14 October 2011

Anu Beta Tubat: Pelajaran dari Maybrat


Sejak pendidikan menjadi komoditi yang diperdagangkan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari lembaga sosial menjadi lembaga komersial, pendidikan – apalagi pendidikan bermutu – semakin jauh dari jangkauan kelompok miskin. Kian mahalnya biaya pendidikan membuat keluarga miskin seringkali harus menyerah betapapun anak-anak mereka berprestasi. Bahkan sekadar  bermimpi dapat menyekolahkan anak hanya setingkat SMA saja mereka tak berani lagi. Anak-anak pun mereka paksa untuk  menanggalkan mimpi sejak dini.

Ada anak lulusan SMP yang berprestasi – bahkan pernah mengikuti olimpiade sains di daerahnya – terpaksa menjadi TKI karena orang tua tak mampu lagi membiayai pendidikannya. Ada lagi anak dari keluarga miskin yang nekat mengikuti tes dan diterima di perguruan tinggi negeri terpaksa mengundurkan diri karena bapaknya yang hanya buruh tani tak mampu membiayai. Rasa frustasi mendorongnya lari ke luar negeri menjadi TKI.


Rupanya di negeri ini tengah berlangsung proses pemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu meskipun miskin, orang tua dan anak-anak dari keluarga miskin masih berani bermimpi. Sebab dulu masih terbuka peluang bagi anak-anak keluarga miskin untuk mewujudkan mimpinya. Tidak heran kalau dulu banyak anak dari keluarga miskin berhasil meraih pendidikan tinggi. Tapi sekarang sekadar bermimpi bisa menyekolahkan anak sampai SMA saja mereka sudah tidak berani. Realitas di sekeliling mereka mengajarkan, anak-anak miskin yang nekat menerobos masuk ke jenjang SMA berakhir dengan putus sekolah. 

Fenomena tidak biasa terkait kemiskinan dan akses atas pendidikan kami temukan di  pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Maybrat. Di kalangan masyarakat Papua,  Maybrat dikenal sebagai daerah yang banyak warganya jadi sarjana. Bahkan tidak sedikit pejabat tinggi di kabupaten lain di Papua berasal dari Maybrat. Padahal kondisi warga di Kabupaten Maybrat ini sama miskinnya dengan warga di Kabupaten lain. Meskipun miskin, semangat masyarakat Maybrat untuk memperoleh pendidikan sangatlah tinggi. Bahkan pendidikan mereka tempatkan sebagai dasar sejak sebelum ada pemerintahan di Maybrat.

Apa yang membedakan Maybrat dengan masyarakat lain di Papua? Mengapa banyak sarjana dihasilkan dari daerah ini? Apa yang membuat masyarakat Maybrat punya animo tinggi terhadap pendidikan? Pertanyaan ini muncul ketika data yang kami kumpulkan dari keluarga miskin di kampung-kampung menunjukkan, banyak keluarga miskin di Maybrat menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke jenjang perguruan tinggi. Tidak sedikit anak dari keluarga miskin di daerah ini mampu menyelesaikan pendidikan tinggi. Bahkan tidak sedikit pula yang mengirimkan anak-anak mereka menempuh pendidikan tinggi di Jawa. Jawaban atas pertanyaan itu kami temukan dalam diskusi bersama komunitas-komunitas kampung di Kabupaten Maybrat. Meski berbeda kadarnya, ada semacam spirit gotong royong yang berlaku umum dan dipelihara oleh masyarakat kampung di Maybrat.  Spirit gotong royong ini dalam bahasa setempat disebut “anu beta tubat”, yang artinya bersama kami mengangkat. 

Diskusi pendidikan bersama warga kampung Seiya
 
Spirit anu beta tubat itulah yang rupanya menyatukan masyarakat Maybrat untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Ibarat lidi yang bila disatukan sulit untuk dipatahkan, demikian pula dengan kekuatan spirit anu beta tubat bagi keluarga-keluarga miskin di Maybrat. Betapapun miskin, mereka tidak menyerah dan bahkan gigih dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka sampai ke tingkat tinggi. Berbagai hambatan dalam mengakses pendidikan mereka atasi bersama.

Spirit anu beta tubat ini semakin menguat setelah masyarakat sendiri memetik dan merasakan buahnya. Setelah melihat perubahan positif pada karakter anak-anak mereka yang mendapatkan pendidikan, para orang tua tidak ragu lagi mengirimkan anaknya ke sekolah. Terlebih setelah mereka melihat, anak-anak yang berpendidikan itu  mudah memperoleh pekerjaan atau mendapatkan posisi di pemerintahan, masyarakat  berlomba untuk menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke tingkat tinggi. Mereka bergotong royong membiayai pendidikan anak dan berjibaku bersama mengangkat anak-anak mereka agar dapat mengakses pendidikan yang lebih baik. Padahal dulu, untuk mengirimkan anak ke sekolah saja para orang tua harus didorong-dorong dan dipaksa-paksa. Kini, pendidikan mereka tempatkan sebagai prioritas dan spirit anu beta tubat menjadi kekuatan untuk mengatasi berbagai hambatan. 

Kayu untuk guru
Spirit gotong royong untuk mengakses pendidikan itu bisa ditemukan di kampung-kampung dan di berbagai tingkatan pendidikan. Pada tingkatan sekolah dasar, spirit itu mewujud dalam upaya masyarakat untuk menjaga keberlangsungan pendidikan dasar di kampung mereka. Untuk membuat guru betah mengajar di kampung, misalnya, mereka bergotong royong membuatkan kebun untuk guru, membangun tempat tinggal guru, dan menyokong bahan makanan bagi guru yang baru ditempatkan di kampung mereka. Agar proses belajar mengajar dapat berjalan lancar, masyarakat juga bergotong yorong untuk membangun atau memperbaiki bangunan sekolah, membantu pengadaan mebel untuk sekolah, membayar gaji guru honorer, membeli buku-buku pelajaran untuk pegangan siswa, membantu membiayai pelaksanaan ujian dan lainnya.

Gotong royong ambil air untuk guru
 
Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, baik SMP atau SMA, kebanyakan anak kampung di daerah Maybrat harus keluar dari kampung mereka dan sekolah di kota kecamatan, di kecamatan lain, di kota kabupaten atau di kota provinsi. Mereka tinggal di asrama atau menumpang pada keluarga-keluarga di kota. Untuk bisa melanjutkan ke SMP atau SMA, orang tua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Baru tingkat SMP saja orang tua sudah merasakan sulitnya membiayai pendidikan anak. Setiap bulan mereka harus mengirimkan uang tunai. Padahal penghasilan mereka sebagai petani tidaklah menentu.

Untuk mendukung para keluarga yang anak-anaknya menempuh pendidikan di tingkat SMP dan SMA, masyarakat kampung melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah membangun asrama atau rumah tinggal bersama bagi anak-anak yang bersekolah di kota. Setiap kampung bergotong royong membangun rumah tinggal atau asrama sendiri dan bersama pula membiayainya. Salah satu atau beberapa warga ditunjuk untuk mengurus asrama dan mengawasi anak-anak dalam belajar. Biasanya yang mendapatkan tanggung jawab mengurus asrama atau tempat tinggal bersama ini adalah warga yang tinggal di kota atau yang tinggal tak jauh dari sekolah. Sistem “asrama” atau “rumah tinggal bersama” ini sangat membantu para orang tua yang tidak memiliki keluarga di kota.

Sayur untuk guru

Air untuk guru
Pada tingkat perguruan tinggi, anu beta tubat diwujudkan dalam bentuk dukungan untuk meringankan beban biaya pendidikan yang ditanggung orang tua. Bagi orang tua yang anaknya masih bersekolah di SMP dan SMA, biaya pendidikan kebanyakan mereka sendiri  yang menanggungnya. Sementara biaya hidup anak selama belajar di kota, dibantu oleh masyarakat kampung atau dibantu oleh keluarga yang tinggal di kota. Namun ketika anak-anak mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, orang tua mendapatkan dukungan biaya pendidikan dari masyarakat.

Bentuk dukungan yang diberikan masyarakat kampung bagi keluarga yang anaknya menempuh pendidikan tinggi bermacam-macam. Ada masyarakat kampung yang bergotong royong menanggung biaya pendaftaran, ada pula yang menanggung biaya pembelian sarana prasarana, seperti komputer, membantu membayar biaya skripsi, biaya wisuda, dan lainnya. Dukungan paling besar kebanyakan datang dari keluarga besar para orang tua masing-masing, baik dari pihak suami maupun istri. Keluarga besar bergotong royong untuk menanggung sebagian (besar) biaya pendidikan anak yang belajar di perguruan tinggi. 

Spirit gotong royong itulah yang pada akhirnya memberi peluang bagi anak-anak  keluarga miskin di Maybrat untuk mengakses pendidikan tinggi. Anak-anak yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi, akan menjadi kekuatan dan modal bagi masyarakat kampung dalam menjalankan dan memperkuat spirit anu beta tubat. Apalagi kalau anak-anak itu mendapatkan pekerjaan yang baik atau posisi di pemerintahan. Mereka punya tanggung jawab lebih dalam mengangkat anak-anak yang lain. Kalau tanggung jawab itu tidak mereka jalankan, masyarakat akan menempatkan mereka dalam barisan orang-orang yang tidak berguna.

Pesta perpisahan untuk guru
Meskipun kami baru sekilas mengenal masyarakat Maybrat, namun perjumpaan yang sekilas itu sungguh memberikan banyak pelajaran bagi kami yang tengah mendalami pendidikan dari sudut pandang hak asasi. Spirit anu beta tubat memberi inspirasi tentang bagaimana kemiskinan dan lemahnya akses kaum miskin atas pendidikan dapat diatasi. Di saat negara tidak lagi menempatkan pendidikan sebagai hak asasi dan karenanya pemerintah kurang serius dalam menjalankan komitmen untuk mewujudkan pendidikan bagi semua, masyarakat dapat bahu membahu mengembalikan pendidikan sebagai prioritas. Di saat negara kehilangan daya dalam memenuhi hak warga atas pendidikan, masyarakat dapat berjibaku untuk secara bersama mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa yang cerdas tidak akan dapat dicapai selama kaum miskin masih sulit mengakses pendidikan


Kami membayangkan akan banyaknya kemajuan yang bisa kita capai sebagai bangsa seandainya satu warga yang mampu secara ekonomi berkomitmen menyekolahkan satu anak keluarga miskin. Kami yakin, sumberdaya warga yang terbatas apabila disatukan akan menjadi kekuatan yang dapat mengembalikan bangsa ini sebagai bangsa yang punya masa depan. Masyarakat Maybrat di Papua Barat telah membuktikannya. ***   


No comments:

Post a Comment