Yang Terhormat Bapak Menteri Kehutanan,
Pada akhir Juni 2009 telah datang pada kami sekelompok petani asal Kabupaten Lembata, provinsi NTT, yang dipimpin bapak AS. Hadung Boleng bin Yusuf. Kebetulan pada waktu itu kami sedang berada di Lembata, sehingga kami dapat bertemu langsung dengan mereka dan berkunjung ke lokasi di mana mereka tinggal. Mereka datang mewakili 214 petani anggota Kelompok petani Penyangga Abrasi Laut/Alam Darat (KLOMPPAL/D), yang pada tahun 2004 menjadi mitra kerja dinas kehutanan dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove pola partisipatif di Kabupaten Lembata. Mereka datang pada kami dengan satu tujuan, yaitu mengadukan masalah yang mereka hadapi terkait pelaksanaan proyek. Menurut mereka, sampai proyek berakhir, tidak diketahui secara pasti berapa sesungguhnya besar anggarannya. Mereka menilai, proyek pengembangan hutan mangrove itu telah dijalankan secara tidak transparan dan terkesan manipulatif.
Sudah lama mereka mencium adanya ketidakberesan dalam proyek itu. Mereka mulai yakin akan adanya manipulasi sejak mereka diminta menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) baru, yang isinya jauh berbeda dari SPKS lama. Pada SPKS lama, tertera anggaran proyek sebesar Rp 38.228.000. Selain itu, mereka juga diperintahkan untuk membakar SPKS lama. ‘Kenapa harus dibakar?’ pikir mereka. Apa yang tertulis dalam SPKS baru itulah yang membuat mereka kemudian merasa telah menjadi korban manipulasi pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembaga. Mengapa?
Saat melihat lembaran SPKS baru yang hendak mereka tandatangani, ketua kelompok petani membaca, dalam lembaran itu tertulis angka Rp 12.000 per hari kerja, 214 petani aktif dan 424 hari kerja. Jika dikalkulasikan secara matematis, jumlah uang yang diterima kelompok petani itu semestinya 1.088.832.000. Namun pada kenyataannya mereka hanya menerima uang sebesar Rp 32.128.666 yang dibagikan untuk 214 petani. Ini berarti, dengan 424 hari kerja sebagaimana tertulis dalam catatan pihak dinas kehutanan, setiap petani hanya dibayar Rp 400 per hari kerja. Padahal dalam SPKS baru itu disebutkan, petani dibayar Rp 12.000 per hari kerja. Jauh sekali selisih yang diterima petani dengan yang tertera dalam SPKS.
Indikasi manipulasi bukan hanya dalam hal pembayaran upah kerja. Ketua kelompok petani itu mengaku, pihaknya juga pernah diminta petugas dari dinas kehutanan untuk menandatangani berkas atau blanko kosong. Selain itu, ketua kelompok petani juga diminta menandatangani kwitansi pembayaran anakan pohon bakau dan ajir oleh pihak dinas kehutanan. Padahal anakan bakau dan ajir (kayu penyangga) itu didapat petani bukan dari dinas kehutanan, tetapi dari usaha para petani itu sendiri. Tak sepeser pun uang mereka terima sebagai ganti pengadaan anakan bakau dan ajir (kayu penyangga). Ironisnya, dengan target penanaman 50.000 pohon bakau dan 10.000 cadangan di lahan seluas 10 hektar (maaf, sebelumnya kami salah ketik [50 hektar] red. 24/8/2009) yang ditetapkan pihak dinas kehutanan sebagai target, petani mengaku telah berhasil menanam bakau sebanyak 90.000 batang di lahan seluas 15,5 hektar. Jauh melebihi target yang ditetapkan pihak dinas kehutanan.
Awal Kisah
Apa sebenarnya yang mendorong para petani itu rela menanam bakau melebihi target? Selain kecintaan mereka pada lingkungan, rupanya ada iming-iming sejumlah besar uang dari pihak dinas kehutanan. Sebagai kelompok pecinta alam yang tinggal di pinggir-pinggir pantai di wilayah Lembata, tepatlah bila mereka dipilih pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembata sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove. Para petani itu sendiri tak mampu menyembunyikan kegembiraan mereka ketika dalam sosialisasi proyek pihak dinas kehutanan mengatakan, ‘Proyek ini anggarannya sangat besar, sehingga kalian jangan kaget atau jantungan kalau melihat jumlah anggaran yang tertera dalam proyek itu nanti!’
Apa yang terjadi, ternyata tak sesuai janji. Meski proyek sudah cukup lama berjalan, papan proyek belum juga dipasang. Berulangkali petani mendesak agar dinas kehutanan segera memasang papan proyek. Mereka ingin tahu berapa sesungguhnya anggaran proyek yang dikatakan sangat besar itu. Setelah didesak para petani, pada 27 Desember 2004 seorang staf dinas kehutanan secara diam-diam, pada malam hari, memasang papan proyek di lokasi proyek. Setelah papan proyek dipasang, esok harinya seorang pegawai dinas kehutanan mendatangi salah seorang ketua kelompok yang tinggal di Lamahora, Kelurahan Lewoleba Timur dan menyampaikan pesan, ‘Papan proyek sudah dipasang. Jika kalian tidak senang dengan anggaran yang tertera, silahkan lapor ke mana saja!’ Dalam papan proyek itu tertera anggaran sebesar Rp 47.546.000. Jumlah yang jauh lebih rendah dari yang dibayangkan petani, mengingat ada 214 petani yang dilibatkan dinas kehutanan dalam proyek itu.
Dalam perjalanan, ketua kelompok petani diminta menandatangani kwitansi pembayaran sebesar Rp 32.128.686. Penyerahan uangnya sudah dilakukan sebelum penandatanganan kwitansi dilakukan. Padahal dalam SPKS yang ditandatangani petani pada 20 Oktober 2004 tertera anggaran proyek sebesar Rp 38.228.000. Ketua kelompok petani memang menandatangani kwitansi senilai 38 juta, namun uang yang mereka terima hanya sebesar Rp 32 juta. Sisanya, menurut pihak dinas kehutanan, untuk bayar pajak. Meski hanya terima uang satu kali, namun ketua kelompok petani itu mengaku menandatangani dua kwitansi. Satu kwitansi senilai Rp 32 juta – jumlah yang riil diterima petani dan satu lagi kwitansi senilai Rp 38 juta.
SPKS Ganda
Persoalan ketidakberesan proyek sebenarnya sudah dianggap selesai oleh kelompok petani itu kalau saja pihak dinas kehutanan tidak membawa masalah baru. Pada tanggal 6 Januari 2005, pihak dinas kehutanan kembali mendatangi kelompok petani. Petugas itu merayu ketua kelompok petani agar bersedia menandatangani SPKS baru yang mereka katakan hanya sebagai persyaratan administratif untuk laporan ke Jakarta. Saat itu ketua kelompok petani mempertanyakan, mengapa dalam satu proyek bisa ada dua SPKS. Ditanya tentang adanya SPKS ganda, pihak dinas kehutanan meminta ketua kelompok agar SPKS yang lama dibakar saja. Meski merasakan adanya kejanggalan, namun toh ketua kelompok petani tidak kuasa menolak permintaan dinas kehutanan. Dengan berat hati, SPKS yang baru itu mereka tandatangani.
Sebelum menandatangani SPKS baru, mereka sempat membaca, dalam lembaran SPKS itu tertera angka Rp 12.000 per hari kerja, 214 petani yang bekerja, dan rincian hari kerja sebagai berikut: 200 hari kerja, 100 hari kerja, 64 hari kerja, dan 60 hari kerja, yang jumlah totalnya ada 424 hari kerja. Logikanya, dengan ditandatanganinya SPKS yang baru itu, kelompok petani dan dinas tenaga kerja mengakui bahwa ada 214 petani yang telah bekerja selama 424 hari, dengan upah Rp 12.000 per hari kerja. Angka-angka inilah yang kemudian membuat petani berpikir. Kalau benar angka-angka itu yang dilaporkan ke Jakarta, berarti dalam proyek itu petani seharusnya menerima uang sebesar Rp 12.000 X 424 hari kerja X 214 orang = 1.088.832.000. Begitulah yang mereka pikirkan. Padahal mereka merasa hanya menerima uang sebesar Rp 32.128.686, tidak kurang dan tidak lebih. Ketika mencerna kembali apa artinya angka-angka yang mereka baca dalam lembaran SPKS yang baru, muncul kesadaran bahwa mereka telah diperdaya pihak dinas kehutanan.
Tidak terima dengan ‘tipu daya’ yang dilakukan pihak dinas kehutanan, kelompok petani itu memutuskan untuk mempertanyakan perihal anggaran proyek itu ke instansi yang lebih tinggi. Mereka mengutus perwakilan kelompok datang ke Jakarta untuk meminta penjelasan langsung dari Bapak Menteri. Sampai di Departemen Kehutanan mereka mendapatkan informasi bahwa seorang anggoa DPRD Lembata, Drs. Arsyad Mohammad, baru saja bertemu Bapak Menteri. Utusan para petani itu hanya diterima oleh staf departemen kehutanan yang berjanji akan mengurus kasus mereka. Rupanya, menurut para petani itu, pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembata telah mencium rencana petani untuk datang ke Jakarta. Jadi mereka mendahului para petani menemui Bapak Menteri. ‘Pantas’, pikir mereka, ‘staf departemen kehutanan itu sudah tahu bahwa kami datang dari Lembata, padahal kami belum memperkenalkan diri’. Mereka menduga, anggota DPRD Lembata itulah yang menginformasikan pada pihak departemen kehutanan perihal kedatangan mereka.
Tidak berhasil bertemu dengan Bapak Menteri, para petani itu kemudian mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi laporan para petani itu, KPK mengirim surat ke Kejaksaan Agung. Dengan surat nomor R.757/D.PIPM/KPK/IV/2005 tertanggal 15 April 2005 yang ditandatangani Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Junino Jahya, KPK meminta Kejaksaan Agung menindaklanjuti laporan para petani itu. Pihak Kejaksaan Agung sendiri telah memerintahkan Kejaksaan Kabupaten Lembata untuk segera menindaklanjuti pengaduan para petani. Diperintahkan pula agar dalam waktu kurang dari 54 hari berkas penanganan kasus sudah harus sampai di tangan Kejaksaan Agung RI. Namun yang terjadi, kasus ini dipetieskan oleh kejaksaan Kabupaten Lembata. Ketua kelompok petani memang sempat dipanggil pihak kejaksaan kabupaten Lembata untuk dimintai keterangan, namun tidak ada proses lebih lanjut. Bahkan pihak kejaksaan mengancam akan memenjarakan mereka bila keterangan mereka tidak benar. Berulangkali para petani itu mendatangi kejaksaan untuk mempertanyakan kasus mereka, namun tidak pernah ada jawaban yang memuaskan.
Berbagai aksi telah mereka lakukan untuk menuntut penjelasan atas kasus yang mereka hadapi. Namun tidak ada satupun pihak pemerintah di Lembata yang memberikan perhatian pada kasus mereka. Ketidakpedulian ini bisa dimengerti mengingat begitu banyak kasus manipulasi dalam proyek-proyek besar bernilai milyaran di Kabupaten Lembata juga didiamkan. Padahal menurut pengakuan para petani itu, bukan uang yang pertama-tama mereka perjuangkan, tetapi kejelasan tentang anggaran proyek. Kalau benar terjadi manipulasi dalam pelaksanaan proyek, mereka ingin kasus manipulasi itu diproses secara hukum. Mengapa dalam satu proyek bisa ada dua SPKS dengan dua anggaran yang berbeda, itulah yang tidak bisa mereka terima. Ketika proyek akan dimulai, pihak dinas kehutanan bicara terbuka pada petani. Tetapi ketika proyek berjalan, mereka main kucing-kucingan.
Pada kami, para petani itu menitipkan sejumlah dokumen untuk diserahkan kepada pihak-pihak yang dapat membantu mereka mengungkap kasus tersebut. Berdasarkan pada apa yang mereka ceritakan dan dokumen-dokumen yang mereka berikan itulah kami menulis surat ini.
Melalui surat ini kami berharap Bapak Menteri bersedia memenuhi permohonan para petani yang menuntut adanya penjelasan secara jujur dan terbuka terkait kasus yang mereka alami sebagai mitra dinas kehutanan Kabupaten Lembata dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove tahun 2004. Kami yakin, dengan adanya penjelasan secara jujur dan terbuka akan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap Dinas dan Departemen Kehutanan. Demikian surat ini kami sampaikan, atas perhatian dan keseriusan Bapak dalam menanggapi pengaduan kelompok petani tersebut kami mengucapkan terima kasih.
Jakarta, 12 Agustus 2009
The Institute for Ecosoc Rights
Sri Palupi
Direktur
Tembusan:
1. Yth. Kepala Kejaksaan Agung Jakarta
2. Yth. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
3. Yth. Bapak Gubernur NTT
4. Yth. Bupati Lembata
5. Yth. Ketua DPRD Kabupaten Lembata
6. Yth. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Lembata
7. Yth. Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Lembata
8. Yth. Ketua Komnas HAM Jakarta
9. Yth. Direktur ICW Jakarta
No comments:
Post a Comment