02 April 2011

“PASAR RINTISAN TKI” (Bagian 2) :

Mimpi dan Perjuangan Seorang Mantan TKI 

Sri Palupi

Situasi Konter Berti
Perempuan Tangguh

Luar biasa mimpi dan kerja keras seorang mantan TKI itu. Tapi ngomong-ngomong, siapa sebenarnya Berti Sarova?  Perempuan tangguh yang tidak hanya bisa bermimpi tapi juga ulet dalam mewujudkannya itu lahir pada 8 September 1976 di Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Bandar Lampung. Anak pertama dari tiga bersaudara itu telah menikah sebelum menjadi TKI di Taiwan. Ketika berangkat ke Taiwan, ia meninggalkan anak pertamanya yang baru berumur tiga bulan dalam asuhan orang tuanya. Suaminya sudah lebih dulu berangkat ke Taiwan dan bekerja di pabrik mesin jahit. Kini ia sudah memiliki dua anak dan anak pertamanya sudah berumur 11 tahun.

Usahanya mengembangkan pasar dan koperasi TKI tidak terlepas dari peran suaminya Eko Dedi Setiawan, yang sama-sama mantan TKI Taiwan. Dia jugalah yang setia mendukung dan membantu Berti mewujudkan mimpinya. Mereka telah bekerjasama membangun usaha sejak keduanya belum menjadi TKI. Baik Berti maupun suaminya sama-sama merasakan suka duka menjadi TKI. Keduanya juga sama-sama merasakan bagaimana menjadi TKI sukses dan apa artinya menjadi TKI gagal. Sebelumnya tidak pernah terpikir bahwa mereka akan menjadi TKI. Namun usaha rakit speaker yang hancur di masa krisis ekonomi 1998 memaksa mereka mencari penghidupan lain dengan menjadi TKI.


Berti sendiri berangkat ke Taiwan pertama kali pada tahun 1999 dan pulang tahun 2001. Ia termasuk TKI yang beruntung karena mendapatkan PJTKI, agency, dan juga majikan yang baik. Ketika banyak TKI di Taiwan dikenai potongan gaji 14 bulan, ia hanya dikenai potongan gaji 7 bulan. Meski belum sampai dua bulan di penampungan PJTKI dan juga belum menguasai bahasa Mandarin ataupun bahasa Inggris, ia sudah diberangkatkan ke Taiwan. Beruntunglah majikannya baik, sehingga tidak terlalu mempermasalahkan kemampuannya dalam berbahasa. Ia berkomunikasi dengan majikan menggunakan bahasa campuran: Mandarin, Inggris, dan juga bahasa isyarat. Agency-nya yang tergolong baik membantunya berkomunikasi dengan majikan ketika ia punya kesulitan dengan makanan yang disediakan majikan. Atas bantuan agency, majikan membebaskan Berti untuk memilih makanannya sendiri.

Selama kerja di Taiwan, Berti punya cukup banyak waktu luang. Sesuai kontrak, pekerjaannya hanyalah menjaga ama (nenek). Namun ketika tiba di Taiwan, ama ternyata meninggal dan ia diminta majikan menjaga akong (suami ama), seorang pensiunan dokter militer. Pekerjaannya tergolong ringan. Selain belanja dan masak, setiap pagi dan sore ia mengantar Akong pergi ke taman.

Kemampuan Berti sebagai wirausahawan sudah ia tunjukkan sejak bekerja di Taiwan. Di antara aktivitasnya bekerja di rumah majikan ataupun di saat belanja dan menemani akong pergi ke taman, Berti memanfaatkan peluang bisnis. Ketika pergi ke pasar ia membeli baju-baju yang kemudian ia jual kembali ke teman-teman TKI yang ia temui di taman. Ide  jualan baju muncul ketika para TKI menyukai baju-baju yang ia pakai. Ia membeli baju-baju di pasar seharga 50 – 100 NT dan menjualnya dengan harga 200 NT. Ketika ia tahu teman-teman TKI suka memutar VCD lagu-lagu, muncul gagasan untuk menggandakan VCD dan menjualnya ke teman-teman TKI. Dengan komputer hasil rakitan suaminya yang sama-sama kerja di Taiwan, Berti menggandakan VCD dan mengemas VCD hasil copy-an itu ke dalam paket-paket VCD. Satu paket berisi 12 VCD, ia jual dengan harga 1000 NT. Ia dapat untung lumayan besar karena untuk menggandakan satu paket VCD cuma butuh modal 100 NT. Bukan hanya baju dan VCD, ia juga melayani pembelian berbagai macam barang yang dipesan para TKI yang tidak punya waktu sebanyak dirinya.

Usaha penggandaan VCD bisa berjalan atas kebaikan majikan. Majikan tidak keberatan ia menjalankan penggandaan VDC sebagai usaha sampingan. Bahkan majikan senang melihat kreativitas dan keuletannya dalam memanfaatkan peluang. Tentu saja ini semua bisa terjadi karena majikan sudah lebih dulu puas dengan hasil kerja Berti. Terlebih setelah Berti mengembalikan uang 10.000 USD yang ia temukan di saku jaket majikan. Jaket itu diberikan majikan untuk dipakai Berti. Majikan sama sekali sudah lupa kalau di dalam saku jaket itu masih tersimpan uang ribuan dollar. Makanya majikan senang sekali ketika Berti menyerahkan uang ribuan dollar yang sudah tak diingatnya lagi itu.

Dari hasil kerja sampingan selama di Taiwan, Berti bisa membeli kebun, pekarangan rumah dan juga sawah. Namun apa yang ia beli ini kemudian ludes dijual ntuk menutup kerugian atas usahanya yang bangkrut akibat ditipu teman. Ceritanya cukup panjang. Sepulang dari Taiwan, seperti yang sudah saya ceritakan di atas, ia membuka usaha wartel di kapling pasar yang baru dibuka oleh desa, dengan modal Rp 15 juta. Awalnya wartel ini cukup ramai karena belum ada saingan. Dari usaha wartel itu, setiap bulan Berti bisa memperoleh penghasilan bersih Rp 10-15 juta. Dari usaha wartel ini pula ia bisa membeli tanah dan membangun kios toko sebanyak 10 unit dan tiga kios sayur. Kios yang dibangun dengan modal paling banyak Rp 7 juta itu ia jual dengan harga Rp 10 juta.

Usaha wartel mulai merosot dan pemasukan semakin berkurang setelah ada telepon masuk desa. Akhirnya ia dan suami beralih usaha dengan membuka dealer motor Cina. Usaha ini awalnya cukup maju karena belum ada saingan. Dalam satu bulan penjualan bisa mencapi 30-40 motor, dengan penghasilan bersih mencapai Rp 9 juta per bulan. Setelah dealer motor Cina menjamur, penghasilan pun berkurang. Usaha dealer bangkrut setelah uang angsuran sebesar Rp 124 juta dibawa kabur teman. Untuk mengganti uang angsuran itu, seluruh aset tanah ia jual. Dari dealer motor ia kemudian beralih usaha ke jual beli barang elektronik. Usaha ini pun tidak berlangsung lama karena kalah bersaing dengan usaha jual beli elektronik dengan sistem kredit.

Ketika semua aset tanah sudah dijual dan tidak ada lagi modal usaha, Berti dan suaminya memutuskan untuk kembali menjadi TKI.  Keberangkatan ke Taiwan kali kedua ini tidak menguntungkan bagi Berti dan suaminya. Suaminya gagal berangkat, kena tipu PJTKI. Padahal uang penempatan sebesar Rp 8 juta sudah ia bayarkan ke PJTKI. Selain suaminya, ada 8 orang lain dari Lampung yang sama-sama kena tipu. Sementara keberangkatan Berti ke Taiwan untuk kali kedua berakhir dengan kegagalan. Bukan hanya kegagalan tetapi juga memberinya pengalaman berharga akan perilaku para pejabat publik Indonesia, yang menurutnya sebelah mata saja memandang TKI. Berti menilai, persoalan TKI tidak pernah dianggap penting oleh para pejabat yang mengaku peduli TKI. Itulah mengapa ia bertekad untuk membuat sebanyak mungkin warga desa menyingkirkan cita-cita menjadi TKI dari hati dan pikiran mereka.

Setelah gagal sebagai TKI di Taiwan, Berti kembali lagi ke daerah. Pada saat itu ia hanya punya uang Rp 2 juta. Dengan modal sebesar itu, ia bersama suami  memulai usaha dengan jualan pulsa telepon seluler. Pelan-pelan modal usaha bertambah. Dari jualan pulsa ia membuka kios telepon seluler, termasuk servis dan jual beli telepon seluler beserta asesorisnya. Dua tahun berjalan, hasilnya lumayan. Ia kemudian membuka dua cabang. Kembali nasib sial mendatanginya. Dalam satu malam modalnya habis disikat maling yang mengambil semua barang di dua kios, termasuk semua telepon seluler yang sedang diservis. Ia mengeluarkan Rp 15 juta untuk mengganti semua telepon seluler milik pelanggan yang tengah diservis.   

Meski berulangkali jatuh dan kehilangan modal usaha, namun Berti dan suaminya tidak pernah menyerah. Selalu saja mereka berani memulainya kembali dari nol. Berti sendiri punya keyakinan, kalau berusaha jangan takut bangkrut. Meski modal mereka habis, namun usaha servis telepon seluler tetap berjalan. Sedikit demi sedikit mereka mulai mengumpulkan modal dan kembali membuka kios telepon seluler yang melayani pembelian pulsa, jual beli telepon seluler dan asesorisnya. Dalam waktu 1,5 tahun, sudah ada 100 kios yang menyabang atau mengambil pulsa, telepon seluler dan asesorisnya dari kiosnya. Yang patut dibanggakan, meski usahanya telah berkembang dan secara ekonomi boleh dibilang sudah mulai mapan, namun Berti tetap berorganisasi di SBMI sebagai pengurus tingkat kecamatan.

Rupanya bukan hanya di organisasi TKI Berti beraktivitas. Ia juga merintis pendirian koperasi di SMA tempat ia dulu bersekolah. Koperasi yang ia dirikan ini beranggotakan alumni dan siswa yang masih bersekolah. Meski baru berdiri di tahun 2011, namun koperasi rintisan Berti ini sudah berhasil menjaring lebih dari 3.000 orang yang menjadi anggota dan mengumpulkan modal sebesar Rp 85 juta.


Buruknya Perlindungan TKI

Apa yang membuat Berti begitu bertekad bisa menghapus keinginan menjadi TKI dari pikiran dan hati orang-orang di desanya? Apa yang membuatnya berharap bahwa semua warga di desanya dan di desa-desa manapun di Indonesia tidak sudi lagi menjadi TKI? Rupanya ada luka dan kekecewaan mendalam yang dirasakan Berti sebagai seorang mantan TKI yang gagal. Ia sendiri mengalami bagaimana TKI telah dilecehkan dan dipandang sebelah mata oleh para pejabat pengurus TKI di negeri ini. Ia juga merasakan bagaimana sulitnya memperolah keadilan sebagai TKI yang telah ditipu dan dieksploitasi oleh PJTKI dan agency di luar negeri.

Kekecewaan itu bersumber dari pengalaman pahitnya di tahun 2007. Tahun 2007, Berti berangkat kembali ke Taiwan untuk kedua kalinya melalui PJTKI PT. Bidar Putra Sukses dan dipekerjakan di rumah sakit jompo. Tidak seperti keberangkatannya yang pertama, kali ini ia mendapatkan PJTKI dan agency yang buruk. Cilakanya, keburukan agency dan PJTKI ini juga ditopang oleh buruknya sistem pelayanan perlindungan TKI dalam pemerintahan RI. Kenapa bisa begitu? Simaklah bagaimana perlakuan para pejabat publik Indonesia yang berwenang melindungi TKI terhadap Berti, seorang TKI korban eksploitasi PJTKI dan agency yang gigih dalam berjuang mendapatkan keadilan.

Ketika berangkat ke Taiwan, Berti menandatangani surat perjanjian kerja (SPK) di kantor PJTKI. Dalam perjanjian kerja yang ia tandatangani  tertulis, Berti Sarova dipekerjakan sebagai perawat di rumah sakit jompo, dengan gaji pokok 17.280 NT dan uang lembur untuk 1 jam 100 NT. Tertulis juga bahwa ia wajib bekerja selama 12 jam sehari atau 8 jam kerja dan ditambah dengan 4 jam lembur.

Setiba di Taiwan, Berti langsung diantar agency ke rumah sakit tempat ia bekerja. Esoknya, agency HENSIN datang dan memintanya menandatangani berkas-berkas kosong. Entah berapa lembar kertas kosong yang telah ditandatanganinya. Ia sendiri sebenarnya keberatan menandatangani berkas kosong. Tapi mau menolak juga tidak bisa, karena agency memaksanya. Kata agency, semua TKI yang baru datang wajib tanda tangan. Merasa ada yang tidak beres dengan tanda tangan di atas kertas kosong,  ia menuliskan tanggal yang berbeda-beda di atas tanda tangannya.

Setelah dua bulan bekerja di rumah sakit jompo, ia mendapati kenyataan, agency telah menipunya. Sudah dua bulan kerja ia belum juga terima gaji. Padahal janjinya, setiap bulan gaji akan ditransfer ke rekeningnya. Ketika ia menanyakan perihal gajinya, agency malah marah dan memintanya untuk pulang ke Indonesia. Tentu saja ia menolak dipaksa pulang. Ia juga tidak tahu mengapa agency marah dan memaksanya pulang. Karena berniat memulangkan Berti, agency kemudian membawanya ke Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI). Pada KDEI pihak agency melaporkan, Berti berniat untuk kembali ke Indonesia. Tetapi di depan petugas KDEI Berti menyangkalnya karena ia memang tidak mau pulang. Bahkan Berti sempat bertanya pada pihak KDEI berapa sebenarnya gaji yang diterima TKI yang kerja di rumah sakit. Mendengar pertanyaan Berti, pihak KDEI marah pada agency karena TKI-nya tidak diberi tahu gajinya berapa. Berti  juga melaporkan pada pihak KDEI kalau gajinya belum dibayar. Pihak KDEI memaksa agency untuk mengembalikan Berti ke rumah sakit. Sayangnya, pihak KDEI tak bicara sedikitpun pada agency tentang gajinya yang belum dibayar.

Bukannya dikembalikan ke tempat ia bekerja, Berti justru disekap oleh agency.  Ia disekap di kamar khusus yang ada di kantor agency. Kamar itu menurutnya khusus untuk menyekap para buruh migran yang membangkang. Kamar itu dikunci dari luar sehingga Berti tidak bisa keluar. Makanan untuknya disorongkan pihak agency lewat pintu. Selama dalam kurungan agency, ia terus menerus ditekan secara psikis agar menyerah dan bersedia dipulangkan. Selama dalam kurungan agency, ia merasa depresi dan putus asa. Meski dalam kondisi depresi, ia masih bisa memikirkan cara keluar dari kantor agency. Satu akal ia temukan. Ia bicara pada agency kalau ia bersedia dipulangkan asalkan ia boleh berbicara dengan pihak KDEI. Karena bagaimanapun juga, menurut Berti, ada aturan di Taiwan bahwa kalau agency hendak memulangkan pekerja migran harus ada surat pengantar dari pihak perwakilan pemerintah asal pekerja migran.

Untuk kedua kalinya Berti dibawa agency ke KDEI. Berti senang sekali ketika yang  menemuinya di KDEI adalah petugas yang sama yang sebelumnya telah membelanya. Berti berterus terang pada petugas di KDEI kalau sebenarnya agencylah yang memaksanya pulang. Ia sendiri tetap pada keputusan untuk menolak dipulangkan. Untuk kedua kalinya pihak KDEI menegur agency. Agency kecewa sekali dengan sikap Berty yang bersikeras untuk tidak mau pulang.

Penolakannya untuk pulang membuatnya dikurung kembali oleh agency. Beruntunglah pada saat itu ada seorang pekerja migran asal Thailand yang juga dikurung di kamar yang sama. Pekerja asal Thailand ini meminjaminya telepon.  Ia kemudian mengontak KDEI dan menceritakan keadaannya yang sebenarnya. Sayang bahwa tidak ada petugas KDEI yang mengambil tindakan. Mereka hanya menelpon agency dan meminta agency untuk mengembalikan Berti ke tempat bekerjanya di rumah sakit. Pihak KDEI sama sekali tidak mengecek keadaan Berti yang telah melaporkan kalau dirinya tengah disekap. Sulit dipahami bahwa informasi tentang adanya TKI yang disekap agency sama sekali tidak membuat pihak KDEI tergerak untuk mengambil tindakan atau setidaknya mengecek kondisi Berti. Mereka merasa sudah cukup berbuat hanya dengan menelpon agency. Bisa dipahami kalau perwakilan RI di luar negeri sering terlambat tahu tentang kondisi TKI yang dikenai hukuman mati, disiksa atau yang mati. Sudah tahu ada TKI disekap saja, mereka juga tidak bertindak. 

Berti sendiri sadar mengapa agency bersikukuh memaksanya pulang dan tidak mau mengembalikannya ke rumah sakit Jompo. Mereka takut ia akan membongkar dan menceritakan keburukan agency pada teman-teman TKI di rumah sakit. Berti tahu, 23 TKI yang bekerja di rumah sakit itu sebenarnya telah menjadi korban penipuan agency. Sama seperti dirinya, mereka juga dipaksa menandatangani kertas kosong  yang mereka sendiri tidak tahu untuk apa. Ada juga yang dipaksa menandatangani kertas berisi tulisan dalam bahasa Cina yang tidak mereka mengerti.

Berti sendiri mempertanyakan masalah gaji, selain karena dua bulan kerja belum  terima gaji, ia juga melihat besaran gaji yang diterima teman-teman TKI jauh di bawah ketentuan yang tertulis dalam kontrak. Dalam kontrak tertulis gaji pokok 17.280 NT, dengan tambahan uang lembur sebesar 100 NT per jam. Sementara para TKI yang sudah bekerja 12 jam sehari hanya terima gaji sebesar 13.000 NT, sudah termasuk uang lembur.

Berbagai upaya telah dilakukan agency untuk membuat Berti menyerah dan bersedia dipulangkan. Penyekapan dan tekanan psikis  tidak membuat Berti menyerah meski ia sudah dalam kondisi depresi. Ia bertahan dengan menuliskan semua peristiwa yang ia alami selama berada dalam penyekapan agency dalam buku yang ia simpan sampai sekarang. Satu pertanyaan berulangkali ia tuliskan dalam buku itu, “Mengapa agency begitu takut sama aku?”

Untuk ketiga kalinya agency membawa Berti ke KDEI. Kali ini Berti dihadapkan pada petugas yang berbeda. Ia masih ingat nama petugas KDEI itu karena berbeda dengan petugas sebelumnya, kali ini ia justru dipojokkan dan ditakut-takuti oleh petugas KDEI. Kali ketiga ini agency membawa surat pernyataan yang di dalamnya tertera tanda tangan Berti. Menurutnya, isi surat pernyataan itu semuanya fitnah. Di dalamnya tertulis bahwa ia mengakui kalau selama bekerja di rumah sakit ia lupa menutup oksigen, ia sengaja memasukkan tissue ke pantat pasien, ia juga memberikan bedak ke pasien tanpa terlebih dahulu membersihkan tubuh pasien, dan lain-lain fitnah yang ia sendiri sudah lupa detilnya. Tertulis juga bahwa karena kesalahan-kesalahannya itu ia bersedia dipulangkan. Padahal semua itu tidak benar. Ia tidak pernah merasa menandatangani surat pernyataan yang semua isinya adalah kebohongan. Pada saat itu sadarlah ia apa artinya tanda tangan di atas kertas kosong yang agency paksakan di saat ia baru tiba di Taiwan. Rupanya tandatangan di atas kertas kosong itu mereka pakai untuk membuat surat fitnah.

Setengah mati Berti menjelaskan pada petugas KDEI kalau surat pernyataan itu fitnah dan ia tidak pernah menandatangani surat semacam itu. Ia sangat kecewa pada KDEI karena tidak mempercayai apa yang ia katakan. Betapapun ia menyatakan bersedia dibawa ke pengadilan untuk membuktikannya, petugas di KDEI sama sekali tidak percaya. Bahkan pihak KDEI menakut-nakuti dia dengan mengatakan, ia bisa dijebloskan ke penjara kalau menolak dipulangkan. Pada saat itu Berti bersikukuh tidak mau pulang dan dipenjara pun ia siap karena ia merasa tidak bersalah.

Kembali Berti dikurung di kantor agency. Pada suatu hari Berti dikeluarkan dari kurungan. Agency bilang padanya kalau ia akan diantar ke rumah sakit untuk bekerja kembali. Namun ternyata agency menipunya. Ia dibawa ke bandara bersama  tujuh orang suruhan agency. Sesampai di bandara Berti diseret oleh tujuh orang itu karena dia menolak turun. Berti berteriak-teriak minta tolong. Namun apalah artinya seorang asing yang depresi di hadapan polisi dan petugas bandara. Betapapun ia berteriak minta tolong tak satupun yang peduli. Pihak agency yang turut mengantar Berti ke bandara mendekati polisi dan petugas bandara. Berti yakin, pihak agency pasti mengatakan pada para petugas itu kalau dirinya kurang waras. Ia berpikir  demikian karena setelah pihak agency bicara dengan polisi dan petugas bandara, petugas bandara bersama pihak agency kemudian membawanya melalui lorong khusus. Keluar dari lorong ia sudah berada di depan pesawat. Pada saat itu agency memberinya uang 1.500 NT yang mereka katakan sebagai gajinya selama bekerja.  

Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Berti kembali mengontak pihak KDEI di Taiwan dan ia disarankan untuk melapor ke BNP2TKI.  Mengikuti saran KDEI, ia mengadukan kasusnya ke BNP2TKI. Pasca pengaduan itu, PJTKI yang menempatkannya memberinya uang asuransi sebesar Rp 2 juta. Berti tidak puas. Bukan uang asuransi yang ia tuntut, tetapi keadilan. Gajinya tidak dibayar dan ia dipaksa pulang tanpa alasan. Padahal ia sudah bayar uang penempatan sebesar Rp 7 juta pada PJTKI.

Berti datang lagi ke BNP2TKI menanyakan penyelesaian kasusnya. Pada saat itu rupanya pihak BNP2TKI sudah mendapatkan laporan dari pihak PJTKI bahwa gaji Berti sudah dibayar dan sudah sesuai dengan yang tertulis dalam kontrak kerja. Pihak PJTKI juga sudah menyerahkan berkas kontrak kerja pada BNP2TKI. Namun setelah Berti mengecek berkas kontrak kerja yang diserahkan PJTKI ke BNP2TKI itu ia mendapati tanda tangannya dipalsukan. Berti tak kuasa menanggung kemarahan dan mendesak BNP2TKI dan PJTKI untuk membuktikan kalau ia benar-benar sudah terima gaji. Pihak agency di Taiwan kemudian mengirimkan bukti print gaji yang di dalamnya ada tanda tangan Berti. Melihat kertas berisi print gaji yang di dalamnya tertera tanda tangannya, sadarlah ia untuk kedua kalinya akan arti kertas kosong yang ia tanda tangani sewaktu tiba di Taiwan. Ternyata pihak agency menggunakannya juga untuk mengeprint bukti pembayaran gaji yang sama sekali tidak ia terima. Bukan hanya itu. Pihak agency juga mengirimkan surat pernyataan yang isinya fitnahan yang sama sebagaimana surat yang diberikan agency pada pihak KDEI.

Meski sangat jelas PJTKI telah memalsukan tanda tangannya dan agency telah memperdayanya, namun toh BNP2TKI lebih percaya pada bukti palsu yang disodorkan PJTKI dan agency. Padahal kalau mau sedikit berpikir, BNP2TKI tidak akan bisa diperdaya agency. Bayangkan saja, dalam bukti print gaji, tanggal penandatanganan tertulis tanggal satu bulan sembilan tahun 2008. Padahal ia pulang dari Taiwan tanggal 12 Januari 2008. Demikian juga dengan surat pernyataan berisi fitnahan itu tertulis tanggal satu bulan tujuh tahun 2008. Jelas semua itu mereka print di atas kertas kosong yang dipaksakan pada Berti untuk ditandatangani saat ia tiba di Taiwan. Agency sendiri tidak sadar kalau tanggal penandatanganan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tapi apa mau dikata, setali tiga uang dengan dikap KDEI, BNP2TKI lebih percaya pada PJTKI dan agency. Buktinya, mereka tidak mengambil tindakan meski sudah jelas PJTKI dan agency menipunya. Mereka juga tidak mengambil tindakan meski PJTKI akhirnya mengakui kalau telah memalsukan tanda tangan Berti untuk membuat SPK palsu. Maklum, PJTKI dan agency adalah orang-orang berduit, begitulah yang ada dalam pikiran Berti.

Kekecewaan lain terhadap BNP2TKI adalah bahwa BNP2TKI menganggap kasus Berti selesai setelah BNP2TKI memfasilitasi pertemuannya dengan PJTKI. Dalam pertemuan itu pihak PJTKI menyanggupi akan mengembalikan biaya penempatan yang sudah dibayar Berti dan kemudian semua persoalan dianggap selesai. Padahal Berti tidak sepakat dengan tawaran PJTKI karena ia menghendaki BNP2TKI mengambil tindakan terhadap PJTKI yang telah memalsukan tanda tangannya untuk membuat kontrak kerja palsu. Tapi apalah daya seorang TKI di hadapan para pejabat BNP2TKI yang dengan tegas mengatakan, mereka tidak punya kewenangan mengurus kasus Berti. Terkait kasus pemalsuan tanda tangan itu BNP2TKI menyarankan agar Berti melaporkannya ke Depnakertrans.

Mengikuti saran BNP2TKI ia datang mengadukan kasusnya ke Depnakertrans. Apa yang terjadi kemudian adalah ia merasa dipermainkan. Sebelum mengadukan kasusnya, Berti terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihak Depnakertrans tentang apa yang terjadi kalau ada PJTKI memalsukan tanda tangan TKI. Pada saat konsultasi pihak Depnakertrans memberikan jawaban bahwa PJTKI yang memalsukan tanda tangan TKI bisa terkena sanksi. Tapi apa yang disampaikan pihak Depnakertrans itu ternyata kosong belaka. Terbukti, setelah ia mengadukan kasus yang dialaminya terkait pemalsuan tanda tangan oleh PJTKI untuk membuat surat perjanjian kerja palsu, pihak Depnakertrans justru menyarankan untuk melaporkan kasusnya ke polisi saja. Alasannya, pihak Depnakertrans tidak berwewenang menangani kasus pemalsuan tanda tangan.

Mengikuti saran Depnakertrans, Berti datang ke Mabes POLRI dan mengadukan kasus pemalsuan tanda tangan oleh PJTKI yang telah merugikannya. Yang terjadi, pihak Mabes POLRI juga menyatakan tidak berwenang menangani kasusnya kalau tidak ada surat dari Depnakertrans. Berti kembali lagi ke Depnakertrans untuk mendapatkan surat yang diminta Mabes Polri, namun usahanya sia-sia belaka.

Bukan hanya ke BNP2TKI dan Depnakertrans Berti mencari keadilan. Ia juga telah melaporkan kasusnya ke Deplu dan Komnas HAM. Harapannya, dengan mengadu ke Deplu, pihak Deplu bisa melakukan tindakan terhadap agency yang jelas-jelas telah menipu banyak TKI dan membuat laporan palsu. Dengan ditindaknya agency ia berharap bisa mengurangi TKI yang jadi korban. Tapi semuanya sia-sia. Para pejabat yang menurut undang-undang berwenang melindungi TKI itu ternyata sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan. Di sinilah Berti belajar tentang apa artinya menjadi TKI di republik ini. Kemarahannya semakin menjadi ketika beberapa hari kemudian ia mendapat khabar, Titin, TKI asal Banyuwangi yang diurus oleh PJTKI yang sama, mengalami nasib seperti dirinya. Titin dipaksa pulang oleh agency karena ia juga mempermasalahkan gajinya.

Pesan Simbolik

Betapapun Berti pernah punya luka dan kekecewaan mendalam dengan lembaga-lembaga negara yang berwenang dalam perlindungan TKI, Berti toh tetap menyimpan  harapan suatu saat akan ada perubahan pada kinerja lembaga-lembaga negara pengurus TKI. Harapannya ini ia tunjukkan dengan mengundang BNP2TKI untuk meresmikan pasar desa “Rintisan TKI”. Ia kesampingkan segala luka dan marahnya pada BNP2TKI.

Dengan mengundang BNP2TKI untuk meresmikan “Pasar Rintisan TKI”, ia sebenarnya ingin menunjukkan bahwa para mantan TKI yang selama ini mereka pandang sebelah mata itu ternyata punya kemampuan untuk berbuat sesuatu bagi diri, keluarga dan juga masyarakat. Ia berharap, dengan melihat hasil kerja dan perjuangan TKI di daerahnya, BNP2TKI tergugah untuk lebih kerja keras   meningkatkan kinerjanya dalam memberikan perlindungan pada TKI dan mewujudkan keadilan bagi para TKI yang mengalami masalah.

Saya sendiri menilai, pesan simbolik yang disampaikan Berti pada BNP2TKI itu sejatinya ditujukan bukan hanya pada para pejabat BNP2TKI tetapi juga pada semua pejabat publik di negeri ini. Dari lubuk hati mereka yang paling dalam, para mantan TKI yang sudah dipandang sebelah mata oleh para pejabat publik itu hendak menyampaikan pesan, “Jangan pernah merasa sudah bekerja dan berbuat banyak untuk rakyat”.

Setelah menuliskan kisah hidup dan perjuangan Berti ini, muncul pertanyaan di benak saya. Seandainya Ketua DPR Marzuki Alie, semua anggota DPR/D dan para pejabat negara yang berwewenang mengurus dan melindungi TKI itu membaca kisah hidup dan perjuangan Berti dan teman-temannya itu, apakah mereka masih memandang sebelah mata pada TKI? ***


No comments:

Post a Comment