07 August 2012

Solidaritas Anda Sudah Kami Salurkan di Papua

Adakah Perubahan di Maybrat di Papua? Genap setahun sudah kami mengajak Anda sekalian untuk terlibat dalam Gerakan Peduli Guru dan Sekolah Dasar di Pedalaman (PGSD – Pedalaman), yang ditujukan untuk memberikan dukungan bagi berlangsungnya pendidikan dasar di pedalaman. Ajakan kami ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Solidaritas masyarakat dalam bentuk buku, dana, dan lainnya sudah mulai terkumpul. Solidaritas ini sudah kami salurkan pada mereka yang berhak menerimanya. Penyaluran solidaritas ini agak terlambat memang. Sebab situasi keamanan di Maybrat belum memungkinkan bagi kami untuk datang ke sana. Kabupaten Maybrat saat itu tengah dilanda konflik dan kerusuhan menjelang dan pasca pemilihan kepala daerah (pilkada). Baru pada 14–29 Juli lalu kami bisa datang kembali ke Maybrat.

Kami datangi lagi sekolah-sekolah yang setahun sebelumnya telah kami kunjungi. Belum ada perubahan signifikan yang terjadi di sana. Sekolah masih miskin guru dan buku. Proses belajar-mengajar masih berjalan seadanya, tergantung pada kehadiran guru. Guru dan kepala sekolah masih sering meninggalkan sekolah. Kesejahteraan guru belum juga ada perbaikan. Gaji dan honor guru masih sering terlambat. Bahkan waktu kami datang ke dinas pendidikan di ibukota kabupaten, kami bertemu para guru yang dengan penuh kemarahan mempertanyakan gaji dan tunjangan mereka yang belum dibayar. Mereka mengancam akan mogok mengajar.

Meski belum ada perubahan signifikan tetapi di beberapa sekolah kami melihat ada perkembangan yang lumayan menggembirakan. Di SD di kampung Seya, distrik Mare, misalnya, sebelumnya hanya ada satu guru honorer dan kepala sekolah yang jarang ada di tempat. Sekarang SD ini memiliki kepala sekolah baru, seorang guru honorer dan dua guru relawan. Guru honorer dibayar pemerintah kabupaten, sementara dua guru relawan adalah warga kampung setempat yang sukarela menjadi guru. Ada atau tidak ada guru, anak-anak di Maybrat tetap bersemangat sekolah. Demikian pula dengan anak-anak di kampung Seya. Semangat anak-anak inilah yang membuat dua warga kampung di sana rela mengajar mereka tanpa dibayar.

Di kampung berjuluk satu suku kata saja yaitu “Sun” kondisi sekolah relatif tidak banyak berubah. Guru dan kepala sekolahnya tetap sama. Guru masih sering meninggalkan sekolah. Hanya saja sekarang sekolah di kampung Sun mendapat tambahan satu guru tetap. Guru baru ini baru saja diangkat jadi PNS. Sebelumnya ia adalah guru honorer SD di kampung Mosun, distrik Aifat. Saat mengajar di kampung Mosun, ia tidak digaji oleh pemerintah daerah. Gajinya berasal dari hasil saweran para guru dan orang tua murid.

Di kampung lain yang cukup jauh dari kampung Sun, yaitu kampung Suswa, di sekolah dasar setempat terlihat ada banyak perubahan. Kepala sekolahnya sudah diganti. Kepala sekolah lama dimutasi ke dinas sosial. Posisi sebagai kepala sekolah digantikan oleh salah seorang guru lama, yang juga merangkap sebagai kepala kampung. SD di kampung Suswa mendapat tambahan tiga guru honorer yang berasal dari luar Papua. Bisa dipastikan, proses belajar mengajar di SD ini akan berjalan jauh lebih baik dengan adanya tambahan guru, meskipun statusnya sebagai guru honorer.

Saat kami datang ke kampung Suswa, kami bertemu dengan seorang guru honorer yang mengajar di SMP 1 distrik Mare. Guru ini rupanya mengajar juga di SD Suswa atas permintaan masyarakat setempat akibat minimnya tenaga guru. Guru yang datang dari kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) – Nusa Tenggara Timur ini punya tiga anak. Semuanya masih balita. Kondisi guru honorer ini memprihatinkan. Sebab anaknya yang baru berumur delapan bulan menderita gizi buruk.

Rasanya sulit dipercaya, seorang guru SMP yang berpendidikan cukup tinggi anaknya menderita gizi buruk. Adakah yang tidak beres di sana? Rupanya sudah tujuh bulan guru honorer ini belum terima gaji. Suatu kali ia jatuh sakit. Padahal ia tengah menyusui bayinya yang baru berumur delapan bulan. Sakitnya tidak diobati karena tidak ada dokter dan tenaga kesehatan. Puskesmas ada, tapi tidak ada tenaga kesehatan yang bertugas di sana. Ada bangunan Puskesmas tapi tidak ada dokter, perawat atau pun bidan. Mau berobat ke kota tidak ada uang. Biaya transpor sangat mahal, minimal Rp350.000 sekali jalan. Belum lagi biaya dokter dan obat serta makan di jalan. Sakit yang dibiarkan tanpa pengobatan dan stress memikirkan honor yang belum dibayar, membuat ASI-nya terhenti. Tidak ada pilihan lain selain memberikan susu formula sebagai pengganti ASI pada bayinya. Namun susu formula membuat sang bayi terkena diare. Ia kemudian mengganti susu formula itu dengan air teh dan air putih, dan ditambah bubur nasi sebagai makanan tambahan. Diare dan kurangnya asupan gizi membuat bayinya menderita gizi buruk. Status gizi buruk sang bayi ini sudah kami pastikan dengan membawa bayi bersama ibunya ke dokter dan rumahsakit di kota Sorong. Hasil pemeriksaan dokter menguatkan dugaan kami bahwa bayi itu menderita gizi buruk dan harus dirawat inap. Sungguh memprihatinkan nasib guru di pedalaman.

Kondisi SD di distrik Aifat tidak jauh berbeda dengan yang ada di distrik Mare. Di kampung Konja, misalnya, tampak tidak ada banyak perubahan. Ada tambahan satu guru honorer yang kami lihat di sana. Tiga kelas yang dulu rusak dan kumuh sudah dibongkar dan berganti dengan rangka bangunan baru. Perbaikan tiga ruang kelas itu rupanya terhenti karena dana dari pemda belum turun. Kisruh dan konflik menjelang dan pasca pemilu kada membuat urusan di bidang pendidikan terbengkelai.

SD di kampung Mosun kondisinya masih sama seperti saat kami datang tahun lalu. Malahan mereka kehilangan satu guru relawan. Guru relawan yang diangkat sebagai guru honorer oleh para guru dan orang tua murid kini sudah diangkat sebagai PNS dan dipindahkan ke SD di kampung lain.

Pada SD di kampung Maan juga tidak tampak ada perubahan. Tidak ada tambahan guru. Ada dua mahasiswa dari Sekolah Guru Agama yang tengah KKN di sekolah itu. Tapi tenaga KKN seperti ini tidak bisa diperhitungkan karena mereka hanya membantu mengajar tidak lebih dari satu bulan.

Sudah Kami Salurkan. Kedatangan kami di kabupaten Maybrat selain untuk mendiskusikan hasil riset soal pendidikan yang kami lakukan tahun lalu, juga menyalurkan solidaritas yang Anda sampaikan melalui rekening lembaga kami. Jumlah dana yang terkumpul sebagai wujud solidaritas bagi sekolah di pedalaman sebesar Rp 48.500.000. Selain dana, juga ada sumbangan dalam bentuk buku layak pakai dan bantuan lain yang langsung dikirimkan pihak penyumbang ke kontak person kami yang ada di kota Sorong.

Anak-anak Papua dari kabupaten Maybrat ini 
tampak sangat gembira karena segera  terwujud 
harapan mereka untuk sedikit lagi lebih cerdas ..

Bantuan Anda jadi kebahagiaan anak-anak 
dan masa depan mereka.

Buku-buku bermutu masih sangat langka di Papua ..

Lihatlah bagaimana mereka sangat bersemangat
menimba pengetahuan




















































Solidaritas dalam bentuk dana yang anda sampaikan melalui rekening “pendidikan”, telah kami belikan buku pelajaran untuk kelas I sampai kelas VI SD, buku ulangan dan buku PR untuk pegangan guru, peta, dan lainnya. Buku-buku tersebut kami beli di kota Sorong dan kami distribusikan langsung ke tujuh sekolah dasar yang ada di pedalaman Maybrat, yaitu di kampung-kampung berikut ini: Seya, Sun, Suswa, Konja, Mosun, Maan, dan Ayawasi. Kepala sekolah, guru, masyarakat, dan terlebih anak-anak tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya menerima bantuan buku pelajaran.

Atas nama siswa SD, guru, dan masyarakat di kampung-kampung Seya, Sun, Suswa, Konja, Mosun, Maan, dan Ayawasi, kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian dan solidaritas anda yang tak ternilai harganya bagi berlangsungnya proses belajar mengajar di sekolah dasar di pedalaman Maybrat, Papua Barat. Dulu, meskipun guru tidak hadir anak-anak di kampung-kampung itu tetap datang ke sekolah. Mereka datang untuk menaikkan bendera merah putih dan membersihkan sekolah. Dengan adanya buku mereka kini bisa belajar sendiri meskipun guru tidak hadir. Para guru pun akan sangat terbantu dengan buku-buku itu. Mereka tidak perlu lagi mendiktekan pelajaran pada siswanya. Kini guru dan murid bisa sama-sama memegang buku.

Berikut adalah laporan penerimaan dan penggunaan dana solidaritas yang anda sampaikan melalui kami. Sisa dana akan kami salurkan untuk beasiswa lanjutan bagi anak dari ibu guru Antonia Korain – guru dan kepala sekolah di SD Mosun yang berencana untuk menempuh pendidikan guru.

Sumbangan Anda
1
Sumbangan dari staf bank Permata melalui ibu Rusminah
Rp  2.500.000
2
Sumbangan dari PT. Adicipta Inovasi Teknologi Jakarta (melalui ibu Bella Turino)
Rp 45.000.000
3
Sumbangan dari Ibu Maria di Sorong
Rp  1.000.000

Total
Rp 48.500.000



Penggunaan Dana
1
Pembelian buku pelajaran SD (buku cetak)
Rp 14.040.000
2
Pembelian buku pelajaran SD (buku cetak)
Rp 17.880.000
3
Pembelian buku PR dan ulangan (untuk pegangan guru)
Rp   320.500
4
Pembelian buku PR, buku ulangan, dan peta
Rp  2.676.000
5
Pembelian peta Indonesia dan peta dunia
Rp   312.500
6
Pembelian buku bacaan untuk perpustakaan
Rp   219.000
7
Beasiswa untuk pendidikan anak guru SD
Rp  5.000.000

TOTAL
Rp 40.448.000

Saldo dana
Rp  8.000.000



Untuk sementara ini, bukti-bukti atau tanda terima penyerahan sumbangan dan penggunaan dana dapat dimintakan dari kami jika Anda memerlukannya. Selanjutnya akan kami lampirkan bukti-bukti tersebut secara terbuka dalam komunikasi publik lewat blog ini.

Jakarta, 4 Agustus 2012
Tim kerja The Institute for Ecosoc Rights, Jakarta

No comments:

Post a Comment