10 August 2012

Ada "Sastrotomo" di DPR?

SRI PALUPI 

Sastrotomo adalah bapak kandung Nyai Ontosoroh, tokoh utama dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Sebagai bapak, Sastrotomo rela menjual anak gadisnya kepada pejabat kolonial Belanda demi kekayaan dan jabatan sebagai juru bayar perkebunan.

Perilaku seperti Sastrotomo banyak kita jumpai di kalangan pejabat dan birokrat RI, pengurus partai, pemilik dan pengelola korporasi, juga anggota DPR. Tidak heran kalau di sektor migrasi tenaga kerja terdapat jutaan warga RI yang diperdagangkan dengan modus penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Sebab, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri juga melegalkan perdagangan orang.

UU No 39/2004 itu kini tengah direvisi DPR. Pada 5 Juli 2012, DPR mengesahkan RUU Perubahan atas UU No 39/2004 menjadi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) dan sekaligus mengesahkan RUU tersebut untuk dibahas lebih lanjut.
Bila membaca naskah akademik, judul, dan konsiderans RUU PPILN yang dihasilkan DPR, serasa ada harapan DPR benar-benar berkomitmen memperbaiki nasib TKI. Namun, harapan itu sirna setelah membaca substansi RUU PPILN. Muncul dugaan, ada ”Sastrot omo” di DPR.

Kehilangan orientasi

Substansi RUU PPILN merefleksikan tarik-menarik kepentingan banyak pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam bisnis penempatan TKI. Tarik- menarik kepentingan ini sedemikian terangnya sampaisampai DPR kehilangan orientasi dan tidak jelas lagi kepentingan siapa yang hendak dilindungi. Ini terlihat dari beberapa indikasi.


Pertama, substansi RUU PPILN tidak nyambung dengan substansi naskah akademik yang seharusnya menjadi acuan dalam merumuskan pasal-pasal perlindungan. Substansi naskah akademik RUU PPILN memberikan gambaran yang cukup bagus terkait arah solusi terhadap problem lemahnya perlindungan TKI. Kalau saja naskah akademik ini dijadikan acuan, ada harapan revisi UU No 39/2004 akan mampu mengatasi karut-marut pengurusan migrasi TKI. Sayangnya, perumusan pasal- pasal RUU PPILN terlepas dari naskah akademiknya.

Kedua, penjelasan umum RUU PPILN menegaskan bahwa peran perlindungan pekerja Indonesia di luar negeri diserahkan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dimulai dari masa prapenempatan, penempatan, dan pascapenempatan. Pihak swasta hanya diberi peran sebagai pelaksana penempatan, kecuali untuk pekerja Indonesia di luar negeri sektor domestik. Namun, anehnya, tidak satu pun pasal dalam RUU PPILN yang mengatur tentang penempatan pekerja Indonesia di luar negeri sektor domestik. Padahal, mayoritas TKI bekerja di sektor domestik.

Ketiga, RUU PPILN memperluas tugas dan kewenangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dalam perlindungan TKI, mulai dari tingkat kabupaten sampai di luar negeri. Namun, perluasan tugas ini tidak disertai pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antarlembaga.

Artinya, DPR bukan hanya melanggengkan konflik antara BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja, melainkan juga memperluas konflik. BNP2TKI bukan hanya akan berkonflik dengan Kementerian Tenaga Kerja, tetapi juga dengan pemerintah daerah dan Kementerian Luar Negeri. Perlindungan efektif, dengan demikian, akan sulit terwujud. Apalagi RUU PPILN juga tidak mengatur larangan bagi pejabat publik di pemerintah dan DPR untuk terlibat langsung atau tidak langsung dalam bisnis penempatan TKI.

Keempat, cukup banyak pasal yang rancu dan tidak jelas rumusannya sehingga menimbulkan salah atau multitafsir. Salah satunya Pasal 23 Ayat (4), yang menyatakan: PPILN dalam membuat perjanjian penempatan pekerja Indonesia di luar negeri wajib mempersyaratkan pengguna lolos verifikasi oleh perwakilan Republik Indonesia di negara penerima. Pasal ini bisa ditafsirkan bahwa pekerja sudah menandatangani perjanjian kerja sebelum ada verifikasi terhadap pengguna. Bila demikian, di mana letak perlindungan bagi kepentingan calon TKI?

Kelima, struktur dan rumusan pasal-pasal perlindungan dalam RUU PPILN cenderung menyembunyikan subyek penanggung jawab. Banyak hak TKI diakui, tetapi tidak jelas siapa berkewajiban memenuhinya. Ada kegiatan tetapi tidak jelas siapa penanggung jawabnya. Misalnya, dalam hal perekrutan calon TKI, RUU PPILN hanya menyebutkan bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab atas pendaftaran dan pendataan TKI yang lolos dalam perekrutan dan seleksi. Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam perekrutan calon TKI?

Alergi DPR

RUU PPILN mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Akibatnya, hal-hal mendasar yang menjadi prasyarat terwujudnya perlindungan efektif bagi TKI dan keluarganya justru diabaikan. Beberapa hal mendasar tersebut di antaranya perekrutan, pendidikan, sistem pengawasan, regulasi terhadap perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), penanganan kasus, dan peran serta masyarakat.
Dalam hal perekrutan, RUU PPILN tidak tegas mengatur siapa penanggungjawabnya. Bila perekrutan tetap diserahkan kepada lembaga bisnis, sulit diharapkan bahwa RUU PPILN akan mengubah keadaan. Perekrutan ilegal dan perdagangan orang akan terus terjadi. Apalagi tidak ada perbaikan dalam hal regulasi PJTKI menyangkut kewarganegaraan pemiliknya, kapasitas dan integritas pengelolanya, dan transparansi pengawasannya.

Dalam RUU PPILN, pendidikan belum ditempatkan sebagai komponen penting dalam perlindungan TKI. Pasal tentang pendidikan diselipkan di antara pasal-pasal yang lain. Pendidikan juga masih diserahkan kepada lembaga bisnis dan lokasi pelaksanaannya masih jauh dari domisili TKI di pelosok desa. Dapat dipastikan, biaya pendidikan akan tetap tinggi dan hak TKI untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tetap tidak dijamin.

Salah satu kelemahan sistem perlindungan TKI selama ini tidak adanya pengawasan efektif terhadap perlindungan TKI, yang melibatkan masyarakat. Ironisnya, dalam penyusunan RUU PPILN DPR justru alergi terhadap peran serta masyarakat.

DPR menggusur habis peran serta masyarakat yang sangat minim diakui dalam UU No 39/ 2004. Tidak ada mekanisme komplain bagi masyarakat yang dilanggar haknya, tidak ada mekanisme penanganan kasus dan bantuan hukum bagi TKI korban pelanggaran HAM, dan tak diakui hak masyarakat untuk mengajukan gugatan terhadap pihak-pihak yang merugikan TKI.

Akhir kata, ironis bahwa DPR yang dipilih oleh rakyat justru alergi terhadap peran serta rakyat. Ini pertanda ada ”Sastro - tomo” di tubuh DPR yang siap mempertaruhkan jutaan nyawa TKI. Bisa dipahami kalau pembahasan RUU PPILN akan sangat alot. Sebab, ”S a st r ot o m o ” di tubuh DPR, partai, PJTKI, dan pemerintah tidak akan rela kepentingannya diganggu.

SRI PALUPI Ketua Institute for Ecosoc Rights

sumber, Opini Kompas, 9 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment