07 March 2013

2013, Anggaran kunker DPR RI Naik 77 persen

Semakin ironis alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat dan penguasa. Anggaran kunjungan kerja DPR RI 2013 mengalami kenaikan sebesar 77 persen, dari Rp 139,94 miliar pada tahun 2012 menjadi Rp 248,12 miliar pada tahun 2013.

Sementara per 1 januari 2013 DPR dan pemerintah akhirnya bersepakat menetapkan subsidi listrik hanya sebesar Rp 78,63 triliun yang menyebabkan terjadi kenaikan tarif listrik sebesar rata-rata 15 persen secara bertahap hingga akhir tahun.

Dalam dokumen APBN 2013 DPR juga menyetujui pembelian tenda VIP bagi Presiden sebesar Rp 15 miliar, yang rencananya tenda tersebut akan digunakan Presiden saat mengunjungi daerah yang terkena bencana alam.

Sementara alokasi program peningkatan kesejahteraan rakyat seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), hanya dialokasikan sebesar Rp 7,3 triliun. Untuk bantuan siswa miskin sebesar Rp 10 triliun dan subsidi benih hanya Rp 0,1 triliun. Padahal jelas bahwa pajak dari rakyat merupakan elemen penting bagi penerimaan APBN.


Padahal penerimaan APBN tersebut 75 persennya dari pajak rakyat. Perkumpulan Prakarsa mencatat, penerimaan pajak yang berasal dari pajak penghasilan pegawai/karyawan (PPh Pasal 21) mencapai Rp 55,3 triliun, sedangkan pajak penghasilan pribadi non pegawai/karyawan atau pengusaha hanya Rp 3,6 triliun (PPh Pasal 25/29). Namun hanya sedikit dari APBN tersebut yang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Misalnya saja, anggaran untuk belanja rutin di APBN 2013 saja mencapai 79 persen. Artinya, sebagian besar uang rakyat yang berasal dari pajak tersebut dihabiskan untuk membiayai aparatus negara.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkapkan adanya penyetoran dana dari pemerintah Indonesia kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar Rp 25,8 triliun. Angka ini sebenarnya tiga kali lipat dari anggaran untuk Jamkesmas di tahun 2012. Pemerintah Indonesia juga menyetorkan dana miliaran rupah ke empat lembaga asing lainnya, yakni International Bank for Reconstruction Development (IBRD) sekitar Rp 39 miliar, International Development Association (IDA) sekitar Rp 5 miliar, Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) sekitar Rp 10 miliar, dan Common Fund for Commodities (CFC) senilai Rp 2,6 miliar.

Menurut FITRA, penyetoran dana ini masuk dalam item penyertaan modal laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) semester I tahun 2012, yang disebut sebagai kewajiban keanggotaan di organisasi atau lembaga keuangan internasional maupun regional. Hal ini tentu saja merupakan ketertundukkan pemerintah Indonesia terhadap lembaga-lembaga internasional tersebut yang sudah nyata-nyata hanya memberikan resep yang salah terhadap Indonesia, sehingga Indonesia hingga saat ini terjebak dengan utang.

Sekali lagi, hal ini menunjukkan rezim neoliberal lebih mementingkan untuk melayani kepentingan negara-negara imperialis dan pemilik modal dibandingkan mensejahterakan rakyatnya.

No comments:

Post a Comment