22 September 2010

Mengatasi Kemiskinan dengan Kebun Bersama

Berawal dari Kebun Bersama
Resah melihat apatisme masyarakat ditengah belitan kemiskinan membuat Chrispianus Saku, seorang romo paroki di Gereja Katolik Gembala Baik di Kabupaten Alor, Provinsi NTT, berpikir keras mencari jalan keluar. Apalagi setelah melihat banyaknya bantuan yang disalurkan pemerintah: bantuan langsung tunai, raskin, dan juga infrastruktur. Beragam bantuan yang diberikan dengan pendekatan yang kurang pas itu makin membuat masyarakat terlena. Mereka semakin tidak ada keinginan untuk hidup lebih baik.

Romo Christ, begitu romo itu biasa disapa, berpandangan, mengajak masyarakat berubah tidak cukup dengan kata-kata dalam khotbah di gereja. Gereja harus membuat contoh suatu usaha yang menumbuhkan hasil. Kalau masyarakat melihat bahwa suatu pekerjaan itu menghasilkan, dengan sendirinya mereka akan mengikuti. Demikianlah Romo Christ mengawali karyanya bersama masyarakat di Kabupaten Alor.


Usaha untuk mengajak masyarakat itu diawali dengan membuat kebun bersama di atas tanah gereja di wilayah paroki Gembala Baik pada Agustus 2009. Kebun itu berada di atas tanah di daerah perbukitan terpencil di desa Wilai Selatan dan Fisama, Kecamanata Alor Tengah Utara. Selain itu kebun bersama juga ada di desa Mainang (Kecamatan Alor Selatan). Pembuatan kebun bersama ini bukanlah pekerjaan mudah, mengingat Paroki Gembaga Baik berada di pusat kota dan di sana hanya ada tiga imam Katolik yang memberikan pelayanan.

Kebun bersama itu dimiliki dan dikelola oleh masyarakat. Di kebun-kebun itu mereka secara bersama menanam tanaman pangan. Hasilnya dipanen bersama dan dijual kota. Hasil penjualan dibagikan ke masyarakat dalam bentuk simpanan koperasi. Selain dijual, masyarakat juga bisa mengambil hasil kebun untuk konsumsi sehari-hari.

Tanpa Perlu Dana
Meskipun baru berjalan satu tahun, namun usaha kebun bersama ini telah berkembang pesat karena masyarakat merasakan hasilnya. Mereka tidak lagi hanya menanam tanaman pangan tetapi juga mengembangkan kebun sayuran dan buah-buahan. Mereka juga mengembangkan kolam ikan. Berbagai tanaman yang dihasilkan dari kebun bersama itu, di antaranya adalah jagung, ubi jalar, kacang panjang, wortel, labu jepang, kol, cabe rawit, bawang merah, oyong/gambas, pepaya, anggur, nanas, pepaya, dan lainnya.

Dalam kolam-kolam ikan itu mereka menanam ikan mas dan mujair. Sebagian kolam dipakai untuk pembibitan ikan. Pembibitan ikan ini dibuat, selain untuk menyediakan bibit ikan bagi kebun bersama, juga menyediakan bibit ikan bagi masyarakat yang ingin membuat kolam sendiri. Mereja yang ingin membuat kolam sendiri, diperbolehkan mengambil bibit dari kolam pembibitan. Adanya kolam pembibitan ini ternyata mendorong warga masyarakat untuk ikut membuat kolam di kebun masing-masing. Air kolam berasal dari air tanah. Padahal daerah ini berada di ketinggian perbukitan.

Selain tanaman berumur pendek, gereja juga memelopori penanaman tanaman keras yang menghasilkan buah, seperti rambutan, mangga, kelengkeng dan lainnya. Buah-buahan ini ditanam di lereng-lereng bukit yang kering dan tandus, dengan menggunakan sistem irigasi tetes. Sistem irigasi tetes ini terbuat dari tabung bambu yang digantung didekat bibit tanaman yang baru ditanam. Bambu tersebut diisi air dan diberi lubang agar menetes sepanjang hari ditanah sekitar tanaman baru tersebut. Dengan cara demikian tanaman ini akan mendapatkan kelembaban secara terus menerus hingga akhirnya bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Selain untuk menghasilkan pangan, penanaman pohon berbuah ini juga bertujuan untuk penghijauan agar sumber mata air terlindungi. Selain pohon buah-buahan, masyarakat juga diajak untuk menanam pohon kenari dan kemiri. Saat ini masyarakat sudah mulai membuat lubang-lubang tanaman dikebun masing-masing. Mereka mulai mengikuti langkah gereja, menanam buah di kebun masing-masing.

Usaha kebun bersama ini menyebar bukan hanya di kalangan warga Katolik, tetapi juga di kalangan umat Kristen dari dua gereja yang berbeda. Mereka turut menanam segala rupa tanaman di kebun-kebun mereka. Bukan hanya beragam pangan yang mereka dapat hasilkan, tetapi langkah penghijauan pun dapat dicapai.

Usaha mengajak masyarakat menanam sayuran, buah maupun pohon lainnya banyak mengalami kemajuan. Yang mengherankan, kegiatan sebesar ini tidak memerlukan uang sepersen pun. Semuanya dikerjakan oleh masyarakat secara swadaya dan swadana. Paroki hanya mengusahakan bibit awalnya. Bibit yang akan dibudidayakan masyarakat dikembangkan sendiri di pekarangan paroki.

Rumah dan Kebun Bersama
Di desa Mainang, Romo Christ mengumpulkan pemuda-pemuda yang ada di sana untuk diajak dan diajari menanam sayuran, beternak, dan berkebun. Mereka diajak untuk hidup bersama, memasak bersama, dan makan bersama di sebuah rumah yang disediakan gereja. Banyak anak muda yang berminat tinggal disana. Bahkan mereka berebut untuk bisa tinggal di rumah bersama itu, meskipun ibu mereka sering tidak merelakan anaknya pergi dari rumah.

Upaya gereja untuk menggerakkan anak-anak muda tidaklah sia-sia. Kebun bersama yang dikelola anak-anak muda ini pun juga telah memberikan hasil. Saat pertama kali mereka memanen hasil kebun, panenan pertama mereka dalam bentuk sayuran itu mencapai tujuh truk. Hasil sayuran ini dijual ke kota dan hasil penjualan yang sebesar Rp 7 juta itu dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk simpanan koperasi. Mereka bisa memanfaatkan simpanan ini melalui mekanisme simpan pinjam. Dengan cara ini gereja membiasakan masyarakat untuk menabung.

Bila ditengok ke belakang, banyak pemuda-pemudi di Mainang yang bercita-cita pergi ke kota untuk menjadi tukang ojek, merantau ke jakarta untuk jadi PRT, dan bahkan banyak yang ingin ke luar negeri untuk jadi TKI. Terhadap keinginan anak-anak muda ini, Romo Christ merasa bahwa keputusan mereka untuk pergi keluar desa merupakan cita-cita yang malah akan menghambat perkembangan masyarakat desa sendiri. Menurutnya, belum tentu pemuda yang keluar desa untuk menjadi tukang ojek, PRT atau TKI itu menjadi sejahtera. Justru dengan kepergian anak-anak muda itu, desa kehilangan sumberdaya potensial untuk membangun. Pertimbangan itulah yang mendorong Romo Christ melatih anak-anak muda di Mainang untuk bertani. Ternyata peminatnya banyak. Bahkan remaja-remaja desa berebut ingin tinggal di pondok tempat berlatih tersebut. Pernah ada ibu-ibu datang ke pondok itu dan menangis karena anaknya kabur dari rumah, ingin tinggal dan berlatih bertani di pondok. Melihat minat anak-anak muda ini, Romo Christ berpandangan bahwa seharusnya kegiatan ini bisa dijadikan model bagi pendidikan pertanian, terutama oleh pemerintah.

Prinsip 3M
Dalam gerakan “kebun bersama” ini, gereja menanamkan prinsip 3M, yaitu menanam, menabung dan memelihara. Untuk menanamkan kebiasaan menabung, gereja juga membentuk koperasi. Kini sudah ada 900 orang yang menjadi anggota koperasi. Sedangkan untuk memacu semangat masyarakat, gereja menanamkan tiga prinsip pula, yaitu keinginan, kemauan, dan tekad yang kuat. Jika ketiga hal itu dimiliki, niscaya kemajuan yang dicita-citakan masyarakat akan tercapai.

Sebelum usaha kebun bersama dikembangkan, Romo Christ melihat, masyarakat tampak enggan untuk maju dan berkembang, terutama dalam meningkatkan penghasilan. Ini terjadi, menurutnya, karena sumberdaya alam berlimpah dan kebutuhan pangan tercukupi tanpa mereka harus kerja keras. Selain itu, masyarakat yang berada di daerah perbukitan cenderung kurang mengenal dunia luar sehingga parameter mengenai hidup cukup adalah sekedar makan kenyang. Untuk apa bekerja keras, toh para tetangga lain juga tak lebih darinya.

Masyarakat tidak berfikir untuk menyekolahkan anak, memberi makanan yang cukup bergizi, atau memiliki tabungan. Pengalaman Romo Christ dalam melayani dan mendampingi masyarakat memberikan banyak pelajaran tentang kondisi dan karakter masyarakat. Pelajaran itu membawanya sampai pada kesimpulan bahwa datangnya berbagai macam bantuan, baik berupa BLT, raskin, maupun bantuan lain malah membuat masyarakat makin tidak mau bekerja. ***

Oleh: Sri Maryanti

No comments:

Post a Comment