Semakin ironis alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat dan
penguasa. Anggaran kunjungan kerja DPR RI 2013 mengalami kenaikan sebesar 77
persen, dari Rp 139,94 miliar pada tahun 2012 menjadi Rp 248,12 miliar pada
tahun 2013.
Sementara per 1 januari 2013 DPR dan pemerintah akhirnya
bersepakat menetapkan subsidi listrik hanya sebesar Rp 78,63 triliun yang
menyebabkan terjadi kenaikan tarif listrik sebesar rata-rata 15 persen secara
bertahap hingga akhir tahun.
Dalam dokumen APBN 2013 DPR juga menyetujui pembelian tenda VIP
bagi Presiden sebesar Rp 15 miliar, yang rencananya tenda tersebut akan
digunakan Presiden saat mengunjungi daerah yang terkena bencana alam.
Sementara alokasi program peningkatan kesejahteraan rakyat seperti
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), hanya dialokasikan sebesar Rp 7,3
triliun. Untuk bantuan siswa miskin sebesar Rp 10 triliun dan subsidi benih
hanya Rp 0,1 triliun. Padahal jelas bahwa pajak dari rakyat merupakan elemen
penting bagi penerimaan APBN.
Padahal penerimaan APBN tersebut 75 persennya dari pajak rakyat.
Perkumpulan Prakarsa mencatat, penerimaan pajak yang berasal dari pajak
penghasilan pegawai/karyawan (PPh Pasal 21) mencapai Rp 55,3 triliun, sedangkan
pajak penghasilan pribadi non pegawai/karyawan atau pengusaha hanya Rp 3,6
triliun (PPh Pasal 25/29). Namun hanya sedikit dari APBN tersebut yang
ditujukan untuk kepentingan rakyat. Misalnya saja, anggaran untuk belanja rutin
di APBN 2013 saja mencapai 79 persen. Artinya, sebagian besar uang rakyat yang
berasal dari pajak tersebut dihabiskan untuk membiayai aparatus negara.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkapkan
adanya penyetoran dana dari pemerintah Indonesia kepada Dana Moneter
Internasional (IMF) sebesar Rp 25,8 triliun. Angka ini sebenarnya tiga kali
lipat dari anggaran untuk Jamkesmas di tahun 2012. Pemerintah Indonesia juga
menyetorkan dana miliaran rupah ke empat lembaga asing lainnya, yakni
International Bank for Reconstruction Development (IBRD) sekitar Rp 39 miliar, International
Development Association (IDA) sekitar Rp 5 miliar, Multilateral Investment
Guarantee Agency (MIGA) sekitar Rp 10 miliar, dan Common Fund for Commodities
(CFC) senilai Rp 2,6 miliar.
Menurut FITRA, penyetoran dana ini masuk dalam item penyertaan
modal laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) semester I tahun 2012, yang
disebut sebagai kewajiban keanggotaan di organisasi atau lembaga keuangan
internasional maupun regional. Hal ini tentu saja merupakan ketertundukkan pemerintah
Indonesia terhadap lembaga-lembaga internasional tersebut yang sudah
nyata-nyata hanya memberikan resep yang salah terhadap Indonesia, sehingga
Indonesia hingga saat ini terjebak dengan utang.
No comments:
Post a Comment