09 November 2011

Percaya Diri Cara SBY

Sri Palupi
Ilustrasi Kompas
Dalam pidatonya di Perancis, 2 November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa persoalan yang terjadi di Eropa melibatkan adanya tren penurunan kepercayaan diri. Oleh karena itu, ia menyarankan agar Eropa belajar percaya diri kepada Indonesia.

Menurut SBY, model demokrasi Indonesia yang merespons beragam aspirasi dari berbagai kalangan di Indonesia membuat Indonesia mampu menemukan kepercayaan diri untuk keluar dari krisis.
Pertanyaan saya, di manakah lokus kepercayaan diri yang dimaksudkan Presiden SBY? Saya yakin, kalaupun ada kepercayaan diri, lokusnya bukanlah pada pemerintahan SBY dan para elite sekarang. Sebab, pada para elite dan pemerintahan SBY yang sarat skandal bukan fenomena kepercayaan diri yang saya temukan, melainkan raibnya rasa malu.

Raibnya rasa malu

Apa yang disebut Presiden SBY sebagai demokrasi yang merespons aspirasi dari berbagai kalangan pada praktiknya adalah demokrasi uang yang responsif terhadap kepentingan para pejabat, pengusaha, dan elite politik. Demokrasi tak lebih sebagai alat untuk menjarah aset ekonomi dan anggaran negara.


Dalam sistem demokrasi seperti itu pemerintah bisa dengan mudah mengeluarkan ratusan triliun rupiah untuk menyubsidi korporasi dan perbankan yang bangkrut, tetapi terus merasa terbebani oleh subsidi bagi rakyat kecil meski nilainya jauh lebih kecil daripada subsidi untuk korporasi. Tidak heran kalau kesenjangan sosial di era pemerintahan SBY semakin merisaukan. Prakarsa mencatat, 40 orang terkaya di Indonesia memiliki aset setara dengan aset 60 juta penduduk paling miskin, dengan nilai sekitar Rp 680 triliun.

Apa yang disebut Presiden SBY sebagai kepercayaan diri sesungguhnya adalah raibnya rasa malu. Meskipun kebijakan pemerintah telah banyak berpihak pada kepentingan pejabat, pengusaha, dan elite politik, mereka tak pernah merasa cukup. Korupsi pun menjadi solusi. Hasil survei PERC Hongkong dan Transparansi Internasional Jerman, tahun 2010, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik. Indonesia juga masuk dalam daftar empat besar negara yang pebisnisnya punya hobi menyuap.
Maraknya korupsi di era pemerintahan SBY mengindikasikan korupsi bukan lagi kejahatan yang memalukan. Sistem pencitraan yang dijalankan pemerintahan SBY sudah dilengkapi dengan mekanisme untuk menutupi aib para koruptor. Terbukti banyak koruptor yang divonis bebas, yang terpilih jadi pejabat atau kepala daerah, dan kalaupun ada yang masuk penjara, mereka bisa dengan mudah mendapat remisi dan jalan-jalan ke luar negeri.

Sistem pencitraan yang mengikis budaya malu membuat pemerintahan SBY bukan hanya suka mengumbar janji, melainkan juga menyembunyikan masalah di belakang angka-angka statistik. Dalam lima tahun terakhir, pemerintahan SBY menaikkan anggaran belanja sangat besar dari Rp 400 triliun menjadi Rp 1.200 triliun. Namun apa hasilnya? Peringkat Indonesia dalam Indeks Pembangunan Pendidikan untuk Semua di tahun 2011 turun dari posisi ke-65 di tahun 2010 menjadi peringkat ke-69 dari 127 negara. Salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Tercatat sebanyak 527.850 anak SD putus sekolah setiap tahunnya.

Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga merosot tajam, dari posisi ke-108 (dari 169 negara) menjadi peringkat ke-124 (dari 187 negara). Ironisnya, IPM Indonesia merosot justru di bidang pendidikan, yang mendapatkan kucuran dana paling besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bukan hanya IPM yang merosot, bahkan ada yang mulai menyebut Indonesia sebagai negara gelandangan karena Indonesia termasuk dalam lima negara dengan jumlah gelandangan terbanyak.

Krisis kepercayaan diri

Sistem pemerintahan korup dengan kebijakan yang bias ke kalangan atas telah melahirkan demikian banyak orang kaya baru di pusat dan daerah. Mereka ini cenderung menganut budaya komprador alias suka sekali dengan berbagai hal yang berbau luar negeri dan meninggalkan selera Indonesia. Ini bisa dilihat, salah satunya, dari maraknya bangunan berciri internasional dan hilangnya karakter lokal dalam banyak kota di Indonesia.

Tengoklah Surabaya, misalnya, yang membangun kawasan ”Singapore of Surabaya”, lengkap dengan rumah-rumah banglo berpagar tinggi dan patung singa putih yang menjadi ikonnya. Hal serupa ditemukan di kota-kota lain. Sungguh memilukan, bangsa sebesar Indonesia malah memilih bermimpi untuk menjadi seperti Singapura. Bukankah ini pertanda krisis kepercayaan diri? Mengapa bangsa sebesar Indonesia tidak bermimpi menjadi Indonesia?

Di tengah maraknya korupsi yang menciptakan krisis identitas dan kepercayaan diri, masih ada harapan untuk menjadi Indonesia, sebab masih banyak warga yang terus bekerja menggalang solidaritas dan memperjuangkan agar Indonesia tidak menjadi mitos. Sekarang ini bermunculan berbagai inisiatif yang dibuat komunitas-komunitas lokal untuk membangun kembali solidaritas dan kepercayaan diri sebagai bangsa.

Dalam komunitas tenaga kerja Indonesia, misalnya, yang oleh para pejabat di Kementerian Luar Negeri dipandang sebagai perusak citra Indonesia—dan oleh Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dianggap sebagai kelompok menjijikkan karena meninggalkan anak-anak mereka demi bekerja di luar negeri—muncul berbagai inisiatif untuk memberdayakan komunitas dengan cara membangun organisasi, menumbuhkan koperasi, menghidupkan pasar desa, dan bahkan membuat sekolah bagi anak-anak TKI. Mereka bergotong-royong untuk meringankan beban warga desa yang terimpit kemiskinan.

Di kalangan petani muncul berbagai inisiatif untuk meningkatkan kepercayaan diri petani yang terus mendapatkan tekanan oleh maraknya produk impor. Bahkan ada petani yang, meskipun tidak lulus SD, punya kepercayaan diri untuk melakukan berbagai percobaan hingga berhasil mengembangkan benih unggul dari varietas lokal.

Di Papua, di mana sekolah-sekolah tingkat dasar ditelantarkan, muncul berbagai inisiatif untuk menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar. Bahkan ada kelompok guru SD di sana yang rela memotong gajinya sendiri untuk membayar guru honorer demi mengatasi kurangnya tenaga guru.
Akhir kata, di tengah raibnya rasa malu di kalangan pejabat dan elite politik, tetap masih ada secercah harapan yang ditularkan oleh warga yang terus bekerja menggalang solidaritas dan memperjuangkan agar Indonesia tak berubah jadi mitos. Inisiatif itu datang dari komunitas-komunitas lokal untuk membangun kembali solidaritas dan kepercayaan diri kita sebagai bangsa.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights
Sumber Opini Kompas Cetak edisi Rabu 9 November 2011

No comments:

Post a Comment