemah, naiklah KRL Jabotabek kelas ekonomi. Dalam kondisi padat, sesak, panas dan penat, orang masih bisa ketawa, masih bisa bermain kartu, masih bisa arisan, pacaran, rujakan, dan juga masih bisa omong-omong tentang masa depan. Di situ bercampur baur masyarakat dari berbagai golongan dan para pedagang berbagai barang dan makanan. Para pedagang ini sangat kreatif dalam memanfaatkan peluang, mengemas dan menjajakan barang. Begitulah dulu aku melihat sikap dan perilaku orang miskin di Indonesia, setidaknya di Jakarta. Mereka selalu ada dalam situasi sulit, terus menerus ditekan dan digusur, tapi tetap saja kreatif dalam menyiasati hidup. Mereka tetap saja gembira dan dapat menciptakan kegembiraan di tengah desakan dan tekanan.

Tapi sekarang, apa yang terjadi dengan mereka, kaum miskin, khususnya yang di Jakarta ini? Benarkah survival system mereka sudah tak berdaya sengat? Entah mereka sudah lelah, atau senjata survive mereka sudah terlalu tumpul dan tak kuasa lagi menembus jantung sistem kota yang seolah-olah kian beradab ini? Mengapa virus bunuh diri kian mewabah di kalangan kelompok miskin? Dari dulu, kematian memang tak pernah punya daya sengat bila berhadapan dengan kaum miskin. Tak ada yang mereka takutkan untuk terus bertahan hidup, sebab mereka toh have nothing to loose. Meminjam istilah yang digunakan oleh orang-orang tergusur di Jawa Barat, mereka itu kaum “selon”, artinya berani mempertaruhkan segalanya demi memperjuangkan sejengkal kehidupan. Jadi selama ini mereka bukan berani mati, tetapi berani memperjuangkan hidup, meskipun untuk itu taruhannya adalah kematian. Tapi sepertinya sekarang ini perjuangan untuk mempertahankan hak hidup semakin menyerap energi. Semua perjuangan sudah dijalankan dan mentok, tak mampu menembus tembok tebal yang dibangun penguasa dengan segala logika bisnisnya. Ruang perjuangan menjadi semakin sempit. Dulu, perempuan-perempuan masih bisa menelanjangi diri di hadapan aparat untuk mempertahankan gubug-gubug mereka dari ancaman penggusuran. Dulu masih memungkinkan mereka menempatkan anak-anak di barisan depan guna melunakkan kekerasan brutal aparat dan preman yang hendak merampas hidup mereka, yang sebenarnya sudah berada di ambang batas antara hidup dan mati.

Kini semua cara itu sudah tak mempan. Aparat semakin buta dan brutal. Gubug-gubug, tempat kerja, dan ruang hidup mereka terus saja digusur, dirampas, dibakar dan dihancurkan. Satu-satunya yang masih jadi milik mereka kini hanyalah tubuh, yang memenjarakan jiwa, kata Plato. Dengan bunuh diri, bisa jadi mereka hendak membebaskan jiwa dari belenggunya. Atau barangkali, bunuh diri lebih baik daripada gila. Orang gila di tengah masyarakat yang serba waras sekarang ini hanya akan jadi bahan tertawaan.

Lalu, apa yang membedakan kematian massal akibat bencana, dengan kematian satu demi satu kaum miskin, entah karena lapar atau bunuh diri itu? Kematian massal akibat bencana setidaknya mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap hidup. Sementara kematian satu demi satu kaum miskin itu, sepertinya tak mampu mengubah apa pun. Usai bencana, keluarga korban tsunami yang masih hidup mampu memberi makna baru pada kehidupan mereka.

Aku tak tahu, bagaimana keluarga korban yang mati akibat busung lapar dan korban bunuh diri akibat deraan kemiskinan itu mampu memaknai kehidupan mereka yang masih tersisa. Mungkin bukan sebuah makna hidup yang bisa mereka temukan, tetapi sepotong doa, sebuah litani tak kunjung henti pada SANG PEMILIK HIDUP, yang suatu kali pernah memanggil mereka yang miskin dan lapar dengan seruan: “Datanglah kepada-Ku hai kamu yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”


No comments:

Post a Comment