07 June 2007

Gerakan Buhangu Madangu di Sumba Tengah

Sri Palupi

Di republik ini sudah tak aneh lagi kalau aparat atau pejabat publik terlibat korupsi. Tidak aneh pula kalau yang namanya pejabat publik sekedar menjabat tetapi tidak (banyak) berbuat. Tidak ada yang aneh memang, karena kebanyakan pejabat – yang paling korup sekali pun – merasa diri sudah berjasa dan berbuat banyak bagi rakyat. Di republik ini, yang namanya salah kaprah soal jabatan sudah dianggap lumrah. Jabatan tidak lagi identik dengan tindakan melayani (masyarakat), melainkan kekuasaan yang menuntut upeti dan pelayanan. Pernahkah kita membayangkan, apa yang terjadi ketika seorang aparat atau pejabat publik tiba-tiba mendapat pencerahan dan kemudian menyadari, dirinya tidak berbuat banyak?

Adalah Umbu Sangadji (updated 19 Juni 2007), seorang tokoh masyarakat dan mantan kepala desa Tana Modu, kecamatan Katikutana, kabupaten Sumba Tengah – Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tergerak untuk berbuat sesuatu bagi rakyat banyak yang miskin di desanya. Komitmen ini berawal dari kesadarannya sebagai elit desa yang selama ini tidak banyak berbuat bagi rakyat.. Selama 1961-1998 Umbu menjabat sebagai sekretaris desa (sekdes). Selama itu pula ia menyaksikan bagaimana birokrasi pemerintahan dijalankan, bukan untuk melayani masyarakat melainkan memperkaya elit penguasa. Ia menilai, birokrasi semacam ini bisa bertahan sejak pemerintahan Orde Baru karena adanya tradisi ketaatan pada penguasa atau pimpinan birokrasi. Aparat bawahan tidak boleh menolak apa yang menjadi titah penguasa di atasnya. Betapapun korupnya sang penguasa, bawahan harus diam. Prestasi aparat birokrasi dinilai bukan dari tingginya kinerja dalam melayani masyarakat, melainkan tingginya loyalitas pada sang penguasa.

Umbu, yang kini berusia 67-an tahun itu mengaku, selama menjadi sekdes ia menyaksikan demikian banyaknya dana pembangunan yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan. Sayangnya, uang pembangunan itu banyak diselewengkan. “Kuitansi dimanipulasi, laporan dipalsukan, uang pembangunan dilenyapkan,” keluhnya. Ia tahu ke mana larinya uang-uang itu. Tapi apa mau dikata, tradisi dalam birokrasi memaksanya diam.

Sikap “diam” selama 37 tahun menyaksikan ketidakberesan, membuat batin Umbu terganggu. Tahun 1999, di saat ada pemekaran desa, ia berkesempatan menjadi kepala desa. Sayang, ia hanya punya waktu dua tahun dan harus berhenti karena umur. Dalam dua tahun itu pula ia mengaku tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menghibahkan sebagian tanah miliknya untuk kepentingan desa. Rasa bersalah karena tidak banyak berbuat semakin menguat semenjak Umbu terpilih sebagai ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) di tahun 2002. “Pada saat itu terjadi pergumulan dalam diri saya. Saya merasa, selama punya jabatan, saya tidak berbuat banyak untuk rakyat. Padahal saya adalah bagian dari elit yang merusak," demikian Umbu bergumam lirih.

“Pada saat itu terjadi pergumulan dalam diri saya. Saya merasa, selama punya jabatan, saya tidak berbuat banyak untuk rakyat. Padahal saya adalah bagian dari elit yang merusak," demikian Umbu bergumam lirih.


Meski ada dorongan kuat untuk berbuat sesuatu, pada awalnya ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Yang ia tahu, dirinya tergolong kelompok elit di desanya dan kelompok elit ini, menurutnya, jumlahnya sangat sedikit. Tidak sampai 20 persen. Sementara orang miskin jumlahnya paling banyak. Ia juga yakin, yang membuat rusak desanya bukanlah orang miskin yang jumlahnya paling banyak itu, tetapi justru orang-orang elit yang jumlahnya paling sedikit. Keyakinan ini melahirkan tekad, orang elit harus berbuat sesuatu untuk orang banyak yang miskin itu. Sebab orang elit-lah yang paling banyak mengambil hak orang miskin.

Kesadaran sebagai elit desa yang harus berbuat sesuatu bagi mereka yang jumlahnya paling banyak menggerakkan Umbu untuk mendekati kelompok elit di desanya. Pertama-tama ia mengajak adiknya sendiri untuk memikirkan caranya. Mereka kemudian mendekati satu per satu elit di desanya. Beberapa elit berhasil ia dekati dan mereka mulai terjun ke lapangan untuk berdialog dengan para warga miskin di sekitar mereka. Dari sekian banyak persoalan, Umbu melihat beberapa persoalan yang bisa mereka atasi bersama. Di antaranya adalah kerusakan lingkungan, air bersih dan sanitasi, pola pikir dan pola kerja masyarakat. Kaum miskin selama ini dinilai Umbu tidak bisa memanfaatkan hasil produksi secara baik. Hasil panen padi ladang mereka jual, bahkan yang seringkali terjadi, mereka menjualnya dengan sistem ijon. Kebiasaan berjudi di kalangan masyarakat miskin di desanya terbentuk karena pola pikir dan pola kerja mereka. Namun apa yang terjadi pada kelompok miskin ini, menurutnya, bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Sebab kaum miskin selama ini lemah aksesnya atas informasi, khususnya informasi yang menyangkut pembangunan. Kondisi inilah yang membuat Umbu prihatin.

Salah satu tindakan konkrit yang dilakukan Umbu bersama para elit di desanya adalah menjadikan sebagian kebun milik mereka sebagai hutan. Mereka juga membangun sumur dan WC untuk komunitas-komunitas miskin. Setiap keluarga elit yang mau bergabung bersama Umbu menyisihkan sedikitnya seperempat hektar kebunnya untuk dihutankan. Ada sembilan sumur dan WC yang mereka bangun untuk kaum miskin di desanya. Mereka juga secara sukarela memfasilitasi pelatihan-pelatihan untuk komunitas-komunitas miskin. Dalam waktu dua tahun Umbu berhasil membentuk kelompok masyarakat mandiri yang disebutnya Buhangu Madangu. Buhangu Madangu, artinya “orang elit mencintai yang banyak”. Meskipun gerakan ini adalah ajakan untuk kaum elit, namun anggota dan pengurusnya tidak terbatas pada kelompok elit. Dalam kelompok masyarakat mandiri yang kini beranggotakan 126 KK dari 253 KK yang ada di desanya, bergabung pula warga dari komunitas-komunitas miskin.

Adakah hasil dari gerakan Buhangu Madangu yang dirintis Umbu? “Dulu, masyarakat enggan menanam pohon. Sekarang, masyarakat sudah mulai berubah pola pikirnya. Mereka sudah mau menanam pohon. Bukan hanya itu. Mereka juga mulai menghargai perempuan. Selama ini perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan desa. Sekarang, mereka sudah mau melibatkan perempuan dalam setiap pertemuan. Kalau dulu kaum miskin tidak punya akses informasi, kini kaum miskin tidak lagi miskin informasi. Kelompok Buhangu Madangu telah menjadi wadah untuk menampung informasi, baik dari atas maupun dari bawah. Kalau ada proyek-proyek dari luar yang masuk ke desa, misalnya, kelompok Buhangu Madangu-lah menjadi kelompok pelaksana program”, demikian Umbu berkisah tentang perubahan yang terjadi di kampungnya.

Kiprah Umbu tidak berhenti hanya sebatas kampungnya sendiri. Perjumpaannya dengan NGO yang bergerak di isu lingkungan mendorongnya untuk memperluas ruang geraknya. Bersama dengan Umbu Sakala dan Umbu Damaleha, yang sama-sama mantan kepala desa, ia membangun Forum Jaringan Masyarakat “Manupeu Tanadaru (Jama Tada)”. Manupeu Tanadaru adalah nama hutan taman nasional, yang terbentang di sepanjang Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat. Sesuai dengan namanya, Forum yang beranggotakan 44 orang ini – 22 orang berasal dari masyarakat dan 22 orang lainnya dari aparat pemerintah desa – bekerja dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal. Pada 22 Mei 2007 forum ini resmi menjadi organisasi yang memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Adanya forum yang merupakan kolaborasi antara pemerintah desa dan masyarakat ini telah mendorong 22 desa di kabupaten Sumba Tengah membuat aturan tentang pelestarian alam.

Kalau seorang mantan kepala desa yang tercerahkan saja bisa berbuat seperti itu, tentulah seorang pejabat atau mantan pejabat tinggi bisa berbuat lebih banyak lagi bagi rakyat banyak. Kalau saja kesadaran seperti yang dimiliki Umbu
Sangadji menjadi kesadaran kolektif para elit politik-ekonomi di negeri ini, tak perlu menunggu sampai 2030 untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa unggul seperti yang dibayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Atau setidaknya, dengan adanya kesadaran kolektif dari para elit untuk “mencintai yang banyak”, tak perlu lagi kita bergantung pada hutang luar negeri dalam mengatasi kemiskinan. Sebab para elit itu akan dengan sukarela berbuat banyak bagi kelompok miskin. Atau setidaknya mereka mengembalikan hak kaum miskin yang selama ini telah mereka ambil.**

7 comments:

Anonymous said...

Tokoh yang dimaksud adalah Umbu Sangadji, bukan Umbu Mbora Tara Hangga. Kalau Mbora Tara Hangga dari Sumba Timur.

The Institute for Ecosoc Rights said...

Rambu Martha,
terima kasih atas tanggapannya. Saya tidak tahu dan tidak kenal yang namanya Umbu Sangaji. Tapi Umbu yang saya kenal ini, yang fotonya terpampang dalam tulisan ini dan yang saya wawancara ini adalah Umbu Mbora Tarahangga dari Kabupaten Sumba Tengah, dan bukan dari Sumba Timur. Kabupaten Sumba Tengah adalah daerah hasil pemekaran dari Sumba Barat. Kalau Mbora Tarahangga yang asalnya dari Sumba Timur saya juga tidak kenal. Barangkali ada Mbora Tarahangga lain yg berasal dari Sumba Timur. Barangkali.

The Institute for Ecosoc Rights said...

Mohon maaf kepada para pembaca.
Setelah memeriksa ulang pada kontak yang bersangkutan penulis tulisan posting di atas menyatakan salah identifikasi orang. Tentang kejelasannya, penulis akan memberikan keterangan lebih lanjut.

Anonymous said...

saya kagum dengan apa yang ditulis di sini, kalau memang betul. apakah dimungkinkan memunculkan seorang tokoh di setiap kabupaten di NTT sebagai guru bagi kita semua? mungkin para professor perlu tinggal bersama di sesa danbelajar kembali. salam

The Institute for Ecosoc Rights said...

Rambu Martha dan pembaca yg budiman,
Saya minta maaf atas kesalahan fatal yg saya buat dengan salah menuliskan nama tokoh yg saya wawancarai ini. Benar apa yg disampaikan Rambu Martha, nama tokoh yg saya wawancarai ini bukanlah Umbu Mbora Tara Hangga, melainkan Umbu Sangadji. Mengapa ini bisa terjadi? Waktu wawancara, Umbu hanya minta saya menyebutnya Umbu saja. Sementara ada 40 para pembaru kampung yg pada saat itu bertemu, dan hanya satu yg saya catat ada Umbu dalam nama lengkapnya. Jadi saya berkeyakinan Umbu yg saya wawancara itu namanya Umbu Mbora Tara Hangga. Tapi setelah komentar dari Rambu Martha, saya jadi tidak yakin dengan keyakinan saya sendiri. Maka saya kontak lagi Umbu yg saya wawancara itu dan saya benar-benar meminta beliau-nya menyebut nama lengkapnya karena saya sudah salah menyebutnya dengan nama orang lain. Akhirnya Umbu memberikan nama lengkapnya. Ternyata benar, namanya Umbu Sangadji, seperti yg disebutkan Rambu Martha. Dengan komentar ini, saya meminta redaksi untuk mengubah nama Umbu Mbora Tara Hangga menjadi Umbu Sangaji. Meski namanya berubah, tetapi apa yg dikerjakan Umbu yg satu ini benar adanya dan apa yg dikerjakan beliau patut disebarluaskan agar menjadi pembelajaran bagi para elite yg lain. Demikian, permintaan maaf ini saya sampaikan, atas perhatian dan pengertian pembaca saya berterima kasih.

Salam Solidaritas
Palupi

Anonymous said...

Dear All,

Sungguh berita menggembirakan dan mencerahkan bagi gerakan rakyat umumnya dan masyarakat NTT khususnya.Kalau saja setiap kelompok masyarakat di gugusan pulau Sunda Kecil tersebut melakukan suatu gerakan seperti ini walaupun dengan bidang garapan berbeda pasti tidak ada berita yang menyedihkan dari wilayah tersebut.Korupsi, busung lapar, kerusakan lingkungan, lack of vision dan keterbatasan ekologis lainnya menjadi istilah yang jauh dari keseharian masyarakat tersebut.

Mentalitas mandiri dan cara berpikir lestari yang dilakukakan oleh tokoh dan kelompok masyarakat Sumba Tengah semakin memupuk kekuatan gerakan masyarakat dan menulari semangat tersebut kepada kelompok yang lain.Bila gerakan forum itu semakin kuat dan luas,rasanya tidak berlebihan mereka mendapatkan apresiasi dari setiap orang indonesia yang mendambakan kekuatan rakyat.

Selamat Berjuang

Tabikalam

Cghawa

Donny Pawolung said...

memang betul kalo umbu sangadji yang ada dalam foto anda dan program jama tada adalah program yang disosialisasikan oleh beliua bersama rekan2nya
dan bukan hanya itu saja beliua adalah salah satu motor penggerak berdirinya kabupaten sumba tengah yang baru mekar dengan tujuan seperti yang ada dalam program jama tada nya

Post a Comment