10 January 2008

Antara Kemauan, Keraguan, dan Ketidakberdayaan

Berikut ini adalah seri tiga tulisan berupa refleksi atas kegiatan advokasi mendesakkan perbaikan pengurusan dan perlindungan para calon TKI dan para TKI di tingkat kabupaten. Tulisan pertama mengungkap pengalaman di kabupaten Tulang Bawang, Lampung; kedua, di Banyumas, Jawa Tengah, dan terakhir Jember di Jawa Timur. Artikel ini juga akan segera terbit Januari 2008 dalam bentuk buku. Kontak kami untuk mendapatkannya.
Kabupaten Tulang Bawang, Lampung

Oleh Nurus S Mufidah dan Albert B Buntoro


MENGANGKAT isu perlindungan TKI di wilayah ini pada awalnya terasa jauh lebih berat dibandingkan dengan mengangkat isu yang sama di dua kabupaten lainnya. Betapa tidak. Isu TKI itu sendiri tidak dikenal di daerah ini. Di dua kabupaten lainnya, masyarakat dan pemerintah daerahnya setidaknya sudah banyak mengetahui kasus-kasus yang menimpa TKI di wilayahnya. Sementara di kabupaten ini, kasus-kasus TKI tidak banyak dikenal. Kasus Juminem, misalnya, TKI yang terancam hukuman mati di Singapura, yang ramai jadi perbincangan publik di tingkat nasional dan banyak diberitakan media cetak dan elektronik ternyata tidak diketahui bahkan oleh pemerintah daerahnya sendiri. Kalau kasus-kasus yang menimpa TKI sendiri tidak banyak diketahui dan hanya menjadi pengetahuan pihak keluarga TKI, maka menjadikan masalah perlindungan TKI sebagai isu adalah sebuah lompatan besar.

Meskipun tidak mudah, namun kerja-kerja untuk advokasi perlindungan TKI di kabupaten ini, yang sudah dilakukan Institut Ecosoc sejak tahun 2004 sedikit banyak mampu mengangkat kasus-kasus TKI ke ranah publik. Kini, kalau kita bicara masalah TKI dengan para elit politik di daerah ini, kita tidak lagi menghadapi tembok tebal. Setidaknya para elit di daerah ini telah terbuka hati dan pikiran mereka untuk melihat persoalan TKI secara lebih dalam. Mereka mulai menyadari, maraknya percaloan yang dulu mereka lihat sebagai hal wajar, kini mulai menggelisahkan mereka. Mereka mulai mau bertanya tentang berbagai cara yang mereka bisa lakukan untuk melindungi nasib para TKI yang banyak jadi korban sistem percaloan.

Caption foto: Tak sia-sia kami datang dari jauh untuk melakukan kampanye perlindungan TKI. Isu ini langsung disambar oleh stasiun radio Tuba FM milik Pemda Tulang Bawang, Lampung dengan membuat acara talkshow bertajuk perlindungan TKI, November 2007. Mereka sampai membatalkan agenda-agenda Pilkada yang sebelumnya dipandang seksi.


Sikap keterbukaan yang mulai kami temukan di kalangan elit pemerintah daerah telah memperlancar kerja-kerja kami dalam mengangkat sistem perlindungan TKI melalui mekanisme peraturan daerah (perda). Tidak mudah awalnya, tetapi belakangan ada komitmen yang menjanjikan dari berbagai pihak di daerah ini. Peluang adanya legislasi untuk perlindungan TKI dijanjikan oleh pihak legislatif. Sementara pihak eksekutif meskipun secara eksplisit memiliki komitmen namun terhadap usulan raperda yang kami ajukan, mereka cenderung bersikap ‘hati-hati’. Demikian juga dengan PJTKI, yang khawatir kepentingan mereka akan terancam oleh keberadaan perda.

Caption: “Saya siap mengajak teman-teman di komisi D untuk jadi inisiator perda perlindungan TKI,” kata ketua komisi D DPRD Tulang Bawang Hariyati Chandralela ketika ditemui dalam lobby di gedung DPRD setempat, Menggala, Tl. Bawang, November 2007. —Mereka inilah yang paling bersikap terbuka dan membantu menyosialisasikan raperda perlindungan TKI di kalangan anggota DPRD.


Lihat/klik dua tulisan lain yang terkait:
* Kabupaten Banyumas: "Keterbukaan yang Memberi Harapan"
* TKI di Kabuaten Jember: "Anak Haram yang Dilupakan Keberadaannya"


Kerja panjang dalam advokasi perlindungan TKI sedikit banyak telah membuka peluang masalah perlindungan TKI menjadi isu di wilayah ini. Ini tampak dari sikap pemerintah daerah yang – dengan sikap hati-hatinya – merespon positif raperda yang kami ajukan pada mereka, baik secara informal maupun dalam forum resmi bersama masyarakat. Komitmen resmi datang dari wakil bupati terpilih, Agus Mardi Hartono, yang mantan kepala Disnakertrans. Ia secara serius menyampaikan rencana untuk menganggarkan dana bagi penyusunan perda perlindungan TKI dalam APBD tahun 2008 nanti. Ia sendiri mengakui, pembuatan perda perlindungan TKI sebenarnya sudah lama ia pikirkan mengingat tingginya kasus TKI yang terjadi di kabupaten yang punya tambak udang terbesar di Asia ini. Keterbatasan anggaran membuat rencana pembuatan perda perlindungan TKI belum bisa terwujud sampai sekarang.

Alasan keterbatasan anggaran ini dimungkinkan kalau kita lihat kecilnya alokasi APBD untuk urusan ketenagakerjaan, termasukTKI, yang besarnya hanya 0,25 persen. Proporsi sebesar ini tidak sebanding dengan proporsi penduduk yang dilayani. Lebih dari 50 persen warga kabupaten ini yang bekerja sebagai buruh tergolong keluarga miskin yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.

Di samping komitmen positif yang disampaikan wakil bupati, keraguan datang dari pihak Disnakertrans. Mereka setuju ada perlindungan legal terhadap para TKI, namun dengan satu syarat, yaitu bahwa perlindungan itu hanya berlaku untuk para TKI legal. Ini teruangkap dari pernyataan seorang pejabat Disnakertrans: “Kami tidak setuju jika TKI yang tidak berdokumen juga mendapatkan perlindungan, karena jika tidak berdokumen berarti tidak mempunyai identitas diri sebagai warga Tulang Bawang.” Ungkapan ini menunjukkan, pihak Disnakertrans sendiri belum sungguh paham akar masalah TKI ini. Adanya TKI ilegal memang bikin kesal, tapi mereka belum sampai pada pertanyaan mengapa ada TKI ilegal. Mereka belum menyadari, TKI ilegal adalah anak kandung dari lemahnya kebijakan perlindungan TKI. Minimnya pemahaman terhadap akar masalah TKI membuat ‘anak kandung’ itu diperlakukan sebagai ‘anak haram’ yang terus menerus diperlakukan dengan tidak adil.

Dengan latar belakang masalah seperti itu, untuk kampanye perlindungan TKI dengan mekanisme perda mau tidak mau harus menggunakan berbagai strategi yang kami rasa mampu meyakinkan berbagai pihak bahwa perda perlindungan TKI mengarah pada upaya untuk meminimalisir atau menghapus penempatan TKI secara ilegal dan peningkatan kinerja pengurusan penempatan TKI yang dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan, bukan hanya bagi para TKI, tetapi juga pemerintah daerah, dan PJTKI yang berkinerja baik. Dengan perspektif ini diharapkan, perda tidak hanya bicara soal perlindungan yang menguntungkan hanya satu pihak (TKI), tetapi juga menguntungkan semua pihak (pemerintah dan PJTKI).

Tidak berbeda jauh dengan sikap pemerintah yang cenderung hati-hati dan masih ragu dalam mengurus TKI ilegal, demikian pula sikap PJTKI. Ada PJTKI yang apatis terhadap usulan perda dan ada pula yang menyambut positif dengan syarat. Artinya, mereka setuju ada perda asalkan perda itu nantinya dapat mengatasi masalah persaingan usaha terkait dengan maraknya percaloan yang merugikan dan mengancam kelangsungan bisnis mereka. Dari sisi inilah kami menyodorkan usulan perda, yang justru mendukung kerja PJTKI yang berkinerja baik.

Keterbukaan yang sangat luas datang dari pihak DPRD, yang secara serius hendak menjadikan raperda ini sebagai raperda inisiatif. Sayang bahwa komitmen ini belum disertai dengan pemahaman dan perspektif yang baik tentang masalah perlindungan TKI di daerah ini. Masih ada anggota DPRD yang melihat masalah TKI sebagai masalah pemerintah nasional, sehingga keberadaan perda nantinya tidak banyak menjawab masalah. Minimnya pemahaman terhadap masalah TKI ini diakui banyak pihak di DPRD sendiri. Inilah yang membuat pihak DPRD sendiri mengajak kami untuk berdiskusi lebih lanjut soal TKI ini sebelum mereka masuk dalam substansi perlindungan. Sebab minimnya pemahaman akan menjadi hambatan dalam merumuskan solusi legislasinya. Dengan kondisi seperti ini, masih dibutuhkan kerja panjang agar raperda yang kami ajukan benar-benar ditangkap substansinya.

Meskipun masih menuntut kerja panjang, namun secercah harapan untuk memperluas pemahaman tentang masalah perlindungan TKI datang dari Komisi D (yang mengurus bidang kesejahteraan rakyat, yang mencakup juga bidang ketenagakerjaan) DPRD. Ketua komisi D selama ini telah membantu kerja-kerja kami dalam melakukan sosialisasi raperda perlindungan TKI pada anggota dewan. Hasilnya, beberapa fraksi besar sudah menyatakan dukungan untuk mengajukan raperda sebagai raperda inisiatif yang akan diajukan DPRD pada tahun anggaran 2008.

Lalu bagaimana dengan sikap masyarakat? Optimisme dan dukungan kuat justru datang dari masyarakat, khususnya para mantan TKI dan keluarganya. Mereka kurang paham hukum, tetapi pengalaman riil mereka selama menjalani proses menjadi TKI sangat membantu dalam pembahasan raperda di berbagai forum. Satu hal yang mereka pandang sangat strategis dalam raperda ini adalah mengatur dan menempatkan informasi tentang bekerja ke luar negeri di tingkat desa. Bagi mereka, usulan ini sangat strategis. Sistem semacam ini akan memudahkan para pencari kerja di desa untuk memperoleh informasi kerja yang benar dari sumber terdekat.

Harapannya perda ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk menghapuskan percaloan yang cenderung mengarah pada praktik perdagangan manusia. Lebih menarik lagi, dalam diskusi kelompok terbatas di desa Makarti, kecamatan Tumijajar, Tulang Bawang (Februari 2007), ada keinginan dari para mantan TKI dan keluarganya untuk mulai mengorganisir diri, guna saling berbagi informasi dan pengalaman. Bahkan sempat tertuang ide membuat suatu usaha bersama di bidang pengembangan ekonomi. Sayang bahwa usulan ini disertai dengan harapan atau tuntutan akan adanya pihak-pihak di luar mereka yang dapat membantu dalam memfasilitasi pengorganisasian.

Berbeda dengan kabupaten Banyumas dan Jember di mana terdapat banyak NGO dan juga ormas yang potensial bekerja untuk isu TKI, di Tulang Bawang tidak ada NGO atau pun ormas lokal yang potensial memberi perhatian terhadap masalah TKI. Kondisi geografis Tulang Bawang yang terpencil menjadi kendala utama. NGO dan ormas yang memiliki basis organisasi buruh migran terdekat berada di Kota Metro, Lampung (kurang lebih tiga jam dari Tulang Bawang ke arah timur). Untuk mengatasi kendala ini, kami berinisiatif untuk mengadakan forum pertemuan dengan para NGO dan ormas di kota ini dengan harapan bahwa mereka dapat membantu memberikan perhatian pada persoalan TKI di Tulang Bawang. Persoalan yang terungkap belakangan terletak bukan pada ketidakmauan atau kurangnya komitmen, melainkan ketidakberdayaan. NGO yang berdomisi di kota Metro pada kenyataannya tidak memiliki sumberdaya (manusia dan logistik) untuk dapat menjangkau Tulang Bawang.

Pertemuan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan menghasilkan sebuah usulan untuk membentuk suatu lembaga yang merupakan gabungan segenap pemangku kepantingan (Disnakertrans, polisi, NGO, organisasi buruh migran dan keluarga). Lembaga ini semacam gugus tugas daerah untuk penanganan masalah TKI. Usulan yang cukup menarik ini dimaksudkan untuk mendukung dan mengawal raperda agar menjadi perda. Mereka berharap adanya perda akan meningkatkan kinerja Disnakertrans. Namun mengingat keterbatasan masyarakat sipil di Metro, masih diperlukan kegiatan pendampingan lebih lanjut agar forum yang diusulkan ini benar-benar terbentuk dan raperda benar-benar dapat diwujudkan menjadi perda.

Di kabupaten ini kerja-kerja advokasi perlindungan TKI sungguh terbantu oleh peran media lokal. Merekalah yang sejatinya menyebarluaskan informasi perihal perlindungan TKI yang kami sampaikan pada publik. Apresiasi pantas diberikan pada media lokal (Radar Tuba) di wilayah ini. Ketika isu pilkada (isu politik lokal) menjadi isu paling seksi di berbagai media di daerah ini, Radar Tuba lebih memilih media lokal tidak terseret arus. Media ini memandang pembenahan masalah tenaga kerja, khususnya TKI, sebagai masalah penting bagi kemajuan kabupaten ini.

Pada awalnya kalangan media mengakui, selama ini media lokal belum menganggap isu TKI sebagai isu menarik. Namun ketika muncul beberapa kasus TKI yang mencuat di media nasional, media lokal mulai menempatkan masalah TKI sebagai “isu strategis”. Dampak dari muatan pemberitaan masalah TKI di daerah ini sangat besar terhadap kerja-kerja advokasi yang kami lakukan. Dalam pemberitan-pemberitaannya, usulan raperda yang kami tawarkan dipandang sebagai alternatif solusi regulasi di Tulang Bawang. Pemberitaan ini menarik perhatian banyak pihak. Pemberitaan ini pula yang mendorong banyak pihak untuk mulai terbuka bicara tentang perlindungan TKI.

Dari seluruh kerja-kerja yang kami lakukan sejak tahun 2004/2005, kami merasakan betul adanya perubahan sikap berbagai pihak di daerah ini. Di awal kerja-kerja kami di daerah ini (tahun 2005) kasus dan masalah TKI tidak banyak diketahui dan karenanya belum menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Kini kami mulai bisa bernafas lega. Meskipun perubahan dirasa masih jauh, namun terangkatnya isu perlindungan TKI di ruang publik dan adanya keterbukaan dan terciptanya ruang komunikasi berbagai pihak terkait dengan perlindungan TKI sudah merupakan langkah maju.

Ketika di penghujung tahun 2007 kami kembali lagi datang ke sana dengan membawa solusi regulasi dalam bentuk raperda, kami merasa optimis akan adanya perubahan di Tulang Bawang. Optimisme ini lahir dari berkembangnya sikap keterbukaan berbagai pihak yang terkait dengan pengurusan TKI dalam mencari alternatif perlindungan bagi TKI di wilayah ini. Tulang Bawang bisa diharapkan menjadi daerah yang lebih responsif dalam menjawab masalah TKI dan mewujudkan perlindungannya. Tentu, keraguan, keterbatasan pemahaman, ketidakberdayaan karena minimnya sumberdaya akan menjadi hambatan dalam mewujudkan perlindungan nyata bagi TKI. Namun keraguan, keterbasan dan ketidakberdayaan ini akan bisa dikikis oleh kehendak dan semangat kebersamaan dalam mengupayakan perlindungan yang lebih baik bagi TKI. Ke depan tetap dibutuhkan kerja-kerja yang dapat memfasilitasi kerja bersama semua pihak untuk mewujudkan raperda menjadi perda yang berperspektif perlindungan TKI.**

No comments:

Post a Comment