Sri Palupi
Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1) (2) (3) (4)
Perubahan macam apa yang terjadi dalam hidup para petani yang beralih dari pertanian kimia ke pertanian organik ini? Berikut adalah kesaksian mereka yang tinggal di daerah Pagal, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai – Nusa Tenggara Timur.
Sebelum mempraktekkan pertanian organik, Hilarius Man, 65, yang 30 April 2007 lalu terpilih sebagai Kepala Desa Nenu, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai ini adalah mantan kepala Koperasi Unit Desa (KUD). Sejak 1990 sampai 1999 ia menjabat sebagai kepala KUD. Sebagai kepala KUD, tentu saja ia akrab dengan produk-produk pertanian kimia. Sebab KUD sendiri diakuinya lebih banyak berperan sebagai penyalur pupuk-pestisida kimia. Meskipun sudah beralih ke pertanian organik, ia masih saja didatangi dan dibujuk agen distribusi pupuk dan pestisida kimia untuk menjadi kaki tangannya.
Pengalamannya sebagai petani organik berawal dari kedekatannya dengan rohaniwan yang berkarya di daerahnya. Rohaniwan inilah yang memperkenalkannya dengan pertanian organik. Keinginannya untuk tahu dan belajar banyak tentang pertanian organik mendorongnya bergabung dengan Paguyuban Tani “Ongko”, yang sejak tahun 1999 telah mempraktekkan pertanian organik. Ia sendiri kemudian menjadi ketua paguyuban. Nama “Ongko” sengaja dipilih karena “Ongko” adalah lagu tradisional yang menjadi simbol persatuan dan persaudaraan masyarakat. Sejak bergabung dengan paguyuban Ongko, (Bapak) Hila, begitu ia biasa dipanggil, telah menjalani berbagai pelatihan, mulai dari pelatihan pertanian organik, pelatihan untuk konservasi dan pengolahan lahan miring dengan sistem terasering, sampai pelatihan kesehatan dengan memanfaatkan tanaman obat. Dalam paguyuban ini pula petani belajar dan mempraktekkan segala hal baru yang mereka dapatkan dari ekopastoral.
Caption: Panen padi organik 2006
Pertanian organik yang dijalankan Paguyuban “Ongko” ini telah mengubah, bukan saja hidup petani secara individual tetapi juga “hidup bersama” dalam masyarakat. Praktek pertanian organik telah mengembalikan tradisi “Dodo” yang telah lama menghilang dari kehidupan petani akibat praktek pertanian kimia yang membuat petani hidup sendiri-sendiri dan juga sebagai akibat pendekatan proyek yang dijalankan pemerintah. Dulu petani hidup secara bergotong royong. Semua pekerjaan di lahan dan di desa dikerjakan bersama seturut berjalannya tradisi dodo. Tradisi dodo membuat masyarakat petani punya jadual kerja bersama, termasuk gotong royong memperbaiki sekolah. Tetapi ketika semua pekerjaan diproyekkan pemerintah, tradisi dodo ini semakin punah. Semua kerja dihitung dengan uang. Kini dengan pertanian organik, petani didorong untuk mengerjakan pekerjaan pertanian secara bersama, mulai dari pembuatan pupuk, pengolahan lahan, tanam dan panen. Sedikit demi sedikit, Paguyuban Ongko berhasil menghidupkan kembali tradisi dodo yang menjadi kebanggaan masyarakat Manggarai, khususnya Cibal.
Hila mengaku, dengan pertanian organik, petani juga tertantang untuk terus belajar dan bereksperimen menemukan hal-hal baru dengan bahan-bahan lokal. Sebagai contoh, para petani organik di daerahnya menggunakan tuak atau moké (minuman yang dihasilkan dari pohon enau) sebagai pengganti EM4 (Effective Microorganism Fluid, larutan yang mengandung mikroorganisme pengurai) dalam membuat bokashi (pupuk organik). Moké yang dicampur dengan batang pisang yang diiris kecil-kecil dan ditutup selama dua minggu ternyata bisa menjadi pengganti larutan EM4 yang siap dicampur dengan bahan-bahan lain (daun gamal, jerami, batang pisang, dedak, abu dapur dan kotoran ternak) untuk membuat pupuk organik. Pembuatan pupuk organik dengan bahan moké ini dikerjakan petani secara bersama. Petani yang tidak memiliki pohon enau, bisa membeli moké di pasar dengan harga Rp2.000 per liter. Pestisida pun dibuat secara alami dari daun gamal, bunga matahari liar dan daun mimba. Namun demikian, petani organik hampir tak pernah menggunakan pestisida alami ini karena semenjak menerapkan pertanian organik, serangan hama di lahan mereka semakin berkurang. Awalnya memang ada hama putih yang menyerang padi berumur 2-3 minggu, namun hama ini menghilang setelah ditebarkan abu dapur. Kini para petani organik tak lagi dipusingkan oleh hama dan penyakit yang menyerang lahan mereka.
Dengan pertanian organik, biaya produksi yang ditanggung petani untuk menanam padi menjadi jauh lebih kecil dibandingkan ketika petani menerapkan pertanian kimia. Bayangkan, dengan pertanian kimia, untuk 1 hektar lahan sawah petani membutuhkan 200 kg urea dan 100 kg TSP, dengan harga Rp 75.000 untuk 50 kg pupuk. Belum lagi biaya pestisida dan bibitnya. Sementara dengan biaya tersebut, hasilnya tak sebanding dengan para petani organik, yang hanya butuh moké untuk membuat bokashi. Dengan pertanian kimia, lahan sawah seluas kira-kira 0,75 hektar yang dimiliki Hila menghasilkan 8-9 karung padi. Sementara dengan pertanian organik, lahan yang sama bisa menghasilkan 16-17 karung. Bobot padinya pun berbeda. Satu karung beras organik punya bobot 100 kg, sementara satu karung beras non organik bobotnya tidak sampai 100 kg. Petani merasakan betul perbedaan berat ini. Bukan itu saja. Sejak ia dan keluarganya mengkonsumsi produk-produk organik, ia dan keluarganya merasa lebih sehat, tidak mudah lelah dan sakit seperti sebelumnya.
Meski pertanian organik telah terbukti mengembalikan kehidupan petani dan ekosistem pertanian yang telah lama hilang direnggut praktek pertanian kimia, Hila sendiri menyesalkan bahwa belum semua petani di desanya mau beralih ke pertanian organik. Namun baginya sikap petani seperti ini bisa dimengerti, sebab selama ini petani telah dibuat manja oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan pertanian kimia. Pupuk tinggal dibeli dan tabur, petani tak usah bersusah payah membuatnya. Dari segi tenaga, pertanian kimia memang lebih ringan, tetapi berat dari segi biaya dan produktivitasnya. Meskipun belum beralih ke pertanian organik, namun ia melihat, petani non-organik mulai menyadari betapa besar perbedaan produktivitas lahan mereka dengan lahan para petani organik. Padi di lahan non organik mereka sering hampa, tak berisi dan lebih sering pula diserang hama.
Kini Hila telah terpilih sebagai kepala desa. Ia punya peluang lebih banyak untuk mengajak petani beralih ke pertanian organik. Dalam kampanyenya sebagai calon kepala desa, ia mengajukan program pengembangan pertanian organik di desa Nenu, mulai dari pengembangan lahan pekarangan sampai lahan sawah. Bisa jadi program inilah yang menghantarkannya menjadi kepala desa.**
Photos credit: PJIC-Indonesia
Read More...
Summary only...
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA