13 November 2012

Pendidikan Nasional Untuk Siapa?

Hari ini (13/11) saya masuk kantor lebih pagi dari biasanya. Ada banyak pekerjaan yang mesti segerah diselasaikan untuk program pelatihan di Kalimatan tengah jumat mendatang. Di ruang depan sontak saya tercengang melihat sebuah Foto pada halaman depan Kompas hari itu. 3 orang Siswa SD sedang menyebranggi sungai sepanjang 20 meter dengan kedalaman 50 CM meter jika tak banjir.


Namun untuk ukuran anak SD kedalaman ini cukup menganggu, air bisa membasahi pakayan seragam serta peralatan tulis. Barangkali itu menjadi alasan mereka mengganti celana merah seragam sekolah dengan celana pendek yang sudah disiapkan. Demikian pula dengan pelajar putri. Mereka terpaksa menaikkan rok seragamnya agar tidak basah. Ada juga yang memilih menggunakan celana pendek yang sebelumnya telah dikenakan dari rumah

Harian Kompas melaporkan menyebrang sungai dilakukan setiap hari. Itu berarti dalam sehari mereka harus menyebrang sungai minimal 2 kali. Menyebrang sungai juga tidak hanya dilakukan siswa SD tapi juga siswa sekolah menengah atas yang tinggal di Jorong Lambung Bukik, Nagari Koto Nan Tigo Utara Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Jika hujan deras dan permukaan Batang Surantih meninggi, para pelajar itu terpaksa membatalkan keinginan untuk bersekolah. Sebaliknya, jika saat pulang sekolah air sungai itu meninggi, para pelajar terpaksa menunggu di Nagari Kayu Gadang yang berada di seberang Jorong Lambung Bukik dan terpisah oleh aliran deras Batang Surantih.


Hal itu mereka lakukan karena ketiadaan infrastruktur jembatan sebagai sarana untuk menyeberang secara aman dan cepat. Anehnya Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit, ketika dikonfirmasi Kompas, Senin (12/11), mengakui bahwa pihaknya belum mengetahui di mana lokasi Jorong berada. Padahal sungai itu telah menghayutkan sudah 3 siswa.

Sorang pelajar yang masih kecil mesti diawasi oleh sejumlah rekan mereka yang lebih senior. Sebut saja Wanda (12) dan Rika (12) yang mengawal adik-adik kelasnya dalam dua rombongan terpisah.

Situasi yang sama juga terjadi di desa Mekarmukti, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut Jawa Barat, para siswa di desa ini setiap harinya menantang maut dengan menyebrangi sungai Cisanggiri yang lebarnya mencapai 100 meter. Jika banjir maka  ratusan siswa di desa ini tak bisa bersekolah. Menyebrang sungai adalah satu satunya pilihan ketika ketiadaan fasilitas penyebrangan.

Lain lagi di Atambua-NTT, akhir tahun lalu ketika saya kesana mendapatkan anak anak ikut dalam penambangan mangan. Mereka tidak bersekolah lagi, hari hari yang seharusnya diisi dengan belajar disekolah diganti dengan mengali  batu mangan. Pemerintah di daerah ini sama sekali tak merasa terganggu dengan situasi ini, seolah banyaknya anak anak ke lokasi tambang menjadi hal yang biasa.

Di papua Barat banyak SD kekuarangan Guru, seorang Guru mengajar 1 hingga 4 kelas dalam waktu bersamaan. Buku buku yang digunakanpun masih mengunakan kurikulum CBSA, padahal saat itu kurikulum yang diterapkan adalah KTSP. Sesuatu yang tidak adil, jakarta mengirimkan soal Ujian Nasional (UN) berdasarkan kurikulum KTSP sementara anak anak papua belajar dengan kurikulum CBSA. Gaji Guru honorer juga telat dibayar hingga 1 tahun lebih.

Tak bedah jauh situasi yang tengah terjadi di katingan-Kalimantan tengah, saat saya berkunjung ke sana akhir agustus lalu anak anak SD di beberapa sekolah belum melakukan kegiatan belajar mengajar hanya karena tidak ada guru yang datang mengajar.Aneh..apa sih yang ada dalam pikiran para politisi, Presiden, serta aparat pemerintah pusat dan daerah ketika melihat situasi ini. Ini baru soal akses pendidikan, belum soal ketersediaan seperti kondisi sekolah, ketersediaan guru, fasilitas pendukung dan kualitas serta kurikulumnya. Padahal urusan pendidikan merupakan hak setiap warga Negara. Negara mestinya memenuhi Hak warga negaranya.

Jika dibandingkan Negara lain saya kira Negara yang sudah dijajah koruptor ini paling terbelakang pemenuhan hak warga atas pendidikan. Untuk siapa proses pendidikan itu dilaksanakan? jika untuk rakyat lalu dimana perhatiannya.



Sehari sebelumnya saya ikut dalam sebuah diskusi harian kompas, Konstitusi dan Negara Kesejahteraan. Karlina Supelli dalam kesempatan itu menyebutkan korupsi juga terjadi di dunia pendidikan. Banyak kebijakan public soal  pendidikan telah menghilangkan esensi dasar dari pendidikan itu sendiri. Negara ini menurut saya sedang mengalami darurat pendidikan, jika tak segera menjadi perhatian maka tak lama lagi akan runtuh. (Chelluz Pahun)

1 comment:

Anonymous said...

salam. saya saksi hidup jebatan di Atambua, selama 9 tahun dari SD-SMP kami menyeberangi sungai Talau dari fatubenao untuk sekloah di Tulamalae, Kota Atambua seperti foto nomor 2 di atas. jembatan darurat itu dibuat oleh pihak gereja katolik bekerjasama dengan masyarakat setempat. (yanuarius koli bau)

Post a Comment