20 December 2008

Apakah media massa peduli pada nasib buruh migran?

Sinar Harapan meraih mutu terbaik dalam memberitakan kondisi buruh migran, sementara Antara.co.id tersering memberitakan. Tapi apa yang ada di balik kehebatan mereka? Benarkah media massa peduli pada nasib buruh migran? Komentar editor Sinar Harapan menarik kita simak. Ia nyaris menyatakan wartawan pembela nasib buruh migran datang dari "sono"-nya.

Dalam sambutan yang disampaikan setelah penganugerahan penghargaan, Wahyu Dramastuti, seorang editor dari harian Sinar Harapan —yang telah mendapatkan predikat sebagai media massa yang secara kualitatif paling peduli pada kondisi buruh migran— menyatakan bahwa di medianya terdapat para wartawan yang sejak sebelum bekerja sebagai wartawan di media itu memang sudah memiliki sikap kepembelaan terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat miskin, termasuk buruh migran. Pengelola atau pun redaksi tidak membentuk mereka secara khusus. Tapi, para editor tidak menutup untuk menerbitkan features yang mendalam tentang pelanggaran hak asasi manusia atau masalah-masalah kemiskinan atau masalah-masalah sosial yang lain. Itulah penjelasannya mengapa kiranya dalam tulisan-tulisan surat kabarnya masih menyisakan adanya features yang lebih mendalam mengupas kondisi buruh migran.

Tampaknya Wahyu nyaris hendak mengatakan bahwa memang “dari sononya” jika ada wartawan sanggup atau sampai memperlihatkan laporan yang secara jurnalistik mengupas sampai mendalam kondisi kaum miskin dalam tulisan-tulisan mereka. Dengan kata lain, barangkali ia juga hendak mengatakan, capaian jurnalistik yang tinggi tentang kepedulian sosial tidak dapat begitu saja dilatihkan dalam training-training jurnalisme. Ya tentu saja tafsir ini juga belum tentu harus demikian keadaannya. Setidaknya sejauh ini yang dikatakannya dapat berlaku, sebab bukankah sampai sekarang tampaknya belum ada usaha khusus untuk melatih para wartawan agar jadi lebih peduli pada masalah-masalah kepembelaan terhadap hak asasi manusia.

Wahyu juga menyatakan apa yang diharapkannya, yaitu bahwa media massa mohon dibuka suatu peluang atau kesempatan untuk bisa menyusun laporan-laporan khusus yang terkait dengan keadaan para korban pelanggaran hak asasi, atau kondisi sosial yang memungkinkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran, dsb. Ia mencontohkan misalnya dengan mengikuti liku-liku jalur migrasi kerja ilegal seperti di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

Manajemen media massa yang lebih kurang memiliki kemampuan pembiayaan tentu akan kesulitan untuk memberi tugas pada wartawannya untuk menyusun laporan-laporan investigasi yang lebih dalam dan lebih jauh lokasi-lokasi peristiwanya. Untuk media meanstream yang lebih banyak punya modal dan lebih banyak punya personel wartawan tentunya akan lebih mudah. Tapi mengapa mereka belum tertarik melakukannya atau mendanai para wartawannya sendiri? Mungkin karena features mendalam semacam ini belum tentu membuat media akan jadi lebih beruntung secara keuangan (misalnya, pemasang iklan jadi lebih banyak). Atau, barangkali, karena kurangnya perspektif, pemahaman dan pengandaian. Jika yang terakhir ini yang dominan, maka upaya penghargaan pada media massa atas laporan berdimensi hak asasi tak akan cukup. Perlu sikap khusus untuk melakukan diseminasi atau penyadarian dari arah para pekerja hak asasi manusia bagi media massa.

Caption foto
Foto 1: Penghargaan untuk Sinar Harapan
Foto 2: Penghargaan untuk Antara.co.id
Foto 3: Sambutan dari komisioner Komnas HAM Stanley Prasetyo Adi
Link ke foto-foto yang lain dalam Picasa
Link ke foto penghargaan pada AntaraPhoto

Link berita:
AntaraNews.co.id, 18 Des 2008: AntaraNews, Sinar Harapan Dapat Penghargaan Peduli Buruh Migran

Link media release berisi dasar penghargaan:


1 comment:

Anonymous said...

Ada ngak media komersial yg berpihat pada pembelaan hak buruh migran?

Post a Comment