29 January 2008

Kerjabersama Kreatif dalam Mendengarkan Kota


============================
Fitur buku — Terbit: Oktober 2007; tebal: xii/376hlm.; 15X23cm.
——Untuk mendapatkan buku ini, silakan kontak The Institute for Ecosoc Rights ke email: ecosoc@cbn.net.id atau
ecosocrights@gmail.com
Telpon: 62-21-830 4153
============================

Marco Kusumawijaya

Buku ini pada akhirnya mendorong kita menyimpulkan ajakan untuk menggalang kerjabersama kreatif (creative collaboration). Bangsa ini baru merdeka, baru mengenal demokrasi, yang berarti kesetaraan di dalam membuat masa depan bersama. Kita memang tersandung-sandung, sebab banyak himpitan, banyak desakan, banyak masalah, banyak keterbatasan, banyak kecurigaan, banyak tidak ikhlas, tidak tulus dalam berbagi, termasuk berbagi peran dan rezeki. Tapi justru karena itu semua kita diajak untuk merenungkan kembali bahwa tujuan kita berkelompok, atas dasar suatu tuah sekata (konsensus) nasional, adalah mensejahterakan kita semua bersama-sama. Tujuan bersama jelas dihayati. Hanya sering dilupakan bahwa kita perlu berkerjasama dalam pengertian yang konkrit, sehingga tidak berhenti sebagai mantra.

Di abad demokratisasi informasi ini, keperluan untuk kerjabersama kreatif yang tulus juga makin menjadi keharusan. Semua orang relatif sama pintar sekarang, karena informasi yang mudah didapat. Setidaknya, seperti sering dikatakan, tidak seorang pun dari kita yang lebih pintar dari kita (none of us is smarter than us). Kita bukan saja makin tergantung kepada kecerdasan bersama secara tak terelakkan, tetapi malah wajib menciptakan kondisi yang menyuburkan dan memudahkan kerjabersama.

Apa yang salah dengan Jakarta? Sebagai kota, Jakarta pernah menjadi tempat belajar bagi kota-kota lain, di antaranya Bangkok. Kini, dalam banyak hal kemajuan Bangkok telah jauh meninggalkan Jakarta. Di saat Jakarta terus berupaya menyingkirkan orang miskin dari kota, Bangkok justru memperluas peran serta warga miskin dalam mengurus kota. Ada tiga kelebihan Bangkok yang belum dimiliki Jakarta. Pertama, visi dan karakter pemerintahnya yang terbuka terhadap terobosan, tidak legalistik, menghindari konfrontasi dan mengedepankan negosiasi. Visi dan karakter ini memungkinkan adanya sistem sosial-politik yang memberi ruang lebih luas bagi peran serta warga miskin dalam berkota. Kedua, adanya jejaring dan koneksitas di antara para pemangku kepentingan kota. Jejaring inilah yang membuat masyarakat warga (civil society) di Bangkok relatif lebih kuat. Ketiga, adanya tradisi berkomunitas dan mengorganisir diri di kalangan warga miskinnya. Tradisi ini memperkuat posisi tawar komunitas miskin di hadapan pemerintah kota dan kelompok warga lainnya. Kini saatnya kita juga belajar dari bangsa lain. Belajar untuk berubah.


Riset di Jakarta dan Bangkok, yang antara lain menjadi dasar bagi penyusunan buku ini, membandingkan bagaimana kota-kota itu menyertakan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan perkotaan, antara lain dalam hal pembangunan perumahan. Jelas sekali bahwa salah satu faktor pembeda di kedua kota itu adalah terlembaganya kerjabersama komunitas kaum miskin kota, akademisi, pemerintah, dan aktivis lainnya di Bangkok. Kerjabersama itu memecahkan prasangka, menembus tembok koordinasi horisontal antar sektor dan dialog vertikal antara warga, pemerintah setempat dan pemerintah pusat. Tidak ada solusi tunggal dan mati yang dipaksakan. Setiap konteks memerlukan konsep solusi yang diprakarsai sendiri dari komunitas, yang memang dipermudah dan dirangsang. Kerjabersama kreatif kemudian mengembangkan solusi konkrit yang berangkat darinya, tetapi tidak selalu sama persis dengan konsep awal itu.

Di Bangkok terpenuhi syarat-syarat bagi kerjabersama kreatif. Syarat pertama adalah komitmen untuk kerjabersama yang panjang. Ini diwujudkan dalam kelembagaan yang sesuai pada semua pihak terkait. Dasar dari kerjasama ini adalah pengakuan akan keragaman perspektif yang menjadi pijakan berangkat untuk saling memahami sudut pandang masing-masing dan menngurusi perbedaan-perbedaan. Melalui dialog konstruktif perbedaan-perbedaan dirundingkan. Pada saat bersamaan dikembangkan visi dan pandangan bersama. Syarat kedua adalah kesudian untuk berbagi gagasan, informasi dan pengetahuan, sehingga akhirnya semua pihak memiliki dasar pengetahuan yang sama. Sekali lagi ini hanya mungkin terbangun melalui keterlibatan dan interaksi intensif yang panjang. Syarat ketiga adalah saling percaya dan kebersamaan dalam mengambil resiko.

Pada konsep “kerjabersama kreatif” saya bukan hanya mau menekankan arti kata ‘kreatif’ yang berhubungan dengan daya-cipta untuk menghasilkan suatu produk karya atau inovasi, meskipun ini semua penting juga. Saya ingin juga menekankan makna kreatif sebagai lawan dari ‘destruktif’, dan bahwa kerjabersama itu hendaknya terus menerus berdaya-kembang secara berkelanjutan, bukan “sekali berarti sesudah itu mati” seperti sering terjadi pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang berorientasi pada proyek sekali pukul. Kerjabersama kreatif juga berarti kerjasama yang bentuk dan modusnya berkembang seiring dengan proses dialektis, tidak pernah selesai atau berhenti pada pembakuan yang diulang-ulang saja, sebab ia harus menghasilkan solusi-solusi yang tiap kali sesuai dengan tiap situasi dan kondisi yang baru atau berkembang.

Hendaknya juga dipahami bahwa kerjabersama kreatif bukan hanya suatu alat yang bertujuan menghasilkan proyek-proyek fisik, tetapi juga suatu proses, suatu cara hidup untuk terus-menerus menghasilkan kembali makna dan pemaknaan, nilai dan penilaian. Ini penting untuk menghindari monopoli penciptaan makna oleh pihak tertentu saja, yang pada akhirnya membawa kita kepada keseragaman yang menyesakkan dan lama-lama mematikan (lawan dari kreativitas). Tanpa kerjabersama kreatif, kita telah sering mengamati terjadinya makna yang tiba-tiba meloncat menjadi konsep-konsep yang tanpa disadari tahu-tahu telah dijabarkan menjadi model-model pembangunan secara sepihak, misalnya: kota modern itu harus begini-begitu, dan tidak begini-begitu. Dalam proses pemaknaan yang sepihak demikian hampir dipastikan yang lemah (yang miskin, yang kecil, yang tak punya kuasa) akan tersingkir, dan realita disusun bukan saja tanpa kehadiran mereka, tetapi juga berakibat menggusur kehadiran mereka, sengaja atau tidak sengaja.

***

Dalam proses riset dan lokakarya yang mendahului buku ini terang sekali ditemukan banyak perbedaan persepsi dan pendapat antara berbagai pihak dalam bangsa kita, bahkan tentang hal-hal yang sebenarnya sudah baku dikenal, misalnya partisipasi, demokrasi, hak kaum miskin kota, kota yang berkelanjutan, dan lain-lain. Sering dapat dilacak, bahwa perbedaan itu sebenarnya muncul dari proses pemaknaan yang sepihak, yang didasarkan kecurigaan dalam menafsir informasi yang tidak lengkap, yang tidak diperiksa langsung ke pihak lain, yang tidak dialektis. Misalnya perumahan kaum miskin kota bermakna antara “masalah kita bersama sebagai suatu bangsa” dan “masalah perbenturan kepentingan”.

Kita berada dalam situasi di mana sebagian masyarakat pada saat bersamaan selalu curiga kepada pemerintah, ingin korupsi diberantas, dan sekaligus secara paradoksal menganggap pemerintah harus memenuhi semua tuntutannya (dengan persepi negara sebagai penyedia segala), sementara sebagian jajaran pemerintah menganggap masyarakat itu anarkis dan pada saat bersamaan menganggap dirinya paling tahu tentang apa yang paling baik bagi mereka.

Negara modern memang melahirkan hubungan-hubungan yang berbeda dengan yang ada dalam masyarakat tradisional. Ada birokrasi yang menjembatani atau menghalangi. Kekuasaan menjadi lebih abstrak, besar serta jauh, berperantaraan atau berperwakilan. Ada sistem ekonomi yang berbeda. Kecurigaan-kecurigaan muncul. Perbedaan persepsi tentang peran pihak-pihak terumuskan berbeda-beda. Tetapi semuanya itu semestinya, dan memang tidak boleh mengubah cita-cita suatu entitas masyarakat, yang dengan mendirikan negara berarti mengaku ingin berkerjabersama supaya semuanya hidup sejahtera.

Kita perlu merenungkan kembali tujuan kita bernegara, ketika berhadapan dengan pertanyaan pahit tentang mengapa sebagian cukup besar bangsa kita tidak terurus—apalagi terpenuhi—hak -hak dasarnya seperti rumah dan pekerjaan. Kita bahkan perlu belajar kembali. Dulu, kita ketahui, banyak bangsa dan kota Asia Tenggara belajar dari Indonesia. Sekarang kita tahu juga, banyak bangsa dan kota Asia Tenggara telah lebih maju daripada kita. Ini suatu pelajaran penting bagi bangsa yang korup, malas bekerja tekun, pencari jalan pintas, tak pandai berkoordinasi. Tapi kita bukan hanya perlu belajar, melainkan juga (terutama) bertindak berubah berdasarkan pelajaran itu. Berubah dan belajar memang adalah dua hal yang berbeda. Awal dari perubahan adalah keinginan untuk belajar. Sedang akhir dari belajar adalah keharusan untuk berubah.

Jakarta, 4 Oktober 2007

No comments:

Post a Comment