09 June 2007

Menjual anak-anak petani miskin?

Bank Indonesia — Data Transfer Dana Tenaga Kerja Indonesia Juni-Desember 2006 untuk Wilayah Kerja Kabupaten Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso

Bank Indonesia — Data Transfer Dana Tenaga Kerja Indonesia Juni-Desember 2005 untuk Wilayah Kerja Kabupaten Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso

Data Buruh Migran Kabupaten Jember 2004-2005
SELAMA ini buruh-buruh migran dipandang sebelah mata. Di satu sisi, mereka dianggap ”illegal”, ”tidak sah”, ”undocumented”. Malah sekarang muncul lagi istilah eufemistik baru: ”unauthorized”. Di sisi lain, pada kenyataannya mereka memasukkan banyak sekali uang hasil kerja dari luar negeri ke desa-desa asal mereka. Bagaimana gambaran ketidakseimbangan ini?

Kita ambil contoh dari kabupaten Jember, Jawa Timur, sebagai salah satu daerah asal para buruh migran Indonesia. Berapa banyak uang dikirimkan oleh buruh migran ke wilayah pedesaan di kabupaten itu? Berapa perbandingannya dengan pendapatan asli daerah kabupaten Jember? Berapa persen yang tak dapat diurus pemerintah dengan baik sehingga tak terwujud perlindungan pada para buruh migran itu?

Untuk semester kedua 2005 Bank Indonesia wilayah kerja Jember dan sekitarnya mencatat lebih dari 12.000 buruh migran asal spesifik kabupaten Jember mengirimkan uang lewat berbagai bank sebanyak lebih dari Rp22 milyar. Untuk paruh kedua 2006 sebanyak lebih dari 11.000 buruh migran mengirimkan uang sebesar Rp26,4 milyar. Tentunya data ini dapat dipandang sebagai ”jujur” karena untuk mengirimkan uang lewat bank orang harus menunjukkan rekening dan identitas yang diperlukan.

Berapa perbandingannya dengan pendapatan asli daerah (PAD) dari Jember? Catatan dari pemda setempat yang termaktub dalam monograf laporan setebal 336 halaman berjudul ”Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jember, Tahun Anggaran 2005” menyebutkan PAD kabupaten Jember (hanya) sebesar Rp44.204,509.152,77. Alias, hanya untuk paruh kedua 2006, besaran hasil kerja nyata buruh migran setaraf dengan nyaris 60 persen dari pendapatan asli daerah. Kabupaten yang disesaki oleh perkebunan-perkebunan dengan hak-hak guna usaha yang luas itu ternyata komparatif menghasilkan begitu sedikit pendapatan yang dapat dimanfaatkan warga masyarakatnya sendiri.

Lalu berapa data resmi buruh migran asal Jember yang dicatat oleh pemerintah? Ternyata sangat jauh perbedaannya. Biro Pusat Statistik (BPS) cabang Jember, berdasarkan catatan dari kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten Jember, pada tahun 2005 secara resmi mencatat (hanya) sejumlah 267 orang buruh migran asal Jember berangkat bekerja ke luar negeri. Perbedaan sangat kontras ini dapat menggambarkan bagaimana kantor-kantor pemerintah satu sama lain saling bertentangan dan tak berkoordinasi dalam mencatat pendataan baik dari segi kependudukan maupun dari segi keuangan.

Dapat dikatakan bahwa dalam konteks kabupaten Jember jumlah para buruh migran —yang selama ini disebut-sebut secara sepihak sebagai ”illegal”, ”tidak sah”, ”tak berdokumen”, dsb. itu— mencapai 97 persen. Mereka ini pula yang memasukkan hasil kerjanya sebanyak perkiraan rata-rata Rp4,3 milyar per bulan ke desa-desa di Jember.

Namun, hasil kerja ini kurang diakui sebagai ”hasil nyata” yang dapat ikut mengentaskan masalah kemiskinan dan keterbelakangan pembangunan di desa-desa. Tampaknya kurangnya pengakuan resmi atas keterlibatan buruh migran dalam penyelesaian masalah kemiskinan itu di antaranya dilatarbelakangi oleh karena uang sebanyak itu setiap bulan langsung masuk atau berada di tangan para buruh migran dan keluarga mereka sendiri. Baru-baru ini dalam salah satu wawancara, kepala dinas tenaga kerja dan transmigrasi kabupaten Jember, Drs. H. Moh. Thamrin, MM dengan jelas menyatakan: ”Bagaimana bisa memberikan perlindungan bila tidak ada pendapatan?”

Barangkali hal ini pula salah satu latar belakang mengapa hasil kerja buruh migran itu lebih disebut sebagai ”sumbangan”, tak bedanya seolah-olah sumbangan yang kita berikan kepada teman kita dalam resepsi nikahnya. Uang remittance itu tidak sempat bisa dikorupsi oleh pihak-pihak mana pun. Bukankah tugas membangun dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan tugas utama dari pemerintah dan kita sebagai warga masyarakat ikut terlibat membantu?**

Update 12/06/06
Artikel menarik dari Martin Manurung:
Fixing Regional Autonomy, First Things First

4 comments:

Anonymous said...

Beberapa catatan:

1. Kalimat "Alias, hanya untuk paruh kedua 2006, besaran hasil kerja nyata buruh migran setaraf dengan nyaris 60 persen dari pendapatan asli daerah." sebaiknya tidak dipahami sebagai upaya membandingkan secara langsung antara remittance dengan PAD. PAD adalah pajak (sebagian besar) atau pendapatan yang disisihkan yang merupakan "a fraction" dari pendapatan yang pada dasarnya merupakan "a fraction" dari aset.

UU nomor 22 tahun 1999 pasal 79, PAD adalah:
a. Hasil pajak daerah
b. Hasil retribusi daerah
c. Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan milik daerah yang
dipisahkan dan
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Di lain pihak, remittance itu sendiri bisa dilihat sebagai arus kas masuk (devisa) yang memiliki potensi pendapatan alias aset, belum menjadi pendapatan. Jadi membandingkan keduanya seperti membandingkan 2 hal yang berbeda.


2. Kalimat "Kabupaten yang disesaki oleh perkebunan-perkebunan dengan hak-hak guna usaha yang luas itu ternyata komparatif menghasilkan begitu sedikit pendapatan yang dapat dimanfaatkan warga masyarakatnya sendiri." Pendapat ini seolah hanya melihat bahwa pendapatan suatu daerah terdiri dari apa yang diterima pemerintah saja (melalui PAD) padahal kita ketahui bahwa pendapatan sebuah daerah atau negara itu terdiri dari pendapatan pemerintah dan warganya sendiri (bisa berupa laba buat pengusaha, gaji buat pegawai, atau pendapatan lain buat pihak2 terkait). Jadi harus dipertimbangkan juga pendapatan yang diterima pihak2 terkait dengan perkebunan di luar pemerintah.

The Institute for Ecosoc Rights said...

* Terimakasih banget. Beruntung lee menuliskan “sebaiknya tidak dipahami” karena yang tidak memiliki perspektif memadai akan sulit memadai apa artinya “perbandingan” yang diterapkan di sini. Secara hati-hati kami sebutkan dalam posting di atas ungkapan “setaraf dengan” dan bukan “sama dengan”. Barangkali akan lee katakan pula bahwa “comparative studies” sebaiknya jangan dilakukan, seperti sudah lama dipaksa dihapuskan oleh para petinggi dan pemegang kepentingan dari banyak perguruan tinggi tersohor di negeri kita? Perbandingan antara remittance and PAD bukanlah mirip antara “jeruk dan durian”, sama-sama buah-buahan tapi satu kulit halus dan yang lain kulit berduri tajam, tapi lebih dekat antara “jeruk kingkit kampung yang asam dan citrus Sunkist”, ada ciri-ciri genetik yang sama yang dapat dikawinkan di antara keduanya, bukan hanya ciri penampilan luar dari species sama sekali berbeda. Dalam kaitan ini, apakah barangkali sebaiknya juga tidak diperbandingkan antara catatan Bank Indonesia dan BPS setempat tentang jumlah buruh migran yang sama sekali tak bersesuaian? Apakah kedua badan pemerintah itu tak saling kenal dan tak saling berkoordinasi satu sama lain padahal sama-sama bermarkas di kota Jember yang kecil itu? Perumpamaan lain untuk perbandingan antara “remittance” dan PAD barangkali mirip dengan keadaan dua orang yang tinggal berdampingan di desa tapi dilarang kenal satu sama lain? Apa yang lee andaikan barangkali dekat dan sejajar dengan pernyataan kadisnakertrans kab Jember yang kami kutip dalam posting di atas. Kadinas ini dikenal sering dikejar-kejar masyarakat karena suka ngumpet kalau dimintai tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenangnya. “Beliau” lebih menunjukkan muka kalau ada duit ..

* Perlu lee jenguk pula bahwa undang-undang tentang pemerintahan daerah sudah beberapa kali diperbarui, sebelum kita lanjutkan diskusi ini. Acuan lee perlu dilengkapi dulu, sementara undang-undang tt pemerintah daerah yang terakhir pun belum lagi sempurna dan masih terus perlu diperbaiki lagi dan lagi. Barangkali bagus lee baca updated link dalam posting yang kami acukan pada tulisan menarik Martin Manurung.

* Untuk komentar terakhir, barangkali cukup kami katakan bahwa “bupati” (dan para aparat yang disetujuinya untuk menjabat urusan publik) yang setiap bulan makan gaji yang berasal dari APBD yang sebagian besar merupakan dana pajak yang berasal dari keringat rakyat itu adalah DIPILIH masyarakat secara langsung. Karenanya pemerintah kabupaten sesungguhnya wajib (juga secara langsung) mempertanggungjawabkan tugas-tugasnya, terutama dalam menjalankan program2 yang pengentasan kemiskinan. Semestinya APBD (termasuk PAD di dalamnya) setidaknya 70%-nya adalah untuk masyarakat (standar internasional, bukan standar budaya korupsi Indonesia), dan bukan sebaliknya yaitu sebagian besar habis untuk dana rutin gaji pegawai seperti selama ini berlangsung dan masih akan terjadi lagi di masa depan. Catatan publik menyatakan di Papua Barat, para PNS malah menghabiskan 90% APBD. IstaghfirAllah! Dan masyarakat tetap berada dalam keadaan zaman batu. Lee mau pilih mana: politik ekonomi atau ekonom(isme) politik?

Anonymous said...

Dear Ecosoc,

Perbandingan yang teliti akan lebih tepat dan bermanfaat dalam menyelesaikan masalah. Aset dan pendapatan mungkin sama-sama uang (sama-sama jeruk dalam analogi anda) tapi kalau sampai mau menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aset dan pendapatan maka kita sampai pada hal-hal yang berbeda (menjadi durian dan jeruk).


Maaf komentar anda yang terakhir rasanya tidak menangkap maksud saya atau mungkin terlalu terburu-buru membacanya:
- Untuk komentar terakhir, barangkali cukup kami katakan bahwa “bupati” ... dst. -

Ini bukan soal politik ekonomi atau ekonomisme politik tetapi soal bagaimana mengukur pendapatan suatu daerah. Terlalu jauh membacanya ke arah sana. Mungkin bisa dibaca dengan lebih tenang ;-).

The Institute for Ecosoc Rights said...

lee boleh tanya: UNTUK SIAPA perbandingan yang anda maksud itu lebih tepat dan lebih bermanfaat??

Untuk komentar kedua, terimakasih. Pendapatan melimpah ruah yang diterima oleh pihak2 seperti perkebunan sudah bikin berkelanjutannya bentrok dan konflik dengan para orangtua buruh migran, yaitu para petani miskin. Persis pada penguasaan sumber daya tanah oleh perkebunan yang menimbulkan awal dari ketidakseimbangan sosial. Semua pajak dan sumbangan pihak-pihak masuk ke pemerintah (pusat mau daerah). Jadi dalam hal ini tetap bupati yang wajib bertanggungjawab mengatur pemerataan, atau malah dia sendiri yang bermain dan menggunakan kesempatan, seperti terjadi di banyak kabupaten yang banyak sumber daya alamnya.

Post a Comment