Saat aku menatap mereka, aku segera bertanya mengapa wajah mereka terlihat demikian tua. Padahal umur dua perempuan itu tidak berpaut jauh denganku. Bahkan wajah Mama Blandina yang masih berumur 35 tahun seperti perempuan usia limapuluhan. Sepertinya ada masalah dengan para perempuan di bangsal anak itu. Benar rabaanku, tidak lama setelah mengobrol dengan Ibu Blandina, matanya segera basah seiring dengan ceritanya. Demikian juga dengan Mama Helena.
Sambil menggendong anak bungsunya yang berusia 2,5 tahun, Ibu Blandina Mafani bertutur. Dalam usianya yang tergolong muda, ia telah melahirkan enam kali. Dan enam kali pula ia melahirkan tanpa pertolongan tenaga medis. Yang lebih miris lagi, selama hamil perempuan dari desa Tulleng, kecamatan Lembur, kabupaten Alor ini tak pernah memeriksakan bayinya ke puskesmas atau ke klinik. Untung ada dukun beranak di desanya yang bisa dimintai tolong saat melahirkan. Jadi ia tidak tahu berat badan anaknya ketika lahir. Dengan demikian ia juga tidak begitu paham apakah anaknya normal dan sehat saat lahir.
Puskesmas memang jauh letaknya. Bidan maupun tenaga kesehatan tak pernah berkunjung ke rumahnya. Namun bukan hanya itu saja masalahnya. Suaminya melarangnya ke puskesmas selama ini. Saat anak bungsunya sakit parah, suaminya tetap bersikukuh untuk tidak membawanya ke rumah sakit. Setelah dipaksa beberapa tetangga, barulah ia mengijinkan anaknya yang gizi buruk ini dibawa ke puskesmas. Jadilah anak ini sampai di Bangsal Anak karena puskesmas sudah tidak bisa melayaninya. Ia tidak ikut KB karena dilarang suami. Sebagian masyarakat Alor masih percaya bahwa KB itu tidak baik. Bisa mengganggu hubungan seksual suami istri. Maka Mama Blandina hanya minum ramuan tradisional untuk mencegah kehamilan. Nyatanya anaknya tetap enam orang.
Anak bungsu Mama Blandina sudah hampir dua setengah tahun. Berat badannya hanya enam kilogram. Badannya kurus, kakinya layu, pandangan matanya kosong. Livianus nama anak itu. Sejak umur satu tahun ia tidak mau makan. Ibunya tak cukup punya waktu untuk mengurusnya. Apalagi menungguinya saat makan. Seharian ia bisa bekerja di kebun. Kalau ia ke kebun, anak-anaknya diasuh kakak-kakaknya yang juga masih anak-anak. Kalau tidak ke kebun suaminya sering memukulinya. Sepulang dari kebun, ia masih harus mencari air dan memasak.
Jangan salahkan dia kalau anaknya harus menderita gizi buruk. Ia hidup dengan banyak beban. Sehari-hari ia jarang memegang uang. Hasil kebun langsung dijual suami dan sering dipakai untuk berjudi. Uangnya tak pernah ia terima. Suaminya hanya akan kasih uang jika beras habis dan sabun habis. Setiap kali ia menerima uang dari keluarganya, selalu diminta suaminya kembali. Demikian malang nasibnya.
Sedangkan Halena yang juga telah seminggu lebih tinggal di bangsal anak untuk menunggui anaknya yang dirawat mengalami hal yang sama. Meski tidak semalang Mama Blandina, pada usia 36 tahun ia telah melahirhan lima kali. Sekalipun ia tak pernah dibantu oleh tenaga medis saat melahirkan. Meski suaminya tidak segalak suami Mama Blandina, perempuan asal desa Margeta, Alor Barat Daya ini juga harus bekerja di kebun. Anaknya ditinggal di rumah sementara ia dan suaminya bekerja di kebun. Tidak ada yang memperhatikan pola makan anak-anaknya. Akhirnya putrinya, Vitriani Bagaihing yang berusia satu tahun ini terpaksa dirawat di rumah sakit. Berat badanya hanya enam kilogram. Ia diare dan muntah-muntah saat dibawa ke rumah sakit. Seperti Mama Blandina, ia juga tidak ikut KB. Waktu aku tanya mengapa tak ikut KB, ia hanya melirik suaminya. Waktu aku tanyakan pada suaminya apakah ia melarang istrinya ikut KB, suaminya tersipu malu.
Kedua perempuan Alor itu sama-sama bernasib malang. Sama-sama menanggung beban kerja yang berat. Sama-sama punya anak banyak. Sama-sama jauh dari akses atas pelayanan kesehatan. Sama-sama tidak pernah sekolah. Sama-sama tidak boleh ikut KB. Dan sama-sama terjerat dalam budaya masyarakat yang masih belum tersentuh kemajuan, budaya yang masih menempatkan perempuan sebagai setengah manusia. Kini mereka bertemu di bangsal anak rumah sakit.
Dan masih banyak perempuan seperti mereka bisa dijumpai di desa-desa walaupun tidak selalu sampai ke bangsal rumah sakit untuk membawa bayinya yang gizi buruk. Umumnya anak-anak gizi buruk baru dibawa ke rumah sakit setelah kondisinya parah atau sudah tergolong marasmus atau kwasiorkhor atau marasmus kwasiorkhor.
Dalam lima tahun terakhir ini rata-rata jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat di kepolisian Alor sebanyak 38 kasus setiap tahunnya. Jumlah yang tidak diketahui karena tidak melapor ke kepolisian tentu jauh lebih besar lagi. Kondisi seperti ini terjadi karena masyarakat masih terkungkung dalam adat yang mendahulukan laki-laki.
Tampaknya menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan yang sering berujung pada munculnya anak-anak penderita gizi buruk ini akan makin sulit saat masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Sulit mengharapkan terjadinya perubahan kesadaran pada masyarakat tanpa dibarengi pendidikan. Masihkah kita akan menyalahkan para orang tua yang anaknya menderita gizi buruk ketika hak atas pendidikan mereka belum terpenuhi?
1 comment:
apakah sudah ada upaya inovatif untuk mengatasinya?
Post a Comment