14 October 2011

“Kalau Bukan Kami Siapa Lagi?”: Kisah Guru SD di Pedalaman



Yang namanya guru mangkir, tidak menjalankan kewajibannya sebagai guru alias  libur panjang tidak mengajar itu sudah jamak terjadi di sekolah dasar di Papua. Tidak heran kalau banyak anak lulusan SD di Papua tidak tahu membaca, menulis dan berhitung dengan baik. Di tengah fenomena guru mangkir, memang tidak mudah menemukan sosok guru yang bisa jadi panutan. Tapi bukan berarti di sana tidak ada lagi guru yang punya dedikasi terhadap profesinya.  Meski sedikit jumlahnya, kita masih bisa temukan guru yang punya motivasi kuat menjadi guru bukan sekadar untuk mendapatkan pekerjaan tetapi demi mendidik anak-anak. Salah satu dari yang sedikit itu adalah Antonia Korain, guru sekaligus kepala sekolah SD di Kampung Mosun, Distrik Aifat Utara, Kabupaten Maybrat, Papua Barat.

Antonia Korain
Antonia Korain, 42 tahun, ibu tiga anak yang lahir dan besar di kampung Mosun ini sejak kecil memang sudah bercita-cita menjadi guru. Alasannya, sekolah di kampungnya kekurangan guru. Lebih dari itu, ia ingin menjadi guru bukan sekadar untuk mendidik anak-anak tetapi juga mendidik anak-anak supaya mau menjadi guru. “Bayangkan, kalau tidak ada lagi yang mau menjadi guru, akan jadi apa bangsa ini”, katanya.

Tekad kuatnya untuk menjadi guru itulah yang membuatnya menolak beasiswa untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Kesukaannya mengajar memantapkan pilihannya untuk melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Sebelum diangkat menjadi kepala sekolah SD pada tahun 2008, ia sudah 20 tahun mengajar di sekolah pedalaman.

Setelah membaca suka duka Antonia dalam menjalani profesinya sebagai guru SD di pedalaman, anda akan sependapat dengan kami, yaitu bahwa Antonia Korain adalah seorang guru istimewa. Simaklah kisahnya berikut ini.

Sulitnya Jadi Guru di Pedalaman

“Kehidupan guru di pedalaman sangat sulit. Saya sendiri merasakan bagaimana sulitnya jadi guru di pedalaman. Gaji dan fasilitas sangat minim, bahkan tidak mencukupi untuk hidup di pedalaman yang semuanya serba mahal. Bayangkan, untuk beli beras saja setiap bulan saya harus keluarkan Rp 300.000 untuk 40 kg beras.  Padahal gaji saya hanya Rp 2 juta. Belum lagi gaji sering terlambat.  Uang lauk pauk dan insentif sudah lama tidak kami terima.

Karena gaji tidak mencukupi, saya harus cari usaha lain. Salah satunya adalah berkebun. Dengan berkebun, selain menghemat pengeluaran juga menambah penghasilan. Suami saya yang petani, sehari-hari kerjanya berkebun dan juga berburu. Hasil buruan dijual untuk menambah penghasilan. Dengan gaji yang pas-pasan, saya dan keluarga hidup apa adanya, tidak bermimpi yang muluk-muluk.

Antonia Korain di depan murid
Di pedalaman tidak ada listrik dan tidak ada buku. Ini membuat guru kesulitan untuk menyiapkan bahan mengajar. Keinginan saya sendiri untuk menambah wawasan dalam mengajar terbentur oleh ketiadaan buku. Selain itu kerja kebun juga menyita waktu dan melelahkan. Untunglah pengalaman selama bertahun-tahun mengajar membantu saya untuk cepat menguasai materi pelajaran. Apalagi di sekolah saya bertugas mengajar anak-anak kelas 1-3, yang tidak bisa dilimpahkan pada guru-guru muda. Mengajar kelas 1-3 jauh lebih sulit daripada mengajar kelas 4-6. Makanya target saya dalam mengajar anak-anak kelas 1-3 tidak muluk. Asalkan murid saya sudah bisa membaca, saya sudah senang.

Saya memang hanya seorang guru SD dan suami saya petani. Tetapi saya punya cita-cita tinggi untuk masa depan anak-anak saya. Saya ingin anak-anak bisa sekolah sampai universitas. Terhadap anak tertua saya punya harapan, ia bisa  melanjutkan kuliah di pertanian agar kelak bisa membantu masyarakat mengembangkan pertanian.  Saya prihatin dengan masyarakat di sini yang bertani dengan cara tebang bakar. Terhadap anak kedua saya punya harapan, ia mau menjadi guru agar kelak bisa menggantikan saya mengajar anak-anak di kampung. Terhadap anak ketiga suami saya punya keinginan, ia bisa menjadi dokter atau pilot yang kelak bisa jadi kebanggaan masyarakat kampung.

Saya sendiri belum tahu bagaimana nanti membiayai anak-anak kuliah. Sebab kalau hanya mengandalkan gaji guru memang tidak mampu kami ini membiayai sekolah anak. Apalagi dua anak saya sekarang sudah SMA. Itulah mengapa kami  mencari tambahan penghasilan. Hasil berkebun dan berburu yang membantu kami dalam membiayai sekolah anak.

Pengajar Sekaligus Pendidik

Sebagai guru, saya benar-benar prihatin dengan kondisi sekolah sekarang yang kualitasnya semakin merosot. Sekolah di jaman Belanda dulu mutunya justru lebih bagus dari sekolah di jaman sekarang. Dulu di jaman Belanda, guru tidak hanya berkewajiban mengajar tetapi juga mendidik. Sekarang ini tanggung jawab guru hanya sebatas mengajar.

Antonia  Mengajar
Mengajar dan mendidik sangatlah berbeda. Bagi saya mengajar itu menyampaikan informasi atau pengetahuan, jadi siapa saja bisa mengajar. Sedangkan mendidik tidak semua orang bisa melakukannya. Sebab mendidik bukan hanya menyampaikan pengetahuan tetapi juga membuat anak bisa berkembang menjadi orang baik dan berkembang sesuai potensi yang dimilikinya.

Banyak sekolah sekarang yang guru-gurunya hanya tahu mengajar. Guru tidak lagi mau berpikir bagaimana membuat anak-anak tumbuh berkembang sesuai potensinya dan memiliki karakter. Tapi semua ini bukan semata kesalahan guru. Kebijakan pemerintah sendiri juga cenderung membatasi peran guru hanya sebatas mengajar. Pemerintah menghapus pendidikan untuk guru (SPG) dan membuat program sertifikasi guru. Dengan program sertifikasi ini tampaknya pemerintah hendak menggarisbawahi peran guru sebatas mengajar dan bukan mendidik. Padahal dengan sistem SPG dulu, guru-guru dididik untuk menjadi pengajar sekaligus pendidik.

Tidak Menguntungkan

Kebijakan pemerintah yang menghapus SPG dan menerapkan program sertifikasi tidak menguntungkan bagi sekolah di pedalaman. Dulu ketika masih ada SPG keadaan tidak separah seperti sekarang. Sejak SPG ditutup, kondisi tenaga guru kian memprihatinkan. Dengan hilangnya SPG, hilang pula kesempatan bagi sekolah pedalaman untuk memperoleh tenaga guru. Demikian juga dengan program sertifikasi, sangat sulit diakses oleh guru-guru di sekolah pedalaman. Guru di pedalaman sulit dapat kesempatan untuk sekolah lagi. Kalau mengajar di kota masih memungkinkan bagi guru untuk kuliah sambil mengajar. Tapi kalau di pedalaman jelas tidak mungkin.

Saya sendiri ada keinginan untuk melanjutkan kuliah. Harapan saya, dengan kuliah saya dapat meningkatkan kemampuan untuk mengajar. Tapi keinginan ini hanya sebatas keinginan. Sebab saya tidak tega meninggalkan sekolah untuk menempuh pendidikan di universitas. Sekolah di kampung saya kurang guru. Kalau saya tinggalkan, maka pendidikan anak-anak di kampung akan terlantar. Saya tidak ingin kampung saya seperti kampung-kampung lain yang pendidikan untuk anak-anaknya mandeg karena guru tidak ada di sekolah. Jadi sampai sekarang saya masih terpaku pada tugas, tidak sanggup lagi memikirkan bagaimana bisa melanjutkan sekolah. Padahal tanpa sekolah lagi, saya tidak bisa mendapatkan sertifikasi. Tanpa sertifikasi, nasib saya sebagai guru tidak akan ada perubahan, baik dalam hal kesejahteraan maupun dalam hal fasilitas.

Sekolah kayu
Kebijakan terkait ujian nasional (UN) saya rasakan juga tidak adil bagi sekolah di pedalaman. Sebenarnya ujian nasional dapat mendorong anak-anak untuk lebih giat belajar. Tapi kondisi sekolah di Papua yang sarana-prasarananya serba ketinggalan dan sangat terbatas, membuat para guru terdorong untuk melakukan kecurangan. Adanya ujian nasional akhirnya tidak membantu ketenangan proses belajar mengajar. Bayangkan saja, guru dan siswa di sini menjalani proses belajar mengajar dengan sarana seadanya tetapi dituntut utk memenuhi prasyarat kelulusan seperti halnya sekolah di kota. Kalau mau menjalankan ujian nasional, pemerintah perlu terlebih dahulu menstandarisasi kualitas dan ketersediaan guru serta sarana prasarana sekolah.

Pengorbanan Guru Pedalaman

Di saat banyak sekolah lain bermasalah di dalam pengelolaan dana BOS, sebagai kepala sekolah sejak awal saya memutuskan untuk mengelola dana BOS secara transparan. Semua guru tahu dana itu dipakai untuk apa saja. Sebab penggunaan dana BOS kami putuskan bersama. Saya dan para guru sudah bersepakat, selain untuk membeli perlengkapan belajar mengajar, dana BOS juga digunakan untuk pembelian buku pegangan guru. Karena dana terbatas, pembelian buku pegangan diprioritaskan untuk kelas atas. Buku pegangan untuk para siswa sampai sekarang belum bisa kami beli karena dananya tidak mencukupi.

Dana BOS lebih banyak dipakai untuk membiayai operasional sekolah, termasuk untuk membeli perlengkapan sekolah dan membayar gaji guru honorer. Kami menerima dana BOS setiap triwulan. Biasanya setelah terima dana BOS, saya belanja kebutuhan sekolah untuk jangka waktu lebih dari tiga bulan. Kalau ada kekurangan, kami gunakan uang pribadi dulu. Sebab kalau tidak belanja lebih dari tiga bulan, bisa-bisa bahan untuk mengajar sudah habis sementara dana BOS berikutnya belum cair. Kegiatan belajar mengajar bisa macet.

Dana BOS tidak mencukupi untuk membiayai operasional sekolah. Transportasi guru untuk keperluan dinas, misalnya, tidak tercakup dalam dana BOS, sehingga guru seringkali harus keluar uang sendiri bila ada keperluan dinas. Padahal transportasi di sini mahal sekali, sementara tidak ada fasilitas transportasi bagi guru SD.

Cukup banyak pengorbanan guru SD pedalaman terhadap kelangsungan proses belajar mengajar. Bahkan sebelum ada dana BOS kami para guru rela memotong gaji kami sendiri demi membayar guru honorer. Karena tenaga guru kurang dan para guru kewalahan, maka saya bersama para guru bersepakat untuk mempekerjakan guru honorer. Guru honorer itu kami bayar dengan cara memotong gaji kami sendiri sebagai kepala sekolah dan guru sebesar Rp 50.000 – 100.000 per bulan selama setahun dan ditambah dengan sumbangan dari orang tua murid. Setiap orang tua murid kami mintai sumbangan Rp 50.000 untuk membayar gaji guru honorer. Setelah ada dana BOS, gaji guru honorer kami ambilkan dari dana BOS.

Kalau Bukan Kami Siapa Lagi

Program sertifikasi menambah alasan bagi guru untuk pergi ke kota. Sekarang ini banyak guru yang melanjutkan kuliah untuk mengejar titel.  Tapi sayangnya banyak guru kemudian tidak mau lagi ditempatkan di pedalaman.  Sementara guru yang bertugas di pedalaman akhirnya juga lebih banyak pergi ke kota dan meninggalkan kewajiban mengajarnya.

Murid
Seperti yang sudah saya sampaikan, tidak mudah hidup sebagai guru di pedalaman. Itulah mengapa banyak guru lebih suka tinggal di kota. Tapi saya sendiri memilih untuk bertahan di pedalaman. Ada alasan kuat yang membuat saya bisa bertahan mengajar di sekolah pedalaman. Salah satunya adalah keberlangsungan pendidikan anak-anak di kampung. Saya berpikir, kalau saya yang orang asli pedalaman saja tidak mau berkorban untuk menjadi guru di pedalaman, lalu siapa lagi yang mau mendidik anak-anak kami. Lagipula orang tua saya yang asli dari kampung sini butuh perhatian saya. Mereka sudah tua dan tidak kuat lagi bekerja. Ini pula yang membuat saya tetap bertahan mengajar di kampung.

Yah begitulah kisah hidup saya sebagai guru SD di pedalaman. Semua serba terbatas.  Saya sendiri bermimpi suatu saat nanti nasib guru akan berubah seperti yang terjadi di negara-negara lain. Konon khabarnya, di negara lain guru mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah, terutama guru SD.  Konon katanya juga di negara lain peran guru SD dianggap sangat penting dalam sistem pendidikan. Peran penting guru SD bisa diibaratkan pandai besi yang dapat mengubah besi menjadi parang. Tapi di negara ini saya merasakan, guru – terlebih guru SD – benar-benar tidak dihargai.”

***
Gerakan PGSD
Setelah menuliskan kisah Antonia Korain, kami terpikir dan tergerak untuk membangun solidaritas, bukan hanya bagi sekolah dasar di pedalaman, tetapi juga bagi para guru SD yang memiliki dedikasi tinggi terhadap keberlangsungan pendidikan dasar di pedalaman. Untuk itu kami mengajak anda terlibat dalam  Gerakan Peduli Guru dan Sekolah Dasar di Pedalaman (PGSD – Pedalaman). Gerakan ini ditujukan untuk memberikan dukungan dan solidaritas bagi kerja-kerja para guru SD yang tengah berupaya untuk menjaga keberlangsungan pendidikan dasar di daerah pedalaman. Solidaritas dan dukungan tersebut dapat diberikan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah buku untuk guru, buku untuk murid, alat peraga, sarana transportasi untuk guru, beasiswa untuk anak-anak guru, dan lainnya.

Adanya dukungan dan solidaritas bagi sekolah dasar di pedalaman diharapkan dapat meringankan beban para guru SD dalam menjaga keberlangsungan pendidikan dasar di pedalaman. Sementara dukungan dan solidaritas dalam bentuk beasiswa bagi anak guru SD di pedalaman diharapkan dapat menjadi suatu bentuk apresiasi terhadap para guru SD di pedalaman yang memiliki dedikasi tinggi terhadap profesinya dan telah banyak berkorban bagi keberlangsungan pendidikan dasar di daerah pedalaman, khususnya pedalaman Papua.  Bila anda tergerak untuk terlibat dalam gerakan ini, silakan bergabung bersama kami.


Jakarta, 10 Oktober 2011

Tim Kerja
Gerakan Peduli Guru dan Sekolah Dasar di Pedalaman (PGSD – Pedalaman)
Sekretariat: Institute for Ecosoc Rights
Jl. Tebet Timur Dalam VI-C/17
Jakarta 12829
Telp/fax. 021-8304153
Nomor Rekening:  701066227 a/n Perkumpulan Institute for Ecosoc Rights, Bank Permata Cabang Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat
Kontak person: Sri Palupi (081319173650)







No comments:

Post a Comment