08 June 2007

Aliansi Rakyat Miskin

Laporan Keuangan Diskusi Publik Aliansi Rakyat Miskin -- Jakarta, 30 Mei 2007

AWALNYA pembentukan Aliansi Rakyat Miskin (ARM) merupakan respons atas meninggalnya Irfan Maulana, seorang joki “three in one” yang meninggal karena dianiaya oleh aparat satuan polisi pamong praja (Satpol PP), 8 Januari 2007. Aliansi ini kemudian menggelar demonstrasi di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Menteng, Jakarta Pusat, menuntut penuntasan kasus meninggalnya Irfan Maulana.

Pada perkembangannya, keberadaan ARM dirasa terus diperlukan untuk mendukung penyelesaian masalah-masalah yang dialami warga miskin di Jakarta

ARM dibentuk oleh beberapa organisasi rakyat miskin dan badan-badan swadaya di Jakarta. Organisasi yang saat ini tergabung dalam ARM adalah Jakarta Center for Street Children (JCSC), Urban Poor Consortium (UPC), Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Indonesian Federation of Lesbian, Gay, Bisexual & Transgender Communities (Arus Pelangi), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jakarta, LBH APIK Jakarta, Serikat Becak Jakarta (Sebaja), LBH Jakarta, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Komunitas Kaum Jalanan Bersatu (KKJB), Solidaritas Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (Somasi UNJ), Front Mahasiswa Nasional Resisten (FMN-R), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Jakarta (KM-UIJ), Pergerakan Demokrasi Rakyat Miskin (PDRM) Aceh, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Aliansi Buruh Menggugat (ABM), The Institue for Ecosoc Rights.

Dari beberapa diskusi ARM, terasa betul bahwa keberadaan Satpol PP menjadi ancaman bagi kehidupan warga miskin di Jakarta. Melawan langsung Satpol PP serasa sia-sia, sedangkan keluarga, pekerjaan dan tempat tinggal mereka terus terancam.

Maka ARM kemudian mengadakan bengkel diskusi sehari untuk membedah masalah Satpol PP dan warga miskin dari berbagai aspek baik dari sisi hukum, hak asasi, anggaran, dari perspektif korban maupun perspektif Satpol PP.

Kegiatan tersebut diselenggarakan 30 Mei 2007 dan menghadirkan beberapa pembicara antara lain Nurleli Darwis ( Departemen Hukum dan HAM), Estu (LBH APIK), Yeni Sucipto (Fitra), Nek Dela (UPC), Hotma Sinambela ( kepala Satpol PP Pulau Seribu), Imran S dan Iwan ( yang juga kepala Satpol PP) dan Tubagus Haryo Karbyanto (FAKTA).

Peserta yang hadir sebanyak 45 orang; terdiri dari perwakilan pedagang kaki lima, pengamen, anak jalanan, korban penggusuran, buruh, mahasiswa dan pekerja sosial. Tampak antusiasme peserta dalam mengikuti diskusi. Hal ini tercermin dari banyaknya penanya dan ragam pertanyaan yang muncul. Bahkan banyak peserta lain ingin bertanya walaupun waktu yang telah diperpanjang sudah habis. Acara ini diliput oleh beberapa media masa seperti Kompas, Sinar Harapan, Sinar Pagi, Media Indonesia, majalah Hidup, dan beberapa radio.

Diskusi sehari tersebut membuka banyak hal baru yang akan dijadikan dasar pijakan untuk rencana-rencana ARM berikutnya. Setelah diskusi itu, peserta sepakat untuk membentuk aliansi yang lebih kuat dan lebih luas. Peserta diskusi juga berencana mengadakan rapat-rapat tindak lanjut atas hasil diskusi sehari tersebut.

Diskusi tersebut dibiayai dengan dana iuran anggota aliansi dan sumbangan dari beberapa penyumbang. Klik di sini untuk melihat laporannya. Sisa dana akan digunakan untuk membiayai kegiatan ARM berikutnya.**

1 comment:

Anonymous said...

Transparansi anggaran memang diperlukan terhadap lembaga publik, seperti Aliansi Rakyat Miskin (ARM). Tapi transparansi tidak sekadar seberapa banyak uang yang ada dan seberapa banyak pemasukan dan pengeluaran dana dalam suatu program. Yang tidak kalah penting adalah transparansi sumber dana, dari mana dana berasal.

Aku pikir seberapa banyak atau seberapa sedikitnya dana yang diberikan oleh pemberi dana, identitasnya harus jelas untuk menghindari pencemaran visi dan misi organisasi karena pemberi dana sesungguhnya bertolak belakang dengan visi dan misi organisasi. Meskipun ternyata tidak, tidak adanya identitas pemberi dana bisa memunculkan salah sangka atau kecurigaan yang dapat merugikan organisasi. Lagi pula kebiasaan orang mencantumkan "NN" atau "Hamba Allah" ketika memberikan dananya sudah semestinya ditinggalkan.

Ada beberapa orang memang tidak mau menunjukkan identitasnya saat memberikan dananya karena tidak mau menampilkan diri dan mendapatkan pujian atau penilaian positif yang berlebihan dari orang lain. Tapi menurutku dalam konteks ini, menunjukkan identitas dirinya saat memberikan dana jangan dinilai sebagai penilaian altruistik - sikap menolong orang lain bisa dengan cara memberikan sesuatu cuma-cuma - dimana beberapa orang "alergi" dengan penilaian ini. Sikap ini sudah tidak relevan dengan etika keorganisasian publik saat ini, dimana publik pun berhak tahu siapa yang memberikan dana.

Aku harap ARM dapat membuka identitas pemberi dana tersebut. Demi konsistensi yang namanya transparansi anggaran dan kebaikan ARM sendiri.

Terima kasih.

Heru Suprapto.

Post a Comment