22 September 2010

Menjadi Kader Kesehatan Tanpa Memandang Pendidikan

Dalam penanganan masalah gizi yang diderita anak-anak, khususnya di wilayah Provinsi NTT, peran kader posyandu sangatlah penting. Namun peran mereka sering dipandang sebelah mata. Ini bisa kita lihat dari penghargaan terhadap kerja-kerja mereka. Penghargaan di sini tidak selalu harus diartikan dalam bentuk materi. Sebab tidak sedikit dari mereka yang punya dedikasi tinggi meski imbalan atas kerja-kerja mereka sangat kecil. Bahkan tidak sedikit yang bekerja sukarela tanpa imbalan. Padahal seperti di NTT, tidak sedikit kader Posyandu yang berasal dari keluarga miskin. Berikut adalah curahan hati seorang kader Posyandu, Yuliana Ha’e, yang kini ditunjuk sebagai ketua Posyandu Melati Kelurahan Hambala, Kecamatan Kota Waingapu.

“Saya adalah seorang pendatang dari tanah Flores – Maumere, datang ke Sumba Timur karena kecantol dengan seorang pria Sabu dari Sumba Timur yang sedang kerja proyek di Maumere saat itu. Kebetulan di Maumere pria pilihanku itu bekerja di dekat kampungku. Ketika saya berangkat ke sekolah (SMP) si pria ini sering menegurku, dan dengan tersipu malu aku balik menyapa. Lama-lama kami menjalin hubungan asmara dan pada akhirnya melarikan diri dari tanah kelahiran Maumere dan mengikuti Suami di tanah Sumba Timur.

Sesampai di Sumba, kami hidup dengan penghasilan suami yang terbatas. Setelah hidup dalam keadaan serba terbatas itu, saya mulai berenung apa yang harus saya lakukan untuk membantu suami memperoleh penghasilan. Sebab semakin hari tuntutan hidup kian meningkat. Ditambah lagi dengan kelahiran anak. Mau tidak mau saya harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan.

Memilih pekerjaan yang menyenangkan atau yang sesuai dengan pendidikan merupakan hal yang sangat sulit bagi saya, mengingat tingkat pendidikan yang saya punya. Apalagi saya ini pemalu. Lain dari itu, saya juga adalah seorang pendatang. Pribadi seperti inilah yang membuat saya selalu mundur atau sulit dalam melakukan pekerjaan yang berhubungan atau menghadapi banyak orang. Sebenarnya, saya selalu ingin berubah dari sifat pemalu ini, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa mengubahnya. Akhirnya saya pasrah dengan kelemahan saya ini. Mungkin inilah pribadiku, yang terjadi karena pilihan hidupku sendiri. Aku memilih untuk lari bersama laki-laki yang kucintai tanpa pikir panjang dan kompromi dengan keluarga.

Sulitnya mencari pekerjaan di Sumba Timur, memaksa saya mencari informasi ke kelurahan. Satu-satunya peluang kerja yang saya dapat adalah menjadi kader posyandu. Kebetulan saat itu suami saya menjadi hansip di Kelurahan Hambala, sehingga memudahkan saya mendapatkan peluang untuk menjadi kader kesehatan di Posyandu Melati bersama dengan kawan kader lainnya.

Bekerja sebagai Kader Kesehatan bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun. Banyak kesulitan dan tantangan yang seringkali mendorong untuk mundur dari pekerjaan itu. Namun menghadapi berbagai situasi yang di luar dugaan dan pelum pernah dialami, bagi saya ini merupakan tantangan, apakah maju terus atau mundur. Ketika menghadapi pengenalan akan program pelayanan Posyandu yang disebut dengan sistim pelayanan 5 meja yang mau dijalankan, saya semakin takut dan bingung. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu apa-apa tentang program posyandu dan pelayanan 5 meja yang dijalankan oleh teman-teman terdahulu.

Waktu demi waktu terus berjalan. Proses demi proses saya alami di Posyandu ini. Yang tadinya hanya coba-coba dan terpaksa menerima kerja sebagai kader Posyandu, akhirnya saya bilang pada diri sendiri kalau saya mau belajar. Dan di tempat inilah saya merasa yakin akan mendapatkan pengalaman berharga dan belajar untuk mengubah diri saya yang pemalu. Pikir saya, kalau saya malu terus bagaimana mau mendapatkan uang untuk menghidupi anak-anak saya.

Ketika pertama aktif sebagai kader Posyandu, saya diberi kepercayaan untuk mempelajati beberapa buku, termasuk Kartu Menuju Sehat (KMS), yang harus diisi setiap bulan atau setiap datang ke Posyandu. Ketika mempelajari buku-buku itu, ada rasa takut yang melanda. Rasanya seperti terjadi gempa lokal dalam diri saya. Saya mencoba mengatasi rasa takut ini. Sedikit demi sedikit saya yang dulunya pemalu menjadi sosok yang cerewet, mudah bergaul dan berteman dengan siapa saja, dan berhasil mengatasi semua keterbatasan saya. Akhirnya percaya diri saya meningkat.

Selama menjadi kader Posyandu, saya mendapati ada beberapa kader yang keluar dengan alasan tidak ada honor dan hanya kerja sukarela. Saat itu sayapun hampir mengundurkan diri. Tapi kemudian saya berpikir, kalau saya mengundurkan diri pastilah teman-teman akan menganggap saya tidak mampu dan menganggap saya ini muka uang. Padahal saya ini memang tidak mampu namun memaksakan diri karena butuh uang untuk menghidupi anak-anak saya. Saya urungkan niat mengundurkan diri. Meski saya tidak mampu, namun saya sering bertanya pada teman kader untuk minta masukan. Inilah yang membuat saya tambah maju dan pantang menyerah dalam menjalankan tugas sebagai kader Posyandu.

Seiring berjalannya waktu, satu persatu kader mengundurkan diri dengan cara tidak aktif lagi datang ke Posyandu tanpa alasan. Akhirnya saya berusaha sebatas yang saya mampu untuk tetap bertahan. Karena kesabaran saya dalam pelayanan Posyandu setiap bulan, akhirnya saya mendapat perhatian dari bidan di Puskesmas. Ketika sudah tidak ada lagi kader lain yang aktif, bidan mengulang lagi upaya mencari relawan kader yang mau membantu.

Dalam kurun waktu yang tidak saya duga, saya dipercaya menjadi Ketua Posyandu Melati – Kelurahan Hambala –Kec. Kota Waingapu. Ketika saya ditunjuk untuk menjadi ketua Posyandu Melati, saya jadi bingung. Bagaimana kalau saya nanti disuruh menyampaikan data dan informasi tentang Posyandu, apakah saya bisa. Tapi akhirnya saya berkeyakinan bahwa itu semua bisa dilakukan kalau saya sungguh merasa terpanggil dengan pelayanan yang tulus. Kalaupun ada sesuatu yang tidak diketahui, harus ditanyakan. Itulah yang menjadi modalku untuk menerima tanggung jawab sebagai ketua Posyandu.

Yang membanggakan saya dengan menerima tanggung jawab sebagai ketua Posyandu adalah saya bisa mengenal teman-teman kader dari kelurahan-kelurahan lain yang ada di tingkat Kecamatan Kota. Saya juga bisa mengenal banyak petugas. Dengan kenal banyak kader dan banyak petugas, saya juga bisa bertanya banyak. Dan yang lebih membanggakan, saya sudah bisa berulang-ulang pergi ke kantor BPM Sumba Timur untuk menyampaikan laporan dan sekaligus mengurus administrasi dan operasional Kader.

Meskipun mendapatkan sedikit saja penghasilan dengan menjadi kader, namun saya yakin masih ada berkat di tempat lain. Dan yang mendorong saya betah menjadi kader adalah tidak ada peluang kerja lain bagi saya di tempat lain. Belum tentu dengan keluar dari kader saya bisa mendapatkan pekerjaan lain. Apalagi pendidikan saya SMP saja tidak tamat. Singkat cerita...saat ini saya masih tetap menikmati berkat Tuhan lewat pelayanan Posyandu dan kepercayaan yang Tuhan berikan menjadi Ketua Posyandu. Hal lain yang membuat saya bangga, saya hafal rumah Ibu Hamil dan Ibu-ibu yang mempunyai Balita. Karena kalau 1-2 kali tidak datang ke Posyandu, saya berkunjung ke rumah mereka. Satu persatu ibu hamil dan ibu pemilik anak balita yang tidak datang ke posyandu saya kunjungi dan saya ajak untuk datang dan membawa anak-anaknya ke Posyandu....”

Oleh: Ninu Rambu

No comments:

Post a Comment